Surat Peringatan III Tidak Identik PHK

LEGAL OPINION
Question: Masih merasa sedikit rancu dengan aturan perihal SP. Jika buruh sudah dapat melanggar SP ke-2, lalu mengulangi pelanggaran, apa artinya SP ke-3 adalah PHk atau bagaimana dalam kacamata pengadilan?
Brief Answer: Untuk pelanggaran indisipliner, secara hukum terdapat empat tahapan sebelum seorang Pekerja/Buruh dapat di-putus hubungan kerja (PHK) oleh Pengusaha, yakni dimulai dari Surat Peringatan Pertama (SP I), yang berlaku dalam tempo 6 bulan, yang jika terdapat pelanggaran kembali maka akan dikenakan SP II, yang mana SP II berlaku untuk kurun waktu 6 bulan.
Bila SP II dalam kurun waktu tempo keberlakuannya, pihak Pekerja/Buruh kembali melakukan pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama dan/atau undang-undang, maka dapat diterbitkan SP III.
Yang patut dipahami pihak Pengusaha, SP III bukanlah identik dengan hak PHK, namun peringatan terakhir, bilamana pihak Pekerja/Buruh kembali melakukan pelanggaran dalam tempo waktu 6 bulan sejak SP III diterbitkan baginya, barulah menerbitkan hak bagi Pengusaha untuk menyatakan putus hubungan kerja antara pihak Pengusaha dengan pihak Pekerja/Buruh. Sementara bila dalam tempo waktu tersebut, tidak kembali terulang pelanggaran, maka SP menjadi kadaluarsa dengan sendirinya.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut SHIETRA & PARTNERS harapkan dapat menjadi gambaran konkret yang lebih membuat mudah untuk memahami perihal SP ketenagakerjaan sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 15 PK/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 25 April 2016, perkara antara:
- PT. SARANA STEEL ENGINEERING, selaku Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Tergugat; melawan
- ARIES FIRMAN, Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat.
Penggugat adalah karyawan Tergugat (PT. Sarana Steel Engineering) yang telah bekerja sejak mulai tahun 2001 dengan jabatan terakhir sebagai Supervisor Marketing. Pada tangga! 1 November 2012, Penggugat dipanggil untuk menghadap HRD/GA Tergugat, dimana pada pertemuan tersebut Penggugat diberikan Surat Peringatan (SP) III dengan alasan Penggugat dianggap telah melakukan pelanggaran disiplin kerja, yaitu: tidak melakukan absen/mencatatkan daftar hadir sesuai jam datang dan pulang yang sebenarnya, meninggalkan tempat kerja tanpa izin atasan atau alasan yang sah, pulang lebih awal tanpa izin atau alasan yang sah, pada waktu kerja tidak mengenakan pakaian kerja yang sudah diberikan perusahaan (seragam kerja dan sepatu keselamatan kerja) sebagaimana diatur di dalam Peraturan Perusahaan (PP) PT. Sarana Steel Engineering.
Atas surat peringatan, Penggugat berkeberatan karena selama Penggugat bekerja yang hampir 12 tahun pada Tergugat, untuk masalah disiplin kerja yang dituangkan pada surat peringatan tersebut tidak pernah Tergugat melakukan teguran lisan kepada Penggugat atau memberikan surat peringatan ke-l, sehingga terbitnya surat peringatan III secara serta-merta kepada Penggugat bertentangan dengan prosedur hukum ketenagakerjaan—apalagi, menurut pengakuan Penggugat, Peraturan Perusahaan (PP) PT. Sarana Steel Engineering/Tergugat tidak pernah diberikan kepada Penggugat.
Tanggal 2 November 2012, Penggugat mendapati Surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang ditandatangani Direktur PT. Sarana Steel Engineering yang mana surat PHK tersebut dikirim dan/atau diantar langsung oleh HRD/GA Tergugat, dimana surat tersebut diterima oleh isteri Penggugat karena Penggugat lagi bekerja di lapangan mencari order untuk Tergugat. Adapun substansi dari Surat PHK tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Sehubungan dengan Surat Peringatan III Nomor ... tanggal 1 November 2012, dan saudara melakukan pelanggaran disiplin kerja yaitu tidak mencatatkan daftar hadir pada waktu jam masuk dan jam pulang kerja sehingga tercatat mangkir/alpa. Berdasarkan Peraturan Perusahaan Pasal 32 ayat (2) dengan ini anda dianggap mengundurkan diri dari PT. Sarana Steel Engineering.”
