Ambiguitas Hak Pekerja Mempailitkan Pengusaha

LEGAL OPINION
Question: Saya heran, mediator pada Disnaker sudah sebutkan nominal upah yang harus diberikan oleh perusahaan pada kami para pekerjanya dalam surat anjuran mediator. Tapi kenapa, ketika saya dan kawan-kawan buruh mengajukan permohonan agar perusahaan dinyatakan pailit kepada pengadilan, pengadilan malah bilang kalau jumlah upah terutang masih dalam sengketa sehingga tidak bisa pailitkan perusahaan. Apa memang gitu cara pandang hukum, atau hakim di pengadilan ini saja yang ngawur?
Brief Answer: Bila kita berbicara secara akal sehat dan logika, perihal ada atau tidaknya, serta perihal besaran nominal hutang-piutang, tidak ada yang bersifat sederhana proses pembuktiannya. Contoh, dalam perjanjian kredit hutang-piutang sekalipun, terdapat unsur bunga dan denda, yang bisa jadi dibantah debitor perihal besaran kumulasi denda, bunga, dan tunggakan lainnya yang terutang—sehingga tidak pernah ada yang benar-benar bersifat sederhana pembuktiannya.
Dalam kasus hutang-piutang dan wanprestasi (cidera janji) untuk melunasi, pihak debitor akan selalu dapat berkilah semampu yang dirinya bisa. Bila perihal adanya hutang tidak dipungkiri, maka besaran total hutang-piutang yang akan dipersoalkan. Bila perihal adanya dan besaran total hutang-piutang tak dipungkiri, maka syarat dan ketentuan pelunasan / prestasi yang kemudian dipersoalkan.
Meski tampaknya terdapat sikap diskriminatif, mengingat kreditor dalam hubungan hutang-piutang kredit finansial seperti perbankan, Pengadilan Niaga seperti tampak menganak-emaskan dan memudahkan pihak kreditor untuk mempailitkan debitornya, namun dalam praktiknya permohonan pailit kalangan Pekerja / Buruh terhadap pihak Pengusaha, mayoritas putusan masih mewajibkan pihak Pekerja untuk menempuh gugatan ke hadapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terlebih dahulu, barulah dapat mengajukan permohonan pailit bila pihak Pengusaha masih cidera janji terhadap amar putusan PHI.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut SHIETRA & PARTNERS angkat sebagai gambaran betapa simpang-siurnya praktik peradilan di Indonesia, akibat tidak diakuinya daya mengikat preseden / yurisprudensi, sehingga tidak terdapat derajat kepastian hukum ataupun prediktabilitas, sebagaimana disimbolikkan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara Kepailitan register Nomor 501 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 29 Juli 2010, sengketa antara:
- 5 (lima) orang Pekerja, sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu para Pemohon; melawan
- PT. GRIYA PERMATA LESTARI / HOTEL GRAND AQUILA BANDUNG, selaku Termohon Kasasi dahulu Termohon.
Termohon adalah suatu Perseroan Terbatas yang bergerak dibidang perhotelan, sementara para Pemohon merupakan pegawai dari Termohon dalam menjalankan kegiatan usahanya. Telah ternyata pihak Termohon berutang kepada para Pemohon berupa Upah yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Pihak Pemohon (pekerja), mengutip pertimbangan hukum berupa preseden yang diangkat dari Putusan Pengadilan Niaga Surabaya No. 14/PAILlT/2008/PN.NIAGA.SBY., tanggal 20 November 2008, sebagai berikut:
“Menimbang bahwa berdasarkan surat bukti Pemohon bukti P-1 sampai dengan P-20 dihubungkan dengan pengakuan Termohon dalam jawabannya, mengakui bahwa sebagian upah gaji buruh belum terbayarkan, rnaka telah terbukti bahwa sebagian upah gaji buruh belum terbayarkan, maka telah terbukti BAHWA TERMOHON MEMPUNYAI UTANG KEPADA PEMOHON SETlDAK-TiDAKNYA BERUPA GAJI UPAH terhadap karyawan Iebih kurang 1.942 orang yang bervariasi antara 3 (tiga) bulan sampai 6 (enam) bulan yang harus dibayarkan oleh Termohon kepada Pemohon, oleh karena itu unsur satu kreditur telah terpenuhi.”—Yang dalam tingkat kasasi dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 917 K/PAILlT/2008.
