Antara Suap, Korporasi, dan Kekuasaan

ARTIKEL HUKUM
Bila peserta tender lain yang ditunjuk sebagai pemenang tender program pengadaan barang dan jasa pemerintah, lalu terbukti melakukan pidana penyuapan sehingga peserta tender tersebut dijatuhi vonis tindak pidana korupsi (Tipikor) oleh Pengadilan Tipikor, maka bisakah peserta tender yang dikalahkan dalam tender menggugat peserta tender yang menang namun kemudian terbukti melakukan pidana penyuapan terhadap panitia tender?
Demikian pertanyaan yang sempat terlontar pada SHIETRA & PARTNERS. Dalam artikel singkat ini, penulis tidak akan membahas dari sudut pandang regulasi norma tertulis, namun kita akan menelaah secara holistik lewat falsafah perihal suap-menyuap yang terdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap pihak ketiga yang memiliki kepentingan.
Kaedah tertulis relatif bersifat tentatif serta tidak mungkin akan lengkap untuk mengejar kemajuan modus kejahatan yang senantiasa berevolusi. Sementara falsafah cenderung stabil dan tahan uji moril. Kini, mari kita telusuri hakekat mula terjadinya suap.
Alkisah, pihak masyarakat yang membutuhkan pelayanan Aparatur Sipil Negara (ASN alias Pegawai Negeri Sipil/PNS), menempati antrian nomor urut 2. Namun pihak yang menempati antrian nomor urut 10, tidak mau mengantri secara tertib. Terbitlah ide, bagaimana caranya agar dirinya tidak perlu antri namun dapat langsung dilayani—merasa dirinya lebih berhak dan lebih istimewa dari warga negara lainnya.
Terjadilah transaksi (suap) antara penyelenggaran negara pelayanan publik terhadap si pengantri nomor 10. Alhasil, yang semula mendapat nomor antrean 2, tergeser menjadi antrean nomor 3. Kemudian, pengantre nomor 30 juga memiliki ide yang serupa, jika bisa “salam tempel”, dan bisa seketika dilayani, maka mengapa tidak? Kalangan pengusaha memandang metode ‘salam tempel’ sebagai cara kreatif yang tidak melanggar moril.
Alhasil, si pengantri nomor 3, tergeser kembali menjadi nomor 4. Tidak cukup sampai di situ, pengantri nomor lainnya ke-sekian, turut menggunakan pola transaksional serupa. Dengan gencarnya aksi suap-menyuap terjadi, bukan hanya karena adanya niat, tapi juga kesempatan yang bisa jadi bermula dari pihak penyelenggara negara yang mencoba mempersulit publik, dan bisa jadi juga bermula dari tawaran pihak swasta (terutama pihak pengusaha).
Dampaknya memiliki setidaknya 2 ekses, antara lain:
1. Terjadi pola pembiasaan / terukirnya budaya pungli (pungutan liar) dan suap-menyuap. Tanpa diberi ‘uang pelicin’, maka ASN / PNS tidak akan bergerak, namun cenderung menunggu pola transaksi barulah dirinya akan melayani. Yang terjadi ialah pola paradigma mindset pedagang, ada uang maka ada layanan.
Pelayanan publik menjelma seperti transaksional swasta. Padahal, seperti yang kita ketahui, pelayanan publik bersifat monopoli, dalam arti suka tidak suka, masyarakat umum tidak dapat mencari alternatif lain, semisal untuk mengurus perubahan data yuridis dalam sertifikat hak atas tanah, maka yang berwenang hanya Kantor Pertanahan administratif setempat, sehingga pejabatnya menjadi ‘besar kepala’ dan memiliki ‘daya tawar’ yang tinggi;
2. Pihak yang mengantri secara jujur, tidak akan mendapat pelayanan sebagaimana mestinya. Praktik suap-menyuap selalu merugikan orang yang jujur. Karena terbiasa disuap, maka seorang pejabat penyelenggara pelayanan publik akan ‘marah’ (dalam arti harafiah sesungguhnya) kepada publik yang meminta pelayanan, semisal regulasi menyatakan ‘gratis’ namun masyarakat menjadi ‘sungkan’ untuk tidak memberi.
