Psikologi Hukum dalam Dakwaan Pidana

LEGAL OPINION
Question: Apakah disiplin ilmu mengenai ‘psikologi hukum’ diterapkan dalam praktik pidana oleh hakim di pengadilan?
Brief Answer: Diterapkan dan diakui oleh praktik peradilan di Indonesia, namun ruang lingkupnya masih sangat terbatas, tidak elaboratif seperti praktik peradilan di negara-negara maju. Secara limitatif, yang sudah mengadopsi paradigmatik psikologi hukum dalam memeriksa dan memutus, terutama dapat kita jumpai dalam kasus kekerasan psikis dalam rumah tangga, dimana pelaku kekerasan batin diancam dan dapat dijerat ancaman pemidanaan berdasarkan undang-undang tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Namun dalam praktik pidana pada umumnya, untuk menentukan apakah seseorang ketika melakukan kejahatan sedang dalam kondisi ‘waras’ atau tidaknya, memang merujuk pada saksi ahli dibidang psikiater / psikolog, guna menentukan apakah pelaku dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahannya atau tidak.
Namun praktis diluar konteks tersebut, disiplin ilmu psikologi hukum yang masih relatif baru di Indonesia belum mendapat perhatian yang cukup memadai, baik di pendidikan tinggi ilmu hukum maupun praktik litigasi di tanah air.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi yang SHIETRA & PARTNERS dapat jadikan rujukan, yakni putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur perkara pidana KDRT register Nomor 358/PID.SUS/2014/PN.JAK.TIM. tanggal 13 Agustus 2014, bermula dari pernikahan antara terdakwa dengan istrinya (korban), yang kemudian dikaruniai anak laki-iaki yakni berusia 13 tahun dan usia 6,5 tahun. Menurut isteri terdakwa, oleh karena dirinya sering diperlakukan kasar dan sering terjadi perselisihan, sehingga pada tahun 2013 isteri terdakwa mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan, yang kemudian diputus dengan amar yang pada pokoknya menyatakan “menyatakan perkawinan antara Penggugtan dan tergugat putus karena perceraian dengan segala akibatkanya”.
Sekalipun telah putus bercerai, akan tetapi keduanya masih tinggal dalam satu atap kediaman berserta kedua anak-anak mereka. Pada tahun yang sama, mantan isteri terdakwa melaporkan terdakwa ke Polres Metro Jakarta Timur, bahwa selama dalam perkawinannya korban sering diperlakukan tindak kekerasan batiniah, setiap kali terjadi pertengkaran maka Terdakwa selalu mengatakan pada korban dengan kata-kata yang tidak patut, sambil menyiksa dengan memukuli, menjambak / menarik rambut, menampar, menjepit dengan pintu hingga wajah korban mengalami luka, diinjak oleh Terdakwa, mengancam akan membunuh korban.
Terdakwa sering menyiksa korban dengan mengatakan “lihat saja nanti kamu akan mati ditangan saya, akan saya siksa kamu”, dan yang paling menyakitkan adalah korban perah melihat terdakwa sedang berselingkuh dengan perempuan lain.
Yang saat ini yang dialami adalah korban ialah perasaan ketakutan karena sering mendengar kata-kata ancaman akan menyiksa korban sampai mati, oleh sebab itu korban selalu dalam perasaan ketakutan dan tertekan bila benar-benar akan mati.
Berdasarkan hasil pemeriksaan psikologis melalui wawancara, observasi dan test Psikologis oleh Psikolog dari Pusat Pelayanan Terrpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta, didapat indikasi sebagai berikut:
- Saksi korban mengalami kesediahan dan trauma yang mendalam karena telah dikecewakan oleh suaminya yang tidak menghargai komitmen perkawinan yaitu telah menjalin hubungan dengan perempuan lain dan tidak bertanggun-jawab secara lahir dan batin kepada isteri dan anak-anaknya.
- Korban mengalami trauma yang cukup tinggi dengan perlakuan kasar berupa pemukulan-pemukulan dan kata-kata kasar suaminya. saat ini ide-ide korban penuh dengan ide putus asa, kesedihan, tidak berguna dan tidak memiliki arti hidup lagi, merasa tidak berdaya untuk diri sendiri juga untuk orang lain. Dikhawatirkan akan mendorong korban tanpa alasan yang akurat akan melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri.
- Korban kehilangan rasa percaya terhadap suami akibat penghinanatan dan mengalami kesulitan untuk bisa mempercayai orang lain.
- Sekarang korban mengalami kesulitan untuk berkomunikasi, merasa takut atau panik yang cukup tinggi, merasa tidak berharga, merasa nyeri dan sakit pada seluruh tubuh, merasa terhina dan sulit percaya pada orang lain karena penghinaan yang dilakukan oleh suaminya.
Dengan kesimpulan: korban mengalami Post Traumatik Syndrom (PSTD) yang mengarah pada gejala Psikosomatik Syndrom yaitu timbulnya penyakit yang bukan diakibatkan oleh bibit penyakit medis, melainkan karena persoalan tekanan emosi akibat tekanan mental yang dialaminya.
Dimana terhadap tuntutan Jaksa Penuntut, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut Pengadilan akan mempertimbangkan dakwaan Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa Penuntut Umum menyusun dakwaan tunggal yaitu Pasal 45 ayat (2) UU RI No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Setiap orang;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pengamatan Majelis selama proses persidangan berlangsung, tidak terbukti bahwa pada diri Terdakwa terdapat alasan–alasan penghapus ataupun pemaaf, sehingga dengan demikian Terdakwa dapat dimintai pertanggung jawabannya terhadap seluruh perbuatannya;
2. Melakukan perbuatan kekerasan psisikis dalam lingkup rumah tangga;
“Menimbang, bahwa perbuatan terdakwa yang telah melakukan kekerasan psikis terhadap istri terdakwa, dengan cara Terdakwa memaki–maki dengan kata–kata kasar kepada saksi korban dan Terdakwa juga sering berselingkuh serta mengancar korban telah mengakibatkan saksi korban menderita POST TARUMATIK SYNDROM (PSTD) yang mengarah pada gejala Psikosomatik syndrom yaitu timbulnya penyakit yang bukan diakibatkan oleh bibit penyakit medis, melainkan karena persoalan tekanan emosi akibat peristiwa besar yang dialamatinya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas seluruh unsur dakwaan tunggal Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi, sehingga oleh karena itu terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah menurut hukum dan keyakinan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan kekerasan psikis dalam lingkup Rumah Tangga”, sebagai mana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 45 ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
M E N G A D I L I
1. Menyatakan Terdakwa ... tersebut diatas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melakukan kekerasan Psikis Dalam Lingkup Rumah Tangga”;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa ... diatas dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan;
3. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali bila di kemudian hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan, bahwa terpidana sebelum lampau waktu percobaan selama 4 (empat) bulan berakhir telah bersalah melakukan suatu tindak pidana.”
Pernikahan antara sepasang suami dan istri, serta anak-anak, adalah perihal kerjasama dan disaat bersamaan menyemai toleransi antar anggota keluarga. Ketika rumah tangga dimasuki unsur “ego” oleh salah satu pihak, bagai