Diktatoriat Rezim Perizinan Konteks Perumahan

LEGAL OPINION
Question: Bahkan untuk daerah sekelas DKI Jakarta, banyak para warga hingga ketua RT RW dan lurah, secara berjemaah membangun rumah tanpa IMB (izin mendirikan bangunan), dan sekalipun sudah saya laporkan ke dinas pemukiman dan penertiban bangunan Pemda (pemerintah daerah) setempat, tidak ada tindak-lanjut penertiban perobohan dan pembangunan rumah baru tanpa izin itu. Rumah tanpa izin itu pun kini tetap berdiri, sama sekali tanpa penindakan oleh aparat. Pelakunya merasa kebal hukum dan terus membangun meski telah saya larang. Berarti, di Indonesia ini memang tidak ada resiko, untuk membangun rumah tanpa IMB, bukankah begitu?
Brief Answer: Lemahnya fungsi pengawasan Lembaga Eksekutif seperti Dinas Penertiban bangunan Pemda setempat DKI Jakarta yang SHIETRA & PARTNERS akui hanya ‘makan gaji buta karena mengabaikan berbagai laporan masyarakat atas pembangunan ilegal tanpa izin’ (meski DKI Jakarta adalah kota dengan wilayah yang kecil), tidak diartikan sebagai “kebal hukumnya” suatu warga negara. Praktik diluar daerah Jakarta, dipastikan akan jauh lebih masif.
Secara hukum administratif, mungkin saja si pembangun rumah tanpa IMB ‘kebal secara hukum’ karena alpha / pembengkalaian oleh aparatur sipil negara yang bertanggung jawab dalam wewenangnya menertibkan. Namun ketika pembangunan rumah tanpa izin tersebut merugikan pihak lain (seperti tetangga), maka ketiadaan IMB dapat menjadi faktor pemberat di persidangan.
PEMBAHASAN:
Sebaliknya, dapat kita sebutkan pula, sepanjang belum dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, IMB dapat menjadi legitimasi oleh negara atas aktivitas pembangunan gedung, sebagaimana dapat kita jumpai dalam putusan Mahkamah Agung sengketa perumahan register Nomor 2340 K/Pdt/2015 tanggal 18 Februari 2016, perkara antara:
- HARIMUKTI WANDEBORI, S.T., M.B.A., sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- DEMMY FIRMANSYAH, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Tergugat diantaranya telah membangun ruangan pada lantai 2 di atas bagian carport rumah hingga kondisinya menutupi dan menghalangi pandangan sebelah kiri depan dari bangunan rumah milik Penggugat, karena memang posisi tanah dan bangunan rumah Tergugat berada di sebelah kiri tanah dan bangunan milik Penggugat.
Renovasi bangunan rumah Tergugat pada bagian ruangan lantai 2 di atas carport tersebut tidak mentaati Garis Sempadan Bangunan (GSB) dikarenakan bangunan ruangan lantai 2 tersebut dibangun di atas carport hingga batas jalan muka, yang berdampak terhadap kamar depan sebelah kiri milik Penggugat menjadi pengap dan sumpek.
Bekas material pun tetap menumpuk di atas bangunan bagian carport milik Penggugat yang berbatasan langsung dengan bangunan Tergugat yang sedang dibangun dan apabila turun hujan curahan airnya tumpah menggenangi carport milik Penggugat, selain itu pula tanpa pemberitahuan dan sepengetahuan Penggugat, Tergugat dengan seenaknya telah memindahkan sumber listrik dari tempat semula yang berada tepat di depan samping kiri rumah Penggugat ke tempat yang lebih jauh ke seberang jalan dengan hanya menggunakan tiang kayu padahal sebelumnya menggunakan tiang besi.
Saat melakukan pekerjaan atas pembangunan ruangan lantai 2 tersebut, pekerja bangunan/tukang yang dipekerjakan oleh Tergugat, menginjak bagian carport rumah milik Penggugat tanpa izin dari Penggugat dan terkadang bekerja dari hari Senin sampai dengan Minggu yang dimulai dari pagi hingga malam hari dengan menimbulkan suara-suara gaduh dan bising, sehingga telah sangat mengganggu ketenangan Penggugat, apalagi Penggugat memiliki anak yang masih bayi, maka selaku tetangga yang sangat berkepentingan dengan adanya pembangunan renovasi rumah tersebut, Penggugat pun pada tanggal 2 Agustus 2013 telah menegur Tergugat.
