Hakim Tidak Seyogianya Netral Saat Memutus

ARTIKEL HUKUM
Teks-teks ilmu hukum selalu menyebutkan, bahwa hakim wajib bersikap netral saat memeriksa dan memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya di pengadilan. Namun, penulis menengarai, justru paradigma postulasi itulah yang membuat praktik hukum demikian ‘buram’ pada praktiknya.
Untuk membuka wacana yang diangkat dari pemikiran sederhana demikian, penulis akan mengangkat ilustrasi singkat berikut: Ketika Anda menyukai warna pink, sementara Anda tahu bila kawan Anda menyukai warna gelap seperti ungu, maka apakah Anda akan membelikan kawan Anda hadiah ulang tahun berupa sepatu bewarna pink untuk dikenakan olehnya?
Ketika seorang hakim dituntut untuk bersikap netral, maka yang kemudian mengemuka ke permukaan (kita berbicara dalam ranah psikoanalisis ‘alam bawah sadar’ seorang manusia yang berprofesi sebagai seorang hakim), ialah suatu perasaan atau selera pribadi sang hakim pemutus, bukan selera atau perasaan penggugat, tergugat, pelaku maupun pihak korban dalam suatu perkara pidana.
Ambil contoh sederhana berikut: seseorang memiliki benda kenangan berupa boneka lusuh yang kusam yang tidak lagi memiliki nilai ekonomis, namun memiliki nilai sejarah bagi sang pemiliknya. Atau, benda-benda memoriabel yang memiliki nilai intrinsik, bukan nilai ekstrinsik. Ketika benda tersebut kemudian hilang atau rusak akibat kesalahan pihak lain, maka apakah dalam pertimbangan hukumnya kemudian akan membuat statement, bahwasannya boneka lusuh yang kusam tidak memiliki nilai, maka permohonan ganti-rugi materiel dan immateriil yang diajukan penggugat, dinyatakan “DITOLAK SEPENUHNYA”.
Hakim adalah manusia, bukan robot, sehingga naluri kemanusiaan harus diakomodasi dalam paradigmatik berhukum yang humanis—tanpa dapat kita pungkiri. Ketika sistem hukum menafikan naluri kemanusiaan seorang manusia, yang salah satu indikatornya ialah kecerdasan emosional untuk berempati—yakni kemampuan untuk merasakan perasaan dan espektasi orang lain—maka yang terjadi kemudian ialah ‘robot’ yang memutus secara ‘dingin’ dan ‘beku’. Seorang mesin (a machine).
Seorang hakim pemutus, tidak semestinya bersikap netral, yang berujung pada subjektivitas sang hakim yang akan mencuat ke permukaan, namun bersikap objektif dengan cara mengakui dan memahami perasaan dan espektasi pihak penggugat, tergugat, korban dan juga pihak pelaku kejahatan. Jadi, yang dinamakan “objektif” dan “subjektifitas” mendesak untuk kita definisikan ulang.
Subjektif, artinya hanya melulu melihat ke dalam diri, dan memakai kacamata perasaan dan selera pribadi untuk dipakai oleh pihak lain yang mencari keadilan ke pengadilan. Bagaimana pun, seorang hakim terlibat atau melibatkan diri dalam problema hukum yang dihadapkan oleh para pihak yang saling bersengketa. Seorang hakim yang baik tidak pada proporsinya untuk menafikan keberadaan manusia lain yang menjadi para pihak (konstituen / stakeholders) sebagai pencari keadilan.
Objektif, artinya mengakui keberadaan manusia lain, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk yang saling bersentuhan dan bersinggungan serta saling berbagi ruang nafas dan ruang hidup. Dengan pedoman objektifitas ini, seorang hakim tidak lagi dapat dibenarkan memakai ‘selera pribadi’ ketika memeriksa dan memutus suatu perkara yang dihadapkan padanya. Dalam sikap objektif ini, hakim tidak lagi bersikap netral, namun dituntut bersikap proaktif untuk memahami perasaan dan harapan para pihak dalam perkara yang disidangkan olehnya.
Lantas, kepada perasaan siapakah, seorang hakim harus lebih menaruh perhatian (in the favor of)? Jawabnya, hakim perlu menaruh keberpihakan kepada pihak yang lebih lemah posisinya. Contoh, seorang pekerja kerap kali tidak memiliki perjanjian kerja yang telah ditanda-tanganinya, sebab pengusaha hanya membuat satu rangkap kontrak kerja dan disimpan olehnya, bahkan tanpa memberi salinan pada sang pekerja (suatu fakta yang sering penulis alami sendiri ketika masih seorang pekerja), karena pihak pekerja dalam posisi lemah daya tawar dan kedudukannya. Contoh lain dalam hubungan / relasi antara nasabah dan pihak penyelenggara jasa perbankan, siswa terhadap institusi pendidikan, pengusaha kecil terhadap pengusaha besar pelaku monopoli usaha, dsb.
Dalam terminologi hukum, keberpihakan seorang hakim bukanlah suatu konsepsi yang ditabukan, sebagaimana dikenal dengan istilah ‘affirmative action’ alias ‘diskriminasi positif’. Konsepsi tersebut tidak akan terlaksana bila hakim masih dituntut untuk bersikap netral, yang berujung pada mencuatnya selera pribadi sang hakim, bahkan menjadi ‘mati rasa’ terhadap kesedihan korban, kemarahan penggugat, frustasi pihak pelaku, kemendesakan pihak tergugat, dsb.
Bila seorang hakim menyukai rasa melon, sebagai contoh, tak dapatlah ia mengadili perkara seorang warga yang hanya menyukai rasa durian. Mau tidak mau, sekalipun sang hakim alergi terhadap bau durian, dirinya wajib mendudukkan dirinya guna berempati sebagai seorang penyuka durian, bukan bersikap netral (subjektif, alias selera pribadi) yang benci akan aroma durian yang dinilainya membuat ingin muntah.
Seorang hakim, memeriksa dan memutus bukan untuk dirinya sendiri, namun untuk para pihak yang saling bersengketa, itulah yang kemudian penulis sebut dengan istilah ‘peran hakim sebagai pembaca perasaan serta selera’ para pihak dalam sengketa, bukan menilai berdasar selera pribadi sang hakim (subjektif, alias netral).
Berempati, mungkin itulah salah satu komponen paling utama dari sosok seorang hakim pemutus. Kualitas seorang jurist, bukan ditentukan dari sekadar sederet gelar akademik hukum, namun dari kemampuan seorang hakim untuk membaca kondisi mental dan alam batin dari seorang penggugat, tergugat, ataupun pihak korban dan pihak pelaku delik pidana.
Contoh ilustrasi yang sangat sering diangkat ke permukaan, ialah perihal seorang ibu miskin tua renta yang demi mengatasi perut yang kelaparan oleh sebab demikian miskin hidupnya, mencuri mentimun di sebuah ladang, kemudian ditangkap pihak berwajib disidangkan sebagai pesakitan di hadapan hakim untuk didakwa jaksa sebagai terdakwa tindak pidana pencurian.
Seorang hakim legalistis, adalah simbolisasi sikap netralitas yang membuta sekaligus orthodoks, tidak akan segan menjatuhkan vonis penjara pada sang ibu pencuri buah mentimun, karena seluruh unsur dalam rumusan kualifikasi delik (memang) terpenuhi.
Perihal bagaimana perasaan sang ibu yang didakwa, siapa peduli? Hakim hanya bersikap netral, toh sang hakim belum pernah merasakan kelaparan untuk seumur hidupnya, dan toh sang hakim tidak suka mentimun. Sang hakim hanya suka semangka. Coba kalau ibu itu mencuri semangka atau melon, mungkin akan ditolerir dan dibebaskan oleh sang hakim yang hanya berselera terhadap semangka.
Empati, artinya menempatkan dan mencoba mendudukkan diri kita kepada posisi dan keadaan pihak lain. Ingat, hakim ketika memeriksa dan memutus perkara, bukan memutus untuk kepentingan dirinya sendiri seperti ketika ia pergi ke sebuah kedai makan untuk memesan makanan yang digemarinya sendiri, namun ia pergi ke kedai makanan untuk memesan makanan untuk kepentingan selera penggugat, tergugat, korban, maupun pelaku kejahatan.
Perhatikan ilustrasi penutup berikut. Seseorang berdiri di puncak sebuah atap bangunan, sementara rekannya berdiri di lantai dasar. Ia yang berdiri di atap gedung, bertanya sambil meneriakkan pada rekannya dibawah: “Wahai kawanku, apakah yang engkau lihat dan saksikan?”
“Aku melihat dan menyaksikan sampah-sampah bau berserakan, wahai kawanku yang di latai atas.”
“Engkau keliru, wahai kawanku di lantai dasar. Aku hanya dapat melihat cakrawala langit yang megah dan indah. Aku rasa ada yang keliru dengan penglihatanmu, kawanku yang di lantai dasar.”
Dalam contoh ilustrasi diatas, seorang rekan yang berdiri di lantai dasar ialah simbolisasi hakim Pengadilan Negeri yang melihat perkara dengan berbagai alat bukti yang dihadirkan ke persidangan, melihat dan mendengar sendiri mimik wajah pelaku, kemarahan saksi korban, rasa sedih penggugat, rasa kecewa tergugat, dan segala metafisika diseputar perkara yang disidangkan oleh sang hakim Pengadilan Negeri.
Sementara rekan yang berdiri di lantai teratas, adalah simbolisasi Hakim Agung pada lembaga Mahkamah Agung, yang tidak memutus berdasarkan alat bukti, namun pada konsepsi abstrak norma dan penerapannya belaka—alias tidak ‘membumi’. Terlebih, Hakim Agung dituntut memutus secara cepat, berkonsekuensi logis berkurangnya tempo waktu untuk merenungkan suatu perkara kasasi yang dihadapkan padanya.
Dalam ilustrasi sederhana tersebut, menjadi jelas, bahwasannya selalu terdapat disparitas sudut pandang dalam lembaga yudikatif. Keberadaan Mahkamah Agung yang hanya memeriksa penerapan norma (judex jure), tanpa menyentuh tataran pembuktian fakta-fakta yang ada (judex factie—yang berasal dari akar kata ‘fact’ alias ‘bukti / fakta’), entah dapat kita sebut terobosan gemilang dalam hukum atau mungkin sebuah ‘kutukan’ dalam sebuah sistem hukum.
Beruntung, kita mengenal sosok sekelas Hakim Agung Artidjo Alkostar, yang selalu memutus secara objektif, bahkan melampaui peran seorang Hakim Agung, dengan selalu bersedia menyibukkan dirinya memeriksa dan menyinggung keberadaan alat bukti ketika memeriksa dan memutus perkara kasasi yang dimohonkan kepada Mahkamah Agung RI. Itulah sebabnya, sosoknya begitu disegani oleh para pelaku kejahatan, yang bahkan akan berkeringat dingin ketika mendengar nama sang tokoh Hakim Agung ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.