Harta Bersama Vs. Harta Bawaan

LEGAL OPINION
Question: Saya membelikan anak saya sebuah rumah, dengan uang saya, tapi rumah langsung diatas-namakan anak kandung saya. Memang, saat saya belikan anak saya rumah, anak saya dalam status menikah. Beberapa waktu kemudian, anak dan menantu saya saling bercerai. Yang membuat saya tidak terima, mantan menantu saya menuntut pembagian harta gono-gini separuh rumah itu, rumah yang saya belikan untuk anak saya. Masak memang begini, aturan hukumnya?
Brief Answer: Dalam hukum harta bersama (sering juga disebut sebagai harta 'gono-gini’), terdapat sebuah falsafah mendasar, bahwasannya harta bawaan tetap menjadi milik masing-masing pasangan suami-istri (pasutri) sekalipun para pasutri tersebut kemudian saling memutus hubungan pernikahan.
Yang banyak keliru dimaknai, ialah perihal harta bersama, seakan memperoleh apapun selama masa perkawinan, maka harta tersebut bercampur-lebur menjadi harta bersama (gono-gini). Persepsi tersebut keliru dan sudah tidak dianut oleh Mahkamah Agung RI.
Contoh, seorang pasutri baru menikah dan memasuki usia pernikahan ke-2, pasutri tersebut kemudian saling bercerai. Menjadi pertanyaan sederhana, apakah salah satu pihak berhak mengajukan gugatan pembagian harta gono-gini berupa harta benda tak bergerak seperti rumah? Apakah mungkin, upah seorang suami yang bekerja selama 1 tahun mampu memperoleh sebuah rumah? Mahkamah Agung RI pernah membuat landmark decision yang menolak gugatan harta gono-gini dengan pertimbangan hukum demikian.
Segala sesuatu yang berbuah dari harta bawaan, tetap menjadi harta bawaan (postulat utama dalam hukum perkawinan). Segala yang terbit dari hibah, wasiat, dan harta kekayaan yang dimiliki sebelum pernikahan (secara hukum) terjadi, semua termasuk ke dalam kategori harta bawaan, sehingga tidak tercampur baur dalam harta bersama.
Contoh, seseorang memiliki harta bawaan berupa deposito pada rekening perbankan. Bunga atas deposito tersebut, karena terbit dari harta bawaan, maka tercatat tetap sebagai harta bawaan, sekalipun bunga berjalan yang diperoleh pada saat ini diri sang nasabah sedang dalam terikat hubungan perkawinan.
Yang disebut dengan harta bersama, ialah murni penghasilan pasutri, berupa upah, gaji, keuntungan berdagang, dan sejenisnya yang merupakan pendapatan atas hasil jirih payah suatu pekerjaan / profesi / kegiatan usaha, yang terbit selama masa perkawinan berlangsung. Tidak lebih dari itu. Sekalipun pada masa perkawinan, kemudian salah satu pasangan diberikan hibah atau wasiat, maka harta kekayaan yang terbit dari hibah dan wasiat demikian tetap akan dikualifikasikan sebagai kategori harta bawaan—bukan harta bersama.
Salah kaprah kedua yang kerap terjadi dalam persepsi masyarakat umum, bahwasannya hibah hanya berupa benda berwujud. Semisal, seorang orang tua membelikan anaknya yang sedang terikat tali pernikahan, berupa sebidang tanah atau kendaraan bermotor, dengan dana sang orang tua.
Sekalipun kemudian proses perolehan hak atas tanah tercatat saat sang anak terikat dalam hubungan perkawinan, namun perolehan benda / harta tersebut terbit karena ‘hibah’, yakni berupa ‘dibelikannya’ sebuah harta aktiva dengan dana pribadi orang tuanya. Ketika hibah uang dialihwujudkan dalam bentuk benda bergerak ataupun benda tak bergerak, keberadaannya tetap terbit dari hibah yang masuk dalam kategori harta bawaan.
Dengan demikian, prinsip sederhana paling mendasar dalam hukum sengketa pasca putusnya pernikahan, berpedoman pada paradigma berikut: segala sesuatu yang terbit dari harta bawaan, bukan menjadi harta bersama.
PEMBAHASAN:
Mahkamah Agung dalam perbagai putusannya telah merasionalisasi berbagai sengketa harta bawaan yang kerap kali disalah-maknai sebagai harta bersama. Salah satu ilustrasi konkret yang SHIETRA & PARTNERS angkat, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa harta pasca perceraian register Nomor 1816 K/Pdt/2015 tanggal 30 Desember 2015, perkara antara:
- BONNY HARTANTO, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- Prof. Dr. H. YUSUF MISBACH, Sp.S (K), selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan
- R. ADE SAIDA ROCHMAH, sebagai Turut Termohon Kasasi dahulu Turut Tergugat.