Atau, bila retribusi hanya mencantumkan sekian Rupiah, maka pejabat tidak akan melayani bahkan menelantarkan berkas permohonan ketika ‘uang pelicin’ yang telah mereka biasakan terima dari para penyuap sebagai suatu standar baku pungli ‘tidak tertulis’ secara berjemaah dalam bentuk ‘semangat korps’.
Terdapat paradigma di tengah kalangan masyarakat pengusaha, “uang pelicin” tidak merugikan siapapun. Yang memberi dan yang diberikan sama-sama senang, jadi dimana letak kesalahannya? Inilah permainan logika sesat yang ditampilkan kalangan pengusaha sejauh pengamatan penulis.
Bagai sebuah pohon yang bertumbuh, ketika ia tumbuh bengkok, kian ia besar maka kian sukar untuk diluruskan pertumbuhannya. Seperti halnya demikian sebuah budaya yang dibiarkan ‘bengkok’ sejak lama tanpa penindakan secara segera, amat sukar untuk meluruskan budaya demikian.
Pemerintahan yang baik bersikap tegas, tidak segan memecat secara tidak hormat pejabat yang terbukti korup ataupun berkolusi, tidak memberi berbagai kelonggaran dan toleransi yang hanya membuat pejabat negara dalam pelayanan publik menjadi ‘besar kepala’ (ruang bernafas yang diberikan terlampau longgar)—dan sikap tegas inilah yang masih langka dikalangan para petinggi instansi pemerintah, akibat ‘kepalanya’ sendiri senyatanya tidak kalah kotor, dimana para pejabat kelas rendah harus menyetor sekian Rupiah agar dirinya dapat membeli jabatan yang lebih tinggi atau sekadar untuk ‘balik modal’ saat dirinya mengikuti proses seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Bila pimpinan yang menjabat sebagai kepala instansi, dahulunya merupakan pejabat rendah yang terbiasa dengan praktik menunggu pungli demikian, ketika menjabat maka dirinya akan bersikap toleran terhadap apratur bawahannya yang melakukan praktik serupa. Inilah yang kemudian menjadi ‘lingkaran setan’. You and I, SAMA, MAKA SAMA-SAMA TAHULAH...
Sifat kekeluargaan masyarakat Indonesia menjelma tidak sehat. Ketika pejabat pada instansinya terbukti atau dilaporkan oleh masyarakat melakukan pungli, maka sang petinggi akan merasa sungkan menegur bawahannya, memberi toleransi dengan mengatasnamakan sifat kekeluargaan, ‘tidak enak menegur’, bahkan tidak berani untuk memecat—bahkan juga kerap melindungi bawahan korup yang selama ini menjadi ATM bagi sang pimpinan. Alias memang pada motifnya ialah untuk di-‘pelihara’.
Kejelakan paling utama dari kalangan pengusaha di tanah air, yang ditengarai sebagai akar mula biang pembudayaan pola hidup pungli dan suap-menyuap, ialah ketika dirinya memberi suap: dirinya selaku swasta tersenyum bangga dan mengucapkan terimakasih kepada sang pejabat korup. Seakan, semua ini merupakan simbiosis mutualisme.
Secara ilmu psikologi, praktik demikian sangat berbahaya. Mengapa? Karena timbul paradigma dibenak (ranah alam bawah sadar) pejabat negara, bahwa masyarakat yang dipungli tidak keberatan. Bahkan mereka mengucapkan terimakasih, meski telah dipersulit dan memberi sejumlah dana yang tidak sedikit. Artinya, pungli adalah tidak melanggar moril, bahkan menolong para pihak.
Hal tersebutlah yang kemudian menjadi ‘lingkaran setan’ derajat lapis kedua yang sangat amat sukar untuk diperbaiki. Pola pikir demikian bahkan telah merasuk dalam sendi pejabat kelas atas maupun pejabat yang baru berprofesi sebagai seorang ASN.
