Dibalik Sebuah Kekuatan dan Kekuasaan

ARTIKEL HUKUM
Tersiar kabar berita, seorang polisi di Kota Bengkulu, salah menembak dan mengakibatkan anak kandungnya sendiri meninggal dunia. Ironi kehidupan bermula, ketika sang anak yang berusia 14 tahun keluar dari kamarnya, dimana sang ayah kemudian mendengar suara decit pintu, seketika sang polisi mengambil senjata api dan menembak ke arah korban.
Dalam keadaan gelap, sang polisi tak melihat siapa korbannya. Ternyata, timah panas bersarang pada korban yang tidak lain adalah anak kandungnya sendiri yang pada akhirnya meninggal dunia di tangan sang ayah. Senjata api membuat si pelaku merasa aman, dan berkuasa penuh kekuatan. Namun disaat bersamaan, si pemegangnya lupa, bahwa kekuatan dan kekuasaan dapat melukai orang lain—tidak terkecuali orang terdekat yang kita dicintai. Senjata tersebut mungkin selama ini telah menyelamatkan dirinya dari para penjahat dan kriminil. Namun senjata yang sama juga telah merenggut kehidupan sang terkasih.
Seorang pedangdut kondang, Raja Dangdut Rhoma Irama, sibuk berkampanye hendak menjadi kepala negara, memimpin bangsa dangdut, menyuarakan mimbar dengan ayat-ayat kitab, mendendangkan keluruhan karakter. Namun ditemukan gagal untuk menyelamatkan anaknya sendiri yang terjerat penyalahgunaan obat-obatan terlarang di sebuah hotel yang tertangkap tangan berpesta barang madat.
Sang anak, tidak butuh seorang ayah yang menjadi pemimpin negeri yang di-elu-elukan serta diidolakan banyak rakyat. Mungkin saja, sang anak hanya membutuhkan sosok dan kehadiran peran seorang ayah, figur seorang ayah, kedekatan seorang ayah, kehangatan seorang ayah, bimbingan langsung seorang ayah, dan seorang ayah yang mau mendengar dan menjadi teman curahan hati tanpa menghakimi.
Uang juga merupakan salah satu bentuk kekuasaan (money is power), tapi akibatnya sang anak mampu membeli barang tak patut untuk dikonsumsi, yang menjerumuskan dirinya dalam lembah kegagalan, sebagai kompensasi ketidak-terpenuhan oleh sesuatu yang tidak akan mampu diisi oleh kekuasaan uang: kasih sayang dan ketulusan keluarga.
Seorang anak yang mendapat perhatian penuh keluarga dan orang tuanya, tidak akan merasa perlu untuk mencari pelarian dengan cara tidak sehat. Psikologi sosial demikian selalu terbukti dan akan terus menunjukkan fenomena sosial serupa. Semua orang tua pernah menjadi seorang anak, namun banyak diantaranya lupa bagaimana perasaan seorang anak.
Seorang hakim, memiliki kekuasaan luar biasa ketika memutus suatu perkara yang dihadapkan kepadanya. Seorang hakim, perlu benar-benar mengingat kekuatan yang terletak di tangannya, dapat menentukan nasib banyak orang. Seyogianya seorang hakim memutus dan mengabulkan apa yang perlu dikabulkan, dan menolak apa yang tidak perlu dikabulkan—bukan sebaliknya: mengabulkan apa yang tidak patut dikabulkan, dan justru melalaikan apa yang semestinya diperiksa dengan sesama untuk diputus.
Negara Indonesia tidak benar-benar butuh kekuatan yang menyerupai negara adidaya seperti Amerika Serikat, yang saking melekat akan status adidayanya, telah menyedot anggaran APBN Amerika Serikat hingga memiliki hutang dalam dan luar negeri yang jauh lebih besar dari angka PDB (Produk Domestik Bruto). Jauh lebih patut disandang sebagai negara penghutang, ketimbang Indonesia—harga yang sangat mahal hanya untuk menyandang gelar prestise sebagai “Adidaya”.
Kita dapat bercermin pula pada Korea Utara, yang sedang bermain-main dengan rudal balistik dan nuklir yang mereka produksi dengan penuh kebanggaan, dapat saja melakukan tindakan bodoh seperti melubangi Planet Bumi ini oleh ledakan atom hidrogen yang meluluhlantakkan peradaban hanya dengan menekan satu tombol. Namun, untuk apa kesemua itu?