Penggugat merupakan orang tua kandung Turut Tergugat, sekaligus selaku mertua dari Tergugat, dimana Tergugat dan Turut Tergugat menikah pada tahun 2002 yang selama masa perkawinan belum memiliki kemampuan dan kemapanan secara materi termasuk belum memiliki tempat tinggal sendiri, sehingga selama masa perkawinan Para Tergugat menetap di rumah Penggugat.
Tahun 2004, Penggugat bermaksud membeli sebidang tanah bersertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 1197/Duren Tiga, dan Penggugat atas sepengetahuan dan persetujuan Tergugat meminta Turut Tergugat untuk Mengurus proses pembayaran sejumlah Rp700.000.000,00 seluruhnya menggunakan uang milik Penggugat yang diserahkan melalui transfer ke rekening Turut Tergugat. Selanjutnya seluruh uang yang Penggugat telah transfer, dipergunakan untuk membayar kepada pihak penjual.
Proses peralihan hak di hadapan Notaris PPAT, namun mencantumkan nama Turut Tergugat sebagai pihak pembeli dalam Akta Jual Beli, sehingga nama Turut Tergugat tercantum dalam sertifikat tanah. Tergugat mengetahui dan menyadari pencantuman nama Turut Tergugat di dalam Akta Jual Beli dan SHGB, adalah berdasarkan uang pembelian dari Penggugat.
Tanggal 11 Mei 2009, ternyata perkawinan Tergugat dan Turut Tergugat telah dinyatakan putus berdasarkan Putusan Pengadilan tertanggal 11 Mei 2009. sehingga Penggugat meminta Turut Tergugat dan Tergugat untuk mengembalikan secara hukum hak atas tanah SHGB tersebut.
Sementara itu pihak Tergugat dalam bantahannya mendalilkan, bahwa objek sengketa merupakan tanah bersama, bukan harta bawaan sang mantan istri, namun harta bersama karena diperoleh saat perkawinan berlangsung, sehingga Tergugat merasa memiliki hak terhadap objek sengketa.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 613/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel. tanggal 10 Oktober 2013, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Penggugat adalah pemilik sah atas sebidang tanah seluas 331 m² yang berada di Jalan ...;
3. Menyatakan Tergugat telah tidak melakukan tindakan memberikan persetujuan kepada Turut Tergugat untuk melakukan proses pengembalian hak atas tanah seluas 331 m² bersertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1197/Duren Tiga yang berada di Jalan ...;
4. Menghukum Tergugat untuk memberikan persetujuan atas tindakan Turut Tergugat untuk melakukan proses pengembalian hak atas tanah seluas 331 m² bersertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1197/Duren Tiga yang berada di Jalan ... kepada Penggugat dengan cara melalui akta hibah yang dibuat dan ditandatangani di hadapan Notaris oleh Turut Tergugat kepada Penggugat, Atau apabila Tergugat tidak memberikan persetujuan atas proses pengembalian hak atas tanah tersebut;
5. Memerintahkan kepada Turut Tergugat (Tanpa Persetujuan Dari Tergugat) untuk melakukan proses pengembalian hak atas tanah seluas 331 m² bersertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 1197/Duren Tiga yang berada di Jalan ... kepada Penggugat dengan cara melalui akta hibah yang dibuat dan ditandatangani di hadapan Notaris oleh Turut Tergugat kepada Penggugat;
6. Menghukum Tergugat dan Turut Tergugat untuk tunduk dan taat atas putusan ini;
7. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri. Selanjutnya, Tergugat selaku mantan menantu mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan oleh karena setelah meneliti dengan saksama Memori Kasasi tanggal 24 Desember 2014 dan Kontra Memori Kasasi tanggal 3 Juni 2015 dan 28 April 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ternyata Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Penggugat dapat membuktikan (dirinya sebagai) pembeli yang sesungguhnya atas tanah objek sengketa yang dibeli oleh Turut Tergugat karena uang pembelian berasal dari Penggugat hanya saja menggunakan nama Turut Tergugat yaitu putri Penggugat (bukti P-1 s.d. P-4 berupa aliran dana seharga tanah a quo kepada Turut Tergugat, uang tersebut telah digunakan oleh Turut Tergugat untuk membeli objek sengketa in casu);
- Bahwa saat ini perkawinan antara Tergugat dengan Turut Tergugat (anak Penggugat) telah putus karena perceraian, sehingga Penggugat menginginkan objek sengketa a quo dikembalikan kepada Penggugat:
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi BONNY HARTANTO tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi BONNY HARTANTO Tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.