Hukum Tidak Dapat Berdiri Diatas Landasan Rapuh Bernama Asumsi

ARTIKEL HUKUM
Berbagai putusan hakim di pengadilan hingga instansi yang berlabel “Mahkamah”, saling tumpang-tindih dan saling tidak konsisten antar satu putusan dengan putusan lainnya, dan praktik demikian terus berlanjut, berulang, dan terjadi hingga menjelma ‘liar’, dengan mengatasnamakan “hakim bersifat bebas dan independen ketika memutus” sebagai justifikasi diri atas putusan yang sama sekali menafikan norma yang dibentuk oleh putusan-putusan pengadilan sebelumnya.
Mendapati fakta demikian, seakan tidak mau belajar dari pengalaman pahit, para pencari keadilan kerap dibuat frustasi karena sifat praktik peradilan kian menjelma ‘ajang ju-di’ akibat tiada derajat prediktabilitas apapun yang ditawarkan oleh Lembaga Yudikatif ini.
Paradigma “hakim bersifat bebas dan independen dalam memutus”, adalah paradigma naif yang dangkal. Bagaimana tidak, paradigma demikian menyeret kita menjurus pada persepsi hingga perspektif semu, seakan setiap hakim dan seluruh hakim memang memiliki itikad baik ketika menjabat sebagai seorang hakim. Sudah terbukti paradigma demikian adalah mengecoh bahkan membodohi, mengapa kita masih larut dan melekatinya?
Ketika kita menjumpai putusan yang sama sekali menyimpang dari yurisprudensi putusan sebelumnya, kalangan hakim dengan mudahnya berkilah: “Hakim bersifat independen, dan sistem hukum Indonesia yang ala civil law legal system tidak menganut the binding force of precedent, namun sekadar the persuasive force of precedent. Indonesia menganut hukum undang-undang, bukan hukum kaedah norma yang dibentuk oleh putusan pengadilan sebelumnya.”
Selesai sudah, habis cerita, dan hakim-hakim kurang hajar demikian selalu lolos dari jerat hukum, terlebih lolos dari sanksi apapun dari Mahkamah Agung RI yang memayungi lembaga-lembaga peradilan di Tanah Air. Komisi Yudisial pun tak berkutik, karena kewenangannya telah diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi RI, bahkan MK RI secara ultra petitum menyatakan bahwa Komisi Yudisial pun tak berwenang mengawasi dan memberi sanksi kepada hakim MK RI.
Benar-benar habis sudah cerita. The End. Tamat cerita kita. Praktik hukum di Indonesia memang sudah lama tamat riwayatnya. Hanya kemauan untuk berubah yang menjadi harapan satu-satunya sebagai jalan keluar terakhir sebelum praktik peradilan peradilan menjelma menjadi kian liar.
Selama ini, hukum ibarat memberi “blangko kosong” bagi hakim ketika memutus suatu perkara. Berbeda dengan praktik hukum di negara-negara dengan sistem keluarga hukum Anglo Saxon, dimana tiada hakim yang diberikan kewenangan sedemikian besar dan demikian istimewanya seperti praktik hakim di Indonesia.
Hakim di negara-negara dengan sistem keluarga hukum Anglo Saxon ala common law seperti Amerika Serikat maupun Inggris dan negara-negara persemakmuran, tidak memberi “kertas polos” bagi hakim ketika menorehkan amar putusan, namun sudah memiliki semacam “template” yang tidak lain tidak bukan ialah daya ikat yurisprudensi / preseden. Hakim di negara-negara tersebut tidak bebas dalam memutus, justru sangat terikat oleh putusan hakim sebelumnya—dimana dengan ketidakbebasan itulah,  praktik peradilan di negara-negara bersistem hukum Anglo Saxon memiliki tingkat prediktabilitas yang mendekati derajat “dapat dipastikan amar putusan hakim bahkan sebelum gugatan diajukan”.
Dan, sah-sah saja bila pengacara dan konsultan hukum di negara tersebut memberikan jaminan, apakah perkara yang akan dimajukan ke persidangan akan menang atau akan kalah—karena sistem hukum Anglo Saxon menawarkan kepastian hukum sebagai tonggak prediktabilitas yang merupakan hal yang terbilang langka di Indonesia yang berdiri diatas pilar spekulasi karena hakim diberikan ‘blangko kosong’.
Pola pikir “hakim bebas dan bersifat independen”, berdiri diatas landasan rapuh bernama “ASUMSI”: Asumsi bahwa, hakim-hakim di Indonesia memang benar-benar memahami hukum (meski senyatanya mustahil seorang sarjana hukum menguasai setiap bidang disiplin ilmu hukum jika tidak dapat dikatakan telah berbohonga atau membual), asumsi bahwa setiap hakim beritikad baik, asumsi bahwa hakim tidak mungkin korup, asumsi bahwa hakim adalah orang-orang suci yang mendekati kesucian seorang dewa dan dewi, asumsi bahwa hakim adalah robot yang tidak dapat tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan.
