Surat Peringatan Kolektif, Konteks Ketenagakerjaan

LEGAL OPINION
Question: Apa hukum memungkinkan perusahaan untuk menerbitkan surat peringatan secara kolektif kepada karyawannya sehingga bentuknya seperti semacam pengumuman yang ditempelkan di pabrik tempat karyawan bekerja?
Brief Answer: Berdasarkan praktik peradilan, meski dalam Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan belum dikenal konsepsi mengenai surat peringatan kolektif demikian, namun best practice memungkinkan hal demikian—sepanjang di-dokumentasikan dengan baik.
Pada praktiknya, terdapat dua variasi ‘surat peringatan kolektif’, dalam kemungkinan sebagai berikut:
1. Pengusaha menerbitkan sebuah surat peringatan yang berlaku untuk banyak Pekerja / Buruh—biasa terjadi setelah peristiwa / aksi mogok kerja tidak sah;
2. Direksi kantor pusat menerbitkan surat peringatan pertama yang kemudian dilanjutkan oleh Kepala Kantor Cabang yang menerbitkan surat peringatan kedua ketika pihak Pekerja mengulangi pelanggaran dalam tempo waktu masih berlakunya surat peringatan pertama.
Namun yang perlu disadari pihak Pengusaha, terhadap Pekerja/Buruh yang kemudian di-putus hubungan kerja (PHK) dengan alasan pelanggaran indisipliner, tetap berhak atas pesangon sebagai kompensasi hak-hak normatif pihak Pekerja.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut dapat memberi cerminan, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa PHK register Nomor 477 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 28 Juli 2016, perkara antara:
- DIREKTUR PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PDAM) TIRTA SILAUPIASA, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- ASNAN SIAGIAN, sebagai Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat sudah bekerja sebagai karyawan PDAM Tirta Silau Piasa Kabupaten Asahan ± 17 tahun, sampai pada akhirnya tanggal 02 Juni 2014 diterbitkan Surat PHK secara sepihak kepada Penggugat, dimana selanjutnya Tergugat tidak lagi membayar upah Penggugat sejak Juni 2014, sementara bila merujuk kaedah Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat pengaturan norma:
“Selama putusan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum di tetapkan, baik pengusaha maupun Pekerja/Buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Sehingga dengan demikian Penggugat masih berhak atas Upah Proses sebagai Pekerja/Buruh. Namun sejak Surat PHK diterbitkan, Tergugat tidak lagi membayar gaji Penggugat. Adapun kronologinya, Surat Peringatan yang diberikan Tergugat kepada Penggugat secara kolektif yang mengatas-namakan institusi PDAM Tirta Silau Piasa Kabupaten Asahan yang masa berlakunya dari 6 (enam) bulan dari tanggal 02 Agustus 2011 (SP I) dan tanggal 02 Januari 2014 (SP II).
Mediator berpendapat tentang mengeluarkan Surat (SP I), (SP II), (SP III) baik Direktur maupun kepada Cabang Tanjung Tiram sifatnya kolektif yang mengatasnamakan institusi PDAM Tirta Silau Piasa, bertentangan dengan Pasal 161 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Hubungan Industrial Medan telah memberikan putusan Nomor 92/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn tanggal 16 November 2015, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Dalam Putusan Provisi:
- Mengabulkan permohonan provisi Penggugat untuk sebagian;
- Menghukum Tergugat untuk membayar gaji/upah Penggugat terhitung sejak diskorsing hingga di PHK, total sebesar Rp. 18.000.000.- (Delapan belas juta rupiah);
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat beralasan secara hukum;
- Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat dengan Penggugat putus karena PHK berdasarkan ketentuan Pasal 161 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Menghukum Tergugat untuk membayar hak–hak Penggugat berupa uang pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak, total sebesar Rp21.975.000,00 (dua puluh satu juta sembilan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);
- Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar Rp.411.000,00 (empat ratus sebelas ribu rupiah);
- Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan keberatan bahwa berdasarkan bukti-bukti surat dan saksi-saksi, telah jelas bahwa Penggugat melakukan pelanggaran, yakni:
1. Tidak masuk berkerja selama 9 hari terus menerus pada bulan Juli 2011;
2. Tidak masuk berkerja selama 6 hari terus menerus pada bulan November 2013;
3. Tidak masuk berkerja selama 11 hari terus menerus pada bulan Desember 2013;
4. Tidak masuk berkerja selama 14 hari pada bulan Januari 2014;
5. Tidak masuk kantor selama 2 bulan secara terus menerus pada tanggal 24 Maret 2014 s/d 24 Mei 2014.
Dimana terhadap keberatan pihak Pengusaha, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 2 Desember 2015 dan kontra memori kasasi tanggal 28 Desember 2015, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Judex Facti telah benar menerapkan ketentuan Pasal 161 Undang-Undang 13 Tahun 2013 terhadap peristiwa hukumnya karena terbukti atas pelanggaran Penggugat telah dikenakan Surat Peringatan dari Tergugat;
“Bahwa namun demikian sepanjang putusan dalam Provisi, putusan Judex Facti perlu diperbaiki karena upah proses adil diberikan sejumlah 6 (enam) bulan upah yaitu sejumlah 6 x Rp1.500.000,00 = Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah) dengan pertimbangan lamanya proses penyelesaian perselisihan menurut Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: DIREKTUR PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PDAM) TIRTA SILAUPIASA tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar sebagaimana disebutkan di bawah ini;
M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Silaupiasa tersebut;
- Memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan 92/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn tanggal 16 November 2015 sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Dalam Putusan Provisi
- Mengabulkan permohonan provisi Penggugat untuk sebagian;
- Menghukum Tergugat untuk membayar gaji/upah Penggugat terhitung sejak diskorsing hingga di PHK, total sebesar Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah);
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat beralasan secara hukum;
3. Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat dengan Penggugat putus karena PHK berdasarkan ketentuan Pasal 161 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat berupa uang pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak, total sebesar Rp21.975.000,00 (dua puluh satu juta sembilan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya.”
Adapun pengaturan selengkapnya dalam Pasal 161 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003:
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Penjelasan Resmi Pasal 161 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003:
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
“Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
“Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat peringatan pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua.
“Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan ketiga.
“Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.
Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan pertama sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan kembali pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga.
“Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir.
“Apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.
Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik pekerja/buruh agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja / buruh yang bersangkutan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.