Sejak zaman kerajaan, hingga awal mula dikenalnya konsep negara republik, bahkan hingga rezim pemerintahan presidensial, bila kita tarik sejarah antropologi bertumbuhnya bibit pola hidup korup dan kolusi, tidak lain ialah keterlibatan pihak swasta pengusaha. Di negara pun, rasanya akan ditemukan pola serupa. Amerika Serikat adalah negara yang dikenal keras terhadap korporasi nakal, sehingga aparatur negaranya dikenal bersih.
Apa yang kemudian terjadi? Pengusaha jujur kian tergeser, dan mati secara perlahan. Menyisakan korporasi-korporasi raksasa yang mencengkeram erat Bumi Pertiwi, bahkan di-‘backing-i’ pihak pemerintah lewat aparatur pejabatnya.
Praktis, dari Lembaga Eksekutif (lihat kasus dimana pihak kepolisian tidak akan bergerak menindaklanjuti laporan warga dengan alasan ‘tidak ada biaya operasional’), Lembaga Legislatif pembentuk undang-undang (lihat kasus pembentukan undang-undang tentang hewan dan peternakan yang menyeret pihak pengusaha importir daging sapi), hingga Lembaga Yudikatif (lihat kasus pengusaha menyuap hakim agar Keputusan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan tidak dibatalkan oleh PTUN).
Seluruh lembaga pemerintahan praktis dijerat dan dikontrol oleh pihak pengusaha yang mengendalikan sendi-sendi pemerintahan dari ‘balik layar’. Tidak lagi menyisakan ruang apapun bagi rakyat jelata untuk bernafas.
Ketika rezim Orde Baru yang dikendalikan badan moneter internasional dijungkalkan, kita bereforia, seakan sejarah baru akan dibuka, namun era demokrasi justru menyuburkan praktik cengkeraman pihak korporasi lokal maupun korporasi asing. Regulasi kental akan pesan sponsor, bahkan daya tawar Republik Indonesia menjadi tunduk seperti seorang budak yang malu-malu menghadapi korporasi raksasa semacam Freeport yang merasa tidak wajib membangun smelter—alias kebal hukum.
Money is power, itulah sebabnya kalangan pengusaha kadang lebih berkuasa dari para kalangan pucuk pimpinan suatu negeri. Kini akan penulis buka sebuah fakta dimana Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia demikian dekat dengan kalangan pengusaha.
Baru-baru ini, Arief Hidayat dalam kedudukannya sebagai Ketua MK RI—bukan diundang atas nama pribadi (penulis menunjuk jabatan Ketua MK yang kebetulan dijabat sang pejabat), diundang sebagai pembicara dalam simposium kalangan pengusaha di Indonesia. Kedekatan ini sangat aneh, terutama ketika sang Ketua MK menyatakan pada para kalangan pengusaha tersebut, bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah undang-undang yang paling banyak diajukan uji materil.
Apa urgensi sang Ketua MK menyampaikan hal demikian di hadapan kalangan pengusaha? Seakan dengan bangga mengumandangkan bahwa (secara implisit) bahwa MK RI patut dibanggakan oleh para kalangan pengusaha tersebut, bagaimana dirinya layak dihargai oleh para kalangan pengusaha tersebut yang dibuat kagum dan terkesima oleh kinerja sang Ketua MK RI (Ketua MK adalah jabatan MK RI selaku sebuah institusi).
Satu fakta lain yang tidak terbantahkan dimana penulis jumpai dengan mata kepala sendiri, ialah ketika penulis mengajukan Uji Materiil terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan dimana Pekerja Kontrak (PKWT) tidak berhak atas Upah Proses akibat tiada diaturnya mekanisme peralihan PKWT menjadi PKWTT (sebab PKWT tidak mengenal skoorsing).
Ketika hari pembacaan putusan di ruang sidang pleno MK RI, pihak Kementerian Tenaga Kerja hadir tanpa diundang. Ketika para Hakim Konstitusi menyatakan bahwa permohonan penulis ‘tidak diterima’, dengan alasan penulis hanya seorang konsultan hukum, bukan seorang pekerja, seketika itu juga pejabat dari Kementerian Tenaga Kerja sontak berseru gembira sambil tertawa lebar.