Apakah kita benar-benar membutuhkan segenap kekuatan dan kekuasaan tersebut? Bukankah seekor siput yang tampak lemah saja dapat tetap selamat dari evolusi yang tidak menyisakan satupun dinosaurus karnivora raksasa yang luar biasa kuat dan mengerikan?
Terdapat beragam penafsiran atas pernyataan Charles Darwin akan slogannya yang termasyur: “Survival of the fittest”. Namun, banyak yang menyalahartikan sebagai: mereka yang terkuatlah, yang akan keluar sebagai pemenang dan bertahan hidup.
Jaya Suprana memiliki penafsiran tersendiri. Menurut beliau, Darwin melontarkan teori evolusi, dengan dasar berpikir bahwa mereka yang mampu beradabtasi dan memiliki daya lenting dalam hidup, ia akan mampu bertahan hidup. Sehingga bukan semata kekuatan dan kekuasaan—suatu pola berpikir yang sangat primitif bila perihal bertahan hidup hanya melulu terfokus pada kekuatan dan kekuasaan bagaikan seekor T-Rex yang kelaparan dengan rahang dan gigi-gigi tajam menyerupai gergaji, namun tetap saja pada akhirnya menjadi pecundang evolusi.
Bagai makhluk-makhluk purba raksasa yang tidak satupun selamat saat “Ice Age”, ternyata yang mampu bertahan hidup dan melanjutkan generasi mereka hingga saat ini, ialah para makhluk melata kecil yang “lemah”. Bagaikan juga seekor bunglon yang imut mungil, bertahan hidup dengan cara berkamuflase agar tidak dimangsa karnivora yang lebih besar fisiknya.
Segala sesuatu ‘ada harganya’. Terkadang, bahkan acap kali, kita harus membayar mahal untuk sebuah kekuasaan dan kekuatan. Bahkan, seorang raja yang telah berkuasa pada suatu teritori, tidak pernah puas akan wilayah kekuasaannya, terus mencari dan menjajah kerajaan-kerajaan lainnya hanya demi meluaskan kekuasaan. China, yang memiliki teritori demikian luas, terus berupaya mengklaim kawasan lainnya untuk membuat diri mereka menjelma raksasa.
Kekuasaan selalu adiktif dan melenakan. Karena terlena, kita menjadi luput untuk mengingat dan lalai, bahwa tanggung jawab selalu menyertai kekuasaan. Bukanlah persoalan berhasil atau tidaknya menjadi seorang pemimpin negara, namun berhasil atau tidaknya menutup karir sebagai pemimpin dengan menghasilkan perbaikan kualitas hidup para warga masyarakatnya.
Mengapa manusia begitu tergila-gila akan kekuasaan bila dengan memiliki kekuasaan dirinya justru akan terbebani tanggung jawab? Kita dapat bercermin pada kasus pengacara senior, OC Kaligis, yang mati-matian menggugat sebuah organisasi profesi advokat yang mencabut izin praktik pengacara beliau, agar dirinya dapat kembali memegang license beracara di persidangan.
Tak lama berselang, dalam perkara lain, OC Kaligis lewat anak buahnya tertangkap tangan melakukan tindak pidana penyuapan terhadap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana Hakim Agung Artidjo Alkostar kemudian memperberat hukuman ‘sang fenomenal’ menjadi 10 tahun penjara, dengan pertimbangan hukum: Terpidana adalah seorang advokat, maka adalah tanggung jawab profesi seorang advokat untuk mengungkap kebenaran, bukan untuk menutupi kebenaran. Alhasil vonis Pengadilan Tipikor, diperberat oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi. Bila saja sang terpidana bukanlah seorang pengacara, maka vonis akan setara dengan vonis yang dijatuhkan pada para terdakwa lainnya.
Bagaikan tubuh manusia yang besar, dengan mudah dapat membunuh seekor semut yang kecil, cukup hanya lewat satu tepukan tangan. Terkadang, kita perlu bersikap lembut dalam hidup, dan menjadikan kelembutan sebagai definisi baru dari kekuatan.
Mengapa juga selama ini kita selalu mengidentikkan kekuatan dengan kekuasaan (berkuasa atas manusia lainnya)? Toh, sebesar apapun kekuasaan kita, tetap saja kita tunduk dan tidak berkutik ketika dewa kematian mengunjungi diri kita untuk mencabut jiwa di tubuh raga yang ringkih ini. Bukankah kita semua jauh lebih suka berpetualang dengan tanpa banyak beban disandang di pundak kita? Bukankah hidup terlampau singkat untuk menghabiskan waktu berurusan dengan segala beban kekuasaan yang sebenarnya tidak benar-benar diperlukan tersebut?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.