Surat Peringatan (SP) III diatas menyatakan bahwa Surat Peringatan ini berlaku dan mengikat selama 6 (enam) bulan terhitung mulai tanggal 1 November 2012 sampai dengan 30 April 2013, sehingga terbitnya surat PHK tersebut yang hanya berselang 1 (satu) hari setelah SP III diterima oleh Penggugat telah melanggar hukum ketenagakerjaan yang berlaku dan isi dari SP III itu sendiri karena Penggugat tidak diberi waktu untuk memperbaiki diri dan/atau mendisiplinkan dirinya, demikian Penggugat mempostulasikan dalilnya. Dengan kata lain, SP III tersebut oleh Pengusaha dirangkap sebagai surat PHK.
Atas tindakan Tergugat yang telah memutus hubungan kerja Penggugat dengan alasan Penggugat telah mangkir/alpa, sehingga dianggap mengundurkan diri, ditolak oleh Penggugat karena Penggugat masih ingin bekerja, maka Penggugat pada tanggal 3 November 2012 datang ke kantor Tergugat untuk tetap bekerja dan menanyakan kebenaran isi dari surat PHK tersebut karena terbitnya surat PHK dari Tergugat kepada Penggugat tidak sesuai dengan prosedur hukum yang diatur di dalam Undang-Undang.
Mendapati tidak ada respons dari Tergugat untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial ini secara musyawarah dalam suasana kekeluargaan, maka Penggugat mendaftarkan permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada kantor Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Timur.
Pihak Mediator pada Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja kemudian menerbitkan Surat Anjuran yang isinya menganjurkan agar pihak pengusaha (PT. Sarana Steel Engineering) membayar Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja serta Uang Pengganti Hak lainnya kepada Penggugat, yang salah satu komponennya ialah Uang Pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan normal—sebagaimana kemudian dikabulkan oleh pengadilan.
Alasan terbitnya Surat PHK tersebut menurut Tergugat karena Penggugat telah mangkir/alpa maka dengan ini dianggap mengundurkan diri dinilai sebagai alasan yang tidak berdasarkan hukum, sebab merujuk ketentuan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat pengaturan:
“Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih secara yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputuskan hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.”
Artinya, tanpa ada suatu panggilan patut yang sebanyak 2 (dua) kali kepada Penggugat, maka alasan Tergugat yang menyatakan Penggugat dikualifikasikan mengundurkan diri adalah alasan/dalil yang tidak sah.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan putusan Nomor 144/PHI/G/2013/PN.JKT.PST., tanggal 11 November 2013, dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat putus dan berakhir sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kompensasi pemutusan hubungan kerja kepada Penggugat, yang terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak atas perumahan serta pengobatan dan perawatan, serta upah selama proses penyelesaian selama 5 (lima) bulan, sehingga keseluruhannya berjumlah sebesar Rp165.112.500,00 (seratus enam puluh lima juta seratus dua belas ribu lima ratus rupiah);
4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Adapun yang kemudian menjadi amar Putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi Nomor 321 K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 7 Agustus 2014 sebagai berikut:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. SARANA STELL ENGINEERING, tersebut.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama alasan-alasan peninjauan kembali tanggal 9 Juli 2015 dan jawaban alasan peninjauan kembali tanggal 2 September 2015 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Juris, dalam hal ini Mahkamah Agung tidak melakukan kekeliruan yang nyata dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa sekalipun Tergugat/Pemohon Kasasi telah membuktikan adanya pelanggaran absensi dan Surat Peringatan III namun tidak dapat langsung atau secara tiba-tiba melakukan Pemutusan Hubungan Kerja sebelum ada pelanggaran yang dilakukan oleh Penggugat/Termohon Kasasi dalam kurun waktu 6 (enam) bulan sebagaimana ditentukan dalam Surat Peringatan III a quo, dan lagi pula terbukti tidak ada pelanggaran dari Penggugat/Termohon Kasasi dalam kurun waktu 6 (enam) bulan;
- Bahwa dengan demikian sudah tepat Pemutusan Hubungan Kerja dengan hak kompensasi sebagaimana telah benar diperhitungkan Judex Facti;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Mahkamah Agung berpendapat permohonan pemeriksaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali PT. SARANA STEEL ENGINEERING tidak beralasan, sehingga harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: PT. SARANA STEEL ENGINEERING, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.