Mengapa pihak Kementerian Tenaga Kerja tidak berpihak pada hak-hak normatif kalangan Buruh yang sedang penulis perjuangkan?
Pada detik itulah, penulis baru menyadari bahwa yang sedang penulis lawan dan hadapi ialah ‘tembok tebal’ the great wall bernama ‘kalangan pengusaha’ yang mencengkeram erat berbagai sendi pemerintahan bahkan hingga lembaga yudikatif sekelas Mahkamah Konstitusi RI. Kasus importasi daging sapi dari negara terjangkit penyakit kulit dan kuku yang menyerat Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, menjadi afirmasi hipotesis ‘cengkeraman’ erat korporasi dalam ranah kebijakan publik.
Adalah keliru menyasar nama-nama besar dari kalangan birokrasi pemerintahan. Penyakit paling utama bersumber dari kalangan pihak pengusaha, dan inilah yang sangat jarang disentuh oleh pihak penegak hukum yang memang telah menjadi ‘budak’ secara tidak kasat mata dari kalangan pelaku usaha. Bahkan Garnisun dan tentara dapat disewa sebagai bodyguard kalangan swasta—dan ini bukan lagi rahasia umum.
Bukti lain yang tidak lagi dapat dibantah: frasa “dapat” dalam UU Tipikor yang kemudian diamputasi oleh MK RI (lagi-lagi) dibawah kepemimpinan Arief Hidayat, meski senyatanya nebis in idem sehingga grief breaches terhadap asas hukum nebis in idem terhadap putusan “ditolak” dalam perkara serupa putusan MK RI sebelumnya (artinya telah berkekuatan hukum tetap), kemudian oleh MK RI pada awal tahun 2017 dinyatakan “dihapuskan”. Mungkin, yang coba dilindungi MK RI bukanlah kalangan birokrasi, namun tidak lain ialah kalangan “PENGUSAHA”.
Adalah mustahil, kesembilan Hakim Konstitusi RI yang merupakan guru-guru besar bidang hukum, profesor hukum, doktor hukum, tidak paham bahwa putusan yang telah dinyatakan “DITOLAK” tidak dapat diajukan gugatan kembali (inkracht van gewijsde), kecuali terhadap putusan ‘tidak dapat diterima’ yang masih memungkinkan diajukan permohonan ulang. UU MK RI mengatur secara tegas, putusan yang telah menyatakan “DITOLAK”, tidak dapat diajukan kembali. Namun, kemudian siapa yang melanggar? MK RI itu sendiri.
Penulis menyatakan hal tersebut bukanlah untuk dan atas nama pribadi, namun untuk dan demi kepentingan putusan MK RI generasi hakim-hakim Mahkamah Konstitusi RI sebelumnya yang telah menyatakan frasa “dapat” merugikan keuangan negara dalam UU Tipikor adalah ‘konstitusional’. Kini, KPK dan aparat penegak hukum dibuat “mengelus dada” terhadap putusan para Hakim MK RI dibawah kepemimpinan Arief Hidayat yang seolah tidak paham asas-asas paling mendasar dalam doktrin ilmu hukum. Bukan tidak tahu, namun pura-pura lupa.
Jangan lupa, korporasi dan kalangan pengusaha punya kekuatan untuk membentuk / create sebuah skandal Mega Corruption. Dahulu demikian adanya, kini pun demikian, dan nantinya pun akan selalu demikian—selama republik ini belum menyadari hakekat menyandang gelar Republik yang bermakna memiliki kedaulatan publik diatas setiap kedaulatan politis lainnya. Bila saja raja-raja kita dahulu kala tidak menjual tanah airnya sendiri kepada VOC, maka tidak akan pernah berdiri Hindia-Belanda di Nusantara. Dan, apakah Anda mengetahui lembaga apakah VOC ? Fakta sejarah mencatat, VOC tidak lain ialah perwakilan Kamar Dagang Kerajaan Belanda. Semoga tulisan ini tidak benar adanya. Semoga penulis keliru sepenuhnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.