Hukum yang Baik Bersifat Mencerdaskan, Bukan Pembodohan

ARTIKEL HUKUM
Hukum melindungi yang kreatif, tidak meninabobokan. Hukum bergerak mengiringi kemajuan zaman, bukan justru memblokade perkembangan zaman dan inovasi teknologi. Hukum dalam hal tataran moril, perlu bersikap konservatif. Namun hukum dalam konteks implentasi, perlu bersikap terbuka dan rasional (progresif, bukan semata regresif).
Sebuah kisah sederhana akan falsafah fungsi ‘cermin’ pada kendaraan bermotor, dimana cermin tersebut bukanlah sekadar asesoris, namun memiliki fungsi penting bagi pengemudi untuk mengemudikan mobilnya dengan baik. Namun tetap saja, mengemudikan mobil adalah maju ke depan, bukan melulu / semata menatap cermin dan bergerak mundur ke belakang.
Progresif artinya, bergerak maju. Sementara sifat regresif hukum, ialah sebentuk pembelajaran akan penerapan hukum yang tepat guna dan efektif atau tidaknya di masa lampau. Hukum yang regresif dibutuhkan guna perbaikan dan penyempurnaan hukum sebagai bagian dari deregulasi introspektif. Namun tetap saja, hukum yang regresif melayani kepentingan yang lebih tinggi, yakni hukum yang progresif.
Ilustrasi sederhana berikut dapat menjadi simbol pergerakan kemajuan zaman. Pada dua dekade lampau, Personal Computer (PC) rakitan menjadi populer di tengah masyarakat. Kini, penjualan PC menurun, dan penjualan laptop menjadi meningkat drastis. Diprediksi, para pedagang PC akan tiba pada zaman senja dalam dua dekade mendatang.
Diperkenalkannya dan diproduksinya laptop, adalah sebuah kejahatan bagi produsen dan pedagang PC? Apakah produsen dan pedagang PC berhak untuk menggugat produsen dan pedagang laptop, dengan alasan keberadaan laptop telah merugikan dan menurunkan omzet pendapatan para produsen dan pedagang PC? Kecanggihan teknologi adalah niscaya, hukum tak dapat mengintervensi apa yang bersifat niscaya.
Perihal inovasi, hukum tidak berhak mengintervensi dengan alasan apapun. Inovasi adalah pelita, bukan blackhole (lubang hitam) penghisap warna kehidupan. Hukum yang bermartabat seyogianya mendorong dan memberi fasilitas bagi inovasi dan para inventor, bukan meninabobokan para pelaku usaha konvensional yang tidak mau mengambil langkah invensi, berkutat dalam zona nyaman mereka selama ini.
Inovasi pun tidak memiliki sangkut-paut dengan praktik monopoli usaha. Contoh, seorang penemu lampu LED hemat energi, hanya diri sang penemu yang memegang hak produksi, paten, royalti, dsb. Apakah sang penemu layak disebut melakukan praktik monopoli usaha? Dikaitkan seperti apapun, tak ada relevansinya dengan regulasi monopoli usaha. Produsen lampu neon-lah yang kemudian perlu menyesuaikan diri. Kemajuan zaman adalah vonis itu sendiri, dimana hukum tidak perlu lagi memasuki area yang netral.
Zona nyaman selalu melenakan. Betapa tidak, para penyedia jasa layanan angkutan umum konvensional plat kuning, menikmati layanan berbagai subsidi pemerintah, semisal pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM) atas setiap pembelian kendaraan untuk transportasi plat kuning, diistimewakan dalam pembelian BBM bersubsidi, dsb. Sementara inventor penyedia layanan transportasi via pemesanan daring, bersaing dalam tataran invonasi dan kreativitas, terbukti justru mampu menawarkan tarif yang lebih murah, layanan yang humanis, tepat guna, efektif dan efesien.
Bukti tersebut telah mendobrak kebohongan kalangan pengusaha transportasi konvensional yang kerap menaikkan tarif seenaknya dengan alasan tingginya biaya perawatan kendaraan mereka yang bobrok. Tanpa kehadiran layanan transportasi pemesanan via daring, selamanya pihak penyelenggara jasa transportasi konvensional tidak akan melakukan introspeksi ataupun pembenahan diri—namun terus merongrong dan menjadikan konsumen pengguna jasa sebagai ‘sapi perahan’. Penentangan terhadap kemajuan teknologi adalah cerminan keterbelakangan pola pikir.
Sejak diperkenalkannya kecanggihan teknologi surat elektronik (e-mail), pengiriman kartu pos yang beberapa dekade lampau sempat naik daun dan menjadi populer, redup secara perlahan, sampai akhirnya kini lenyap sama sekali. Siapa yang dapat kita persalahkan? Bukankah kini kita semua yang menikmati layanan dan kemudahan yang ditawarkan sebuah akun e-mail ? Jadi, siapa yang sedang kita bohongi dengan menentang kemajuan zaman?