Pihak Pekerja mendalilkan, utang Termohon kepada Pemohon merupakan UTANG YANG TELAH JATUH TEMPO DAN DAPAT DITAGIH atas dasar argumentasi bahwa Termohon seharusnya membayar kewajiban gaji kepada para Pemohon adalah setiap akhir bulan (jatuh tempo), namun meski telah pihak Pengusaha telah disomasi para Pekerjanya, Pengusaha tetap wanprestasi atas tanggung jawab hukumnya.
Sementara pihak Pengusaha dalam bantahannya menyebutkan, Termohon tidak membayarkan upah kepada para Pemohon, disebabkan karena para Pemohon Pailit telah melakukan perbuatan:
1. Mangkir kerja tanpa pemberitahuan kepada Pihak Kepala Departemen ataupun Pihak Hotel;
2. Melakukan mogok kerja yang tidak sah dan bergerombol di lobi sehingga mengganggu aktivitas tamu;
3. Melakukan atau membujuk teman sekerja untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum;
4. Tidak hadir dalam jam kerja yang ditentukan selama 3 (tiga) hari berturut-turut—perbuatan-perbuatan pelanggaran yang bisa jadi benar adanya atau hanya diangkat oleh pihak Pengusaha guna mengalihkan isi atau setidaknya membuat pembuktian adanya hutang menjadi tidak lagi sederhana proses pembuktiannya.
Terhadap permohonan dari para Pemohon, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan, lewat putusan Nomor 14/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. tanggal 21 April 2010, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang telah dipertimbangkan diatas, Majelis Hakim menarik suatu kesimpulan bahwa terhadap eksistensi adanya utang sebagaimana yang didalikan oleh Pemohon Pailit masih terdapat sengketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana yang dianjurkan oleh Mediator pada Dinas Tenaga Kerja Pemerintah Kota Bandung sehingga Majelis Hakim berpendapat dan meneguhkan sikap bahwa keberadaan / eksistensi utang dalam Permohonan Pailit ini sifatnya masih tergantung kepada sengketa yang belum diputus, sehingga tidak layak dibahas dan diperiksa di Pengadilan Niaga tetapi seharusnya diperiksa melalui proses perkara di Pengadilan Hubungan Industrial, oleh karena itu persyaratan untuk dinyatakan Pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) jo. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tidak dapat dipenuhi sehingga permohonan pernyataan pailit dari Pemohon Pailit harus ditolak;
MENGADILI :
Menolak permohonan pernyataan Pailit dari para Pemohon.”
Pihak Pekerja mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa Upah tertunggak adalah utang Pengusaha, dimana utang Termohon kepada para Pemohon yang didasarkan pada utang gaji/upah adalah utang yang didasarkan pada perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, yang menyatakan: “Utang adalah kewajiban ... yang timbul karena perjanjian atau undang-undang.”—dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum, seharusnya para Pemohon Pailit meminta penyelesaian Pengadilan Hubungan Industrial, sehingga jelas berapa jumlah hutang yang harus dipenuhi (apabila masih ada), karenanya permohonan Pailit dalam perkara a quo, bersifat prematur;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, lagi pula ternyata putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi : 1. BEJO SUSANTO, 2. EDI UTOMO, 3. FIRMAN ADY CAHYANA, 4. ISKANDAR, 5. NUNIK SRI RREJEKI tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : 1. BEJO SUSANTO, 2. EDI UTOMO, 3. FIRMAN ADY CAHYANA, 4. ISKANDAR, 5. NUNIK SRI REJEKI tersebut.”
Slip Upah merupakan salah satu hak normatif seorang Pekerja / Buruh. Ketika Pengusaha tidak dapat membuktikan telah memberi slip gaji maupun bukti kuitansi tanda-terima pemberian Upah atau berupa bukti pembayaran lainnya, maka seketika itu juga, seyogianya sudah dapat ditarik ‘benang merah’ serta kesimpulan, bahwa memang benar telah terjadi tunggakan.
Bila kreditor lembaga keuangan berhak untuk mengklaim secara sepihak besaran kumulasi denda, bunga, pinalti, dan biaya-biaya lainnya, yang belum tentu diakui keberadaannya oleh pihak debitor, serta tidak sederhana proses pembuktiannya, Pengadilan Niaga tetap berpraduga benar atas setiap klaim sepihak kalangan perbankan.
Namun, mengapa tidak dapat kita konstruksikan secara analogi serupa, ketiadaan slip pembayaran Upah sebagaimana selama ini terdapat slip pembayaran Upah, maka dapat diasumsikan terjadi hubungan hutang-piutang sebesar sekian bulan gaji yang tidak diterbitkan slip pembayaran Upah? Dapatlah kita simpulkan, perkara hubungan industrial masih di-anak-tirikan dalam praktik Pengadilan Niaga konteks Kepailitan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.