Note SHIETRA & PARTNERS: Suatu ironi yang memang ironis. Sifat individualistis membuat pelaku pembangunan rumah tidak memikirkan tetangga yang berbatasan sebagai pihak yang berkepentingan serta berdampak langsung atas pembangunan yang hanya memikirkan kepentingan pribadi sang pemilik tanah, sebagaimana penulis pun pernah menjadi korban serupa oleh tetangga yang membangun rumah dengan menyerobot tembok rumah yang berbatasan—dimana pembangunan bersifat ilegal karena tanpa disertai IMB, sementara Dinas Pemukiman DKI Jakarta tidak menanggapi laporan penulis.
Atas keberatan dan teguran Penggugat, Tergugat selaku tetangga sama sekali tidak mengindahkan, bahkan Tergugat justru malah menantangnya dengan bergeming menyatakan peraturan tidak bisa bertindak apapun terhadap Tergugat dan Tergugat pun tetap melanjutkan pembangunannya sampai dengan sekarang—suatu fenomena sosial yang juga penulis alami sendiri: pelaku pelanggaran merasa kebal hukum.
Pembangunan tersebut juga tidak mentaati kaedah Garis Sempadan Bangunan (GSB) dikarenakan bangunan dibangun di atas carport hingga batas jalan muka, berakibat berkurangnya lebar jalan fasilitas milik umum, sehingga melanggar Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung juncto Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12 Tahun 2011 tentang Izin Mendirikan Bangunan.
Singkatnya, hampir seluruh tanah yang posisinya di hoek milik Tergugat tersebut oleh Tergugat telah dijadikan bangunan tanpa menyisakan Garis Sempadan Bangunan di depan muka, samping dan belakang padahal sesuai ketentuan pembangunan rumah hoek/pojok dari luas tanah keseluruhan harus disisakan 30%, namun Tergugat sama sekali telah mengabaikan ketentuan tersebut, sehingga tidak ada ruang untuk resapan air tanah, terlebih lagi yang dijadikan spesifikasi bangunannya (terutama baja konstruksi) cukup berat, lebih cocok digunakan untuk mendirikan bangunan pabrik, sehingga karenanya dikhawatirkan merusak bangunan rumah dan mengancam keselamatan jiwa keluarga Penggugat, terutama bilamana terjadi gempa.
Selain dari pada itu, material bangunan yang dibiarkan sampai ke jalan dan disimpan di sembarang tempat, serta dibuang begitu saja ke luar benteng perumahan tentunya selain telah menimbulkan polusi ternyata telah pula menimbulkan Sakit pernafasan dan kulit bagi keluarga Penggugat, serta menimbulkan pula saluran air/got menjadi mampet yang telah menyebabkan berkembang biaknya nyamuk, hal mana harus dipertanggungjawabkan oleh Tergugat.
Sehubungan dengan seluruh tanah milik Tergugat telah dijadikan bangunan tanpa menyisakan Garis Sempadan Bangunan di depan muka, samping dan belakang serta telah pula dibangunnya bagian ruangan lantai 2 di atas carport hingga batas jalan muka, terlebih lagi bilamana hujan turun curahan airnya tumpah menggenangi carport milik Penggugat, maka tentunya sudah menjadi fakta hukum sikap dan perbuatan Tergugat tersebut telah memperlihatkan iktikad tidak baik yang dikualifikasikan ke dalam perbuatan melawan hukum.
Oleh karenanya Penggugat meminta agar Tergugat dihukum untuk menghentikan pembangunan renovasi rumahnya dan membongkar kembali bangunan rumahnya yang nyata-nyata telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku serta mengganggu bangunan milik Penggugat, dan selanjutnya membongkar kembali bangunan rumah pada bagian ruangan lantai 2 di atas carport yang menjorok sampai batas jalan muka berukuran ± 3,74 m x 3 m.
Terhadap gugatan tersebut, selanjutnya Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan putusan Nomor 506/PDT/G/2013/PN BDG., tanggal 21 April 2014, dengan amarnya sebagai berikut:
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan mengemukakan kembali fakta bahwa bangunan depan rumah Tergugat dibangun sampai batas solokan depan. Fakta ini memberikan bukti bahwa telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh Tergugat karena membangun rumah hingga batas selokan depan. Dengan kata lain, Tergugat tidak menyisakan Garis Sempadan Bangunan Depan atau membangun rumah hingga batas selokan lingkungan.
Tetangga yang menandatangani permohonan persetujuan pembangunan yang dilakukan Tergugat, tidak memiliki kapasitas, karena:
1. Rumah mereka berlokasi berjauhan dengan rumah milik Tergugat, kurang lebih 100 meter. Rumah mereka tidak termasuk dalam kriteria tetangga: di depan, samping, dan belakang rumah milik Tergugat yang menjadi salah satu syarat persetujuan untuk mendapatkan IMB;
2. Penggugat sebagai tetangga yang paling dekat lokasinya dengan rumah milik Tergugat tidak pernah menerima permohonan yang sama dari Tergugat.
Disamping itu, ketidakadilan “pemutihan” IMB tampak pada pembangunan rumah dimulai bulan Juni 2013, somasi dibuat Penggugat di bulan September 2013, gugatan di bulan November 2013 dan pembangunan rumah selesai di bulan Desember 2013. Sedangkan IMB baru diterbitkan tanggal 7 Februari 2014.
Selama proses renovasi (bongkar pasang) telah berakibat kepada timbulnya penyakit gatal-gatal pada kulit dan pernafasan pada keluarga Penggugat. Konstruksi yang digunakan adalah pelat baja bukan beton bertulang seperti yang tercantum dalam surat izin mendirikan bangunan (dalam terlihat pelat baja berwarna hijau). Pelat baja ini ditempelkan di sisi tembok rumah milik Penggugat sehingga sangat membahayakan rumah beserta jiwa dari penghuni rumah.
Rumah yang lebih tinggi, pelat baja sebagai konstruksi untuk fondasi dan bangunan yang menempel ke tembok, serta disain dari konstruksi menggunakan pelat baja ini yang tidak dilakukan oleh Ahli yang bersertifikasi sangatlah membahayakan. Tembok rumah dari Penggugat sudah mengalami retak-retak dan menyebabkan kerugian secara materil bagi Penggugat akan terjadi apabila terjadi gempa bumi yang menyebabkan tekanan atas bangunan berikut konstuksi pelat baja dari rumah Tergugat terhadap rumah Penggugat.
Dalam putusan PTUN Bandung atas perkara Nomor 40/G/2014/PTUNBDG tanggal 23 September 2014, PTUN Bandung memutuskan:
“Dalam Pokok Sengketa: Menyatakan batal Surat Izin Nomor: 503.648.1/0468/BPPT tanggal 7 Februari 2014 tentang Izin Mendirikan Bangunan atas nama Demmy Firmanyah Soebarlie, yang beralamat di Jalan Endah Sari Komp. Evergreen Town House C-13 Bandung dan Mewajibkan kepada Tergugat (Kepala Dinas BPPT) untuk mencabut Surat Izin Nomor: 503.648.1/0468/BPPT tanggal 7 Februari 2014 tentang Izin Mendirikan Bangunan atas nama Demmy Firmanyah Soebarlie, yang beralamat di Jalan Endah Sari Komp. Evergreen Town House C-13 Bandung.”
Demikian juga dalam Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 321/B/2014/PT.TUN.JKT, tanggal 12 Januari 2015 telah menguatkan putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung atas perkara Nomor 40/G/2014/PTUN-BDG yang membatalkan IMB milik Tergugat.
Dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan yang kurang elaboratif, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena setelah meneliti dengan saksama Memori Kasasi tanggal 15 April 2015 dan Kontra Memori Kasasi tanggal 27 April 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bandung, ternyata Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa pertimbangan Judex Facti sudah tepat dan benar, Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya;
- Bahwa Tergugat merenovasi rumah tidak menyalahi hukum dan tidak terbukti renovasi menyebabkan banjir dan sakitnya anggota keluarga Penggugat;
- Bahwa berdasarkan bukti T.4, T.5 Tergugat telah mendapat izin dari para tetangga dan ada IMB (bukti T.6) serta disetujui oleh Dinas Tata Ruang dan Cipta Pemerintah Kota Bandung (bukti T.7);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi HARIMUKTI WANDEBORI, S.T., M.B.A., tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi HARIMUKTI WANDEBORI, S.T., M.B.A., tersebut.”
Catatan penutup SHIETRA & PARTNERS :
Izin dari ‘tetangga’, namun siapakah yang layak dan paling patut disebut sebagai ‘tetangga’ dalam konteks IMB? Pihak yang paling berkepentingan dalam hal ini ialah tetangga yang berbatasan, karena berdampak langsung terhadap aksi perobohan dan pembangunan rumah, bukan tetangga yang tidak bersentuhan secara langsung. Namun memang disayangkan regulasi mengenai hal tersebut masih dibiarkan menyisakan ‘celah hukum’ yang terbuka bagai ‘luka menganga’.
Ketika terbit putusan Pengadilan Negeri yang baru terungkap fakta bahwa Tergugat memiliki IMB, sehingga gugatan ditolak, dan bila nyata-nyata Surat Keputusan Pejabat Dinas Pemda perihal pemberian IMB melanggar Garis Sempadan Bangunan (sebagaimana kerap pelanggaran ini kita jumpai tanpa penindakan apapun dari aparatur Pemda setempat), bertentangan dengan hukum, maka alangkah bijak seketika itu juga diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar IMB dibatalkan, sehingga putusan Pengadilan Negeri dapat dikoreksi oleh Mahkamah Agung berdasarkan alat bukti putusan PTUN yang membatalkan IMB yang selama ini menjadi legitimasi perbuatan pihak pembangun rumah.
Sehingga, strategi Penggugat adalah telah tepat dengan menggugat agar IMB dinyatakan batal—namun adalah mengherankan, bila Mahkamah Agung masih berasumsi bahwa Tergugat memiliki IMB sebagai ‘alas hak’ untuk membangun, sementara IMB yang menjadi legitimasi pembenaran diri Tergugat, telah dibatalkan PTUN, sementara Mahkamah Agung masih berasumsi IMB tersebut masih sah dan berlaku.
Hal tersebut sama anehnya (kontradiktifnya) kebijakan ‘plin-plan’ Pemda di Tanah Air, yang melangsungkan praktik ‘pemutihan’, dalam arti memberikan IMB atas rumah yang dibangun tanpa izin. Bila rumah yang dibangun secara ilegal dapat memperoleh ‘pemutihan’ IMB, lantas untuk apa hukum mengatur agar pembangun rumah memasang plang pembangunan rumah serta wajib didahului kepemilikan IMB atas suatu bidang tanah yang dibangun gedung / bangunan diatasnya?
Masalah utama dalam hukum, ialah terlampau masifnya pengecualian terhadap hukum itu sendiri, serta berbagai mekanisme pembenaran diri yang bersifat pragmatis yang merongrong wibawa hukum itu sendiri, selayaknya dihukum denda terhadap pelanggar perpajakan namun disaat bersamaan terbit kebijakan tax amnesty, atau grasi bagi narapidana, pemutihan bagi pembangunan tanpa IMB, dsb—yang pada hakekatnya menafikan hukum yang bersifat mengatur dan melarang atau mewajibkan namun dilekati ‘embel-embel’ eksepsional terhadapnya (escape clause).
Seakan, hukum tidak lagi tidak dapat ditawar-tawar, namun hukum kini dapat ditawar murah serta menjual dirinya bagai instrumen murahan yang murah. Hukum yang digadaikan dan diobral demi kepentingan pragmatik, dimana mereka yang mampu membayar maka dapat membeli dan menawar hukum.
Itulah sebabnya, SHIETRA & PARTNERS menentang keras praktik pemutihan pajak, pemutihan IMB, pemutihan kendaraan, pemutihan barang impor, pemutihan jabatan, ataupun pemutihan  dosa. Hukum yang tegas dan berintergritas, tidak pernah dapat ditawar-tawar. Hukum yang dapat ditawar adalah hukum yang ‘transaksional’—tidak ada bedanya dengan komoditas pasar yang diperjual-belikan di pasar dan toko swalayan bagi mereka yang mampu membelinya dengan harga esklusif.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.