Ada saatnya hukum ikut campur tangan, dan ada saatnya ketika tiba pada suatu titik, hukum harus menahan diri, bahkan menarik diri mundur, agar tidak terjadi inflasi hukum (dalam konteks perdata) ataupun over-kriminalisasi (dalam konteks pidana). Hukum tidak dapat dibenarkan untuk bersikap naif, dan akan tampak konyol bila regulator terlihat secara vulgar ‘kehabisan ide’ untuk memebendung kecanggihan teknologi dan inovasi.
Inovasi dan kemajuan zaman itu sendiri tidak dapat dibendung, dan mengapa pula harus dibendung? Dimanakah letak urgensinya? Apakah Transjakarta (yang populer disebut dengan istilah ‘busway’) yang mematikan layanan transportasi konvensional, juga harus dipersalahkan? Setiap momen pengenalan konsep baru, pasti mengundang kecemasan, pertentangan, serta antipati dari mereka yang tidak mau mengikuti perubahan. Adalah hal yang wajar, sehingga hukum tidak perlu ‘kepo’ akan momen adabtasi ini.
Kecanggihan teknologi internet memang dapat disalahgunakan untuk tindak pidana ilegal seperti peretasan, kejahatan dunia maya, hoax, dsb. Namun apakah artinya kita harus menentang penggunaan dan penetrasi internet di kalangan masyarakat?
Sebagaimana kita ingat ketika pertama kali kendaraan roda dua menjadi populer beberapa dekade lampau, pemerintah tidak membendung masyarakat yang hendak memiliki dan mengendarai kendaraan roda dua, sepanjang disertai alat pengaman seperti helm. Itupun tetap mengundang respon antipati dari masyarakat, atas alasan yang irasional dan tidak dapat dipahami penentangan apa yang menjadi latar belakangnya. Kini, semua telah terbiasa, lewat adabtasi. Era adabtasi memang selalu menjadi saat-saat krusial yang sensitif isu.
Bila kita tarik lebih jauh, banyak terdapat tindak kejahatan yang disertai kekerasan dengan benda tajam, apakah artinya pisau harus dilarang untuk diperdagangkan? Di Amerika Serikat, kepemilikan senjata api untuk membela diri adalah legal adanya, namun tingkat kriminalitas di negara Paman Sam tersebut terkait penggunaan senjata api, tidak seintens tindak pidana kejahatan dan perampokan yang overload di Indonesia, bahkan hingga Lembaga Pemasyarakatan (lapas) over capacity.
Benda tajam, sama halnya dengan kemajuan teknologi, sifatnya netral—dimana hukum hanya dapat mengalokasikan penerapannya lewat regulasi rambu-rambu implementasi. Sementara kemajuan teknologi itu sendiri tak pernah dapat dibendung oleh hukum, hukum hanya berhak mendampingi lewat melekatkan tanggung jawab dibalik setiap layanan / penggunaan teknologi. Sama halnya, dilegalkannya penjualan dan pembelian senjata api di Amerika Serikat, diiringi hukum yang tegas dan keras dalam pengaturan bagi pemilik dan pemegang senjata api di negara bersangkutan.
Hukum tidak dapat menjadi alat untuk mematikan kreativitas warga masyarakat. Adalah naif, menjadikan hukum sebagai instrumen untuk membajak kemajuan zaman, sehingga bangsa menjelma bangsa bermental kerdil dan munafik disamping picik, serupa pola berpikir regulator yang berpikiran  sempit saat menyusun regulasi yang tidak memiliki faedah sama sekali.
Hukum yang baik, senantiasa mengajak dan mengajarkan warga negaranya agar bersikap cerdas disamping rasional. Hukum pidana mengatur, sebagai salah satu contoh konkret, bila terdapat seoarng warga negara yang dalam keadaan sekarat karena terjebur di sebuah sungai, warga lain yang mampu berenang diwajibkan untuk menolong.
Terdapat ancaman sanksi pidana bila terdapat warga yang mampu berenang, namun enggan untuk memberi pertolongan. Namun, hukum tidak bersifat naif. Bila korban yang tercebur, sebagai contoh, tak mau meraih tangan yang telah kita ulurkan, itu bukan lagi salah kita. Atau, ketika sudah ditolong, dirinya kembali menceburkan diri ke dalam sungai hingga tenggelam dan tewas, itu bukan lagi menjadi urusan warga negara lainnya.
Kemajuan teknologi yang pesat sudah di depan mata. Hukum tidak dapat membohongi atau membodohi siapapun. Hukum yang naif hanya akan menjadi bahan lelucon, yang mengakibatkan integritas hukum menjadi merosot di mata para anggota masyarakat selaku pengemban hukum.
Hukum adalah keras adanya. Namun hidup juga keras adanya, sehingga hukum tidak perlu overdosis menambah keruh suasana kehidupan masyarakat yang telah keruh ini. Hukum seyogianya mencerdaskan dan mencerahkan. Jangan sampai, hanya demi kepentingan segelintir pihak penyelenggara jasa konvensional yang tidak mau berinovasi, mengorbankan kepentingan banyak warga masyarakat lainnya yang menikmati apa yang ditawarkan oleh berbagai kemajuan zaman ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.