Tetap saja, meski berbagai hakim telah tertangkap tangan akibat praktik Korupsi dan Kolusi, paradigma “hakim bebas dan independen dalam memutus” belum juga digugat keberlakuannya, dan masih bertengger sebagai slogan yang senantiasa ampuh bahkan hingga saat kini bagi kalangan hakim untuk “bermain” dan “berspekulasi”.
Hakim yang merupakan seorang spekulan, menjadikan para pencari keadilan bagai seorang ‘buta’ yang meraba-raba dalam bisu-tuli-buta. Benar-benar ‘ber-ju-di’ dalam arti yang sesungguhnya. Sudah banyak korban berjatuhan, apakah masih belum cukup bereksperimen dengan paradigma “hakim bebas dan independen”?
Bila Anda menjadi seorang Penggugat, selalu terdapat versi putusan hakim yang berpihak pada Anda, dan Anda kutip dalam dalil gugatan. Disaat bersamaan, pihak Tergugat memiliki pula yurisprudensi / preseden putusan sebelumnya yang dapat dikutip guna mematahkan gugatan sang Penggugat—alias versi yurisprudensi yang membantah yurisprudensi lainnya. Singkat kata, selalu terdapat dua versi putusan pengadilan hingga Mahkamah Agung di Indonesia yang saling bertolak-belakang—hal yang tidak akan dijumpai para tradisi hukum Anglo Saxon.
Mengingat latar belakang demikian, hakim menjadi demikian bebas dalam ‘bermain’, dimana apapun yang menjadi putusan hakim tersebut, selalu terdapat yurisprudensi di Indonesia yang dapat dikutip juga justifikasi putusan korup yang dijatuhkan sang hakim. Akses terhadap justifikasi diri yang justru dibuka lebar oleh hukum di Indonesia.
Dalam praktik hukum dan peradilan di Indonesia, para pencari keadilan ‘ber-ju-di’ dalam dua hal disaat bersamaan: ber-ju-di dengan asumsi bahwa hakim yang memeriksa dan memutus adalah hakim yang bijaksana dan objektif, serta ber-ju-di karena tiada tingkat prediktabilitas apapun yang dapat dijadikan patokan / topangan—sehingga semua hal harus melewati tahap uji coba, menjadikan diri sendiri atau klien sebagai kelinci percobaan, yang anehnya, bila dalam ilmu ilmiah metode yang sama akan menghasilkan hukum “aksi-reaksi” yang selalu sama dan terukur, namun dalam praktik hukum di Indonesia atas apa yang menjadi “input”, dapat menghasilkan “output” yang berbeda, yang mengakibatkan adalah janggal memberi label “ilmu” pada konteks hukum di Indonesia yang menafikan peran daya ikat preseden maupun daya prediktabilitas dalam hukum.
Perbedaan utama antara ‘ber-ju-di’ dengan ‘ilmu ilmiah’, ialah ketika ilmu memiliki metodologi tertentu yang dapat digunakan oleh pihak lain, dengan metodologi yang sama maka proses ‘aksi’ yang serupa akan menghasilkan ‘reaksi’ yang selalu sama dan konsisten.
Bertolak belakang dengan itu, ‘ber-ju-di’ adalah suatu keadaan dimana semua digantungkan pada kegiatan ‘untung-untungan’, dimana suatu metodologi yang sama, ‘input’ yang sama, akan menghasilan ‘output’ yang bertolak belakang—dan inilah yang terjadi dengan praktik hukum di Indonesia, yang tidak lain tidak bukan ialah berkat ‘blangko kosong’ yang membebaskan hakim untuk sebebas-bebasnya memutus sesuka ‘selera’ sang hakim. Toh, selalu terdapat putusan lain sebelumnya yang dapat dijadikan justifikasi, karena memang selalu terdapat dua versi putusan yang saling bertolak-belakang dan tumpang-tindih dalam praktik hukum di Indonesia.
Sungguh ajaib, sudah lebih dari dua abad lamanya, masyarakat Indonesia yang malang ini hidup dengan pola paradigma berhukum yang mengandalkan pola permainan dalam aktivitas ‘ber-ju-di’. Bahkan para sarjana hukum sepuh hingga kalangan akademisi merasa tidak ada yang salah dengan praktik hukum di Indonesia selama ini—apakah mereka telah terbiasa dengan pola pikir spekulatif? Entahlah. Yang jelas seorang spekulan lebih cocok menjadi seorang bisnisman, pedagang, bukan seorang jurist.
Korbannya, tidak lain ialah para pencari keadilan itu sendiri, membayar biaya sosial dan biaya moril yang tidak sedikit akibat harus melalui ajang uji-coba yang selalu menghasilkan hasil yang berbeda meski memasukkan input dengan metodologi yang serupa.
Siapa yang paling senang dengan paradigma “hakim bebas dan independen dalam memutus”, jika tidak lain tidak bukan ialah kalangan hakim itu sendiri. Terbukti, tiada ada sejarahnya dalam dua abad lebih praktik hukum di Indonesia, seorang hakim dihukum penjara atau bahkan dihukum pemecatan oleh Mahkamah Agung, hanya karena kedapatan memutus secara bertolak-belakang dengan putusan hakim sebelumnya. Di negara-negara bersistem hukum Anglo Saxon, kejadian seperti demikian, hakim menyimpangi preseden, sama derajatnya dengan melakukan makar terhadap negara.
Karena hakim dalam sistem tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law) seperti Indonesia, Belanda, dan Perancis ini bertumpu pada independensi hakim, maka seorang hakim selalu memiliki dua versi putusan, serta dua versi yurisprudensi yang saling bertolak-belakang. Kadang dirinya memilih yurisprudensi versi kesatu, terkadang digunakan yurisprudensi versi kedua—tergantung kebutuhan dan kepentingan yang hendak dimenangkan olehnya. Bisa jadi juga bergantung pada mood atau selera sang hakim pada saat itu.
Bila Anda, seorang profesor hukum lulusan Indonesia, atau bahkan seorang Hakim Konstitusi di Indonesia, yang menyepelekan peran dan fungsi preseden yang demikian disakralkan di negara dengan tradisi hukum common law, sebagaimana selama ini terjadi secara vulgar, bahkan dibiarkan dan terjadi pembiaran akan praktik absurb demikian, maka tidaklah heran akan menertawakan konsep mengenai “daya prediktabilitas hukum”.
Entah harus tertawa dan merasa lucu sebagai suatu lelucon konyol, atau harus merasa bersedih dan berduka karena demikian memprihatinkannya praktik hukum di Indonesia, fakta dalam realitanya demikianlah praktik hukum di Indonesia, yang ditampilkan secara mencolok (dalam arti sesungguhnya) oleh lembaga negara sekaliber Mahkamah Konstitusi RI. Kian hari, kian menumpuk jumlah putusan MK RI yang menafikan putusan MK RI sebelumnya, bahkan mengabulkan permohonan yang dahulu pernah diputuskan “Ditolak”—atau juga sebaliknya “Menolak” permohonan uji materiil yang dahulu pernah “Dibolehkan” dan “Dikabulkan” oleh MK RI, alias menafikan berbagai preseden putusan MK RI yang sebelumnya.
Mahkamah Agung RI telah melakukan gerakan pembaharuan dan pembenahan internal, lewat berbagai publikasi landmark decision terbakukan yang kemudian dituangkan dalam berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung kepada seluruh pengadilan di Indonesia—meski, Mahkamah Agung RI masih setengah hati menindak para hakim yang melenceng dari preseden yang ada, dimana yang menjadi musuh paling besar Mahkamah Agung dalam mendisiplinkan para kalangan jajaran hakim dibawahnya justru diakibatkan paradigma “hakim adalah bebas dan independen dalam memutus” itu sendiri. Buah simalakama, Mahkamah Agung hanya mampu mendaulatkan Surat Edaran yang diterbitkannya sebagai “pedoman” semata, tidak bersifat mengikat bagi kalangan hakim.
Tanpa adanya paradigma “hakim adalah bebas dan independen dalam memutus”, maka hakim pemutus yang sebenarnya ialah preseden itu sendiri, dimana hakim tidak lagi bebas dalam memberikan vonis—dengan demikian tidak akan pernah ada Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, kedua pejabat yang terhormat di lembaga bernama Mahkamah Konstitusi RI yang menjadi korban paradigma “hakim adalah bebas dan independen” (baca: boomerang). Itupun yang tertangkap tangan, yang masih mujur karena tidak tersentuh hukum, tentunya masih banyak lagi.
Jangan-jangan, paradigma demikianlah, yang telah menggoda kalangan hakim untuk bermain-main, mencoba-coba, dan ketika menjatuhkan putusan yang menyimpang dari preseden, tiada mendapat sanksi apapun, lantas ‘ke-ta-gi-han’, sampai akhirnya tergoda untuk menyalahgunakan kewenangan. Paradigma yang telah menjerumuskan kalangan hakim itu sendiri, ibarat senapan api yang memakan sang tuan yang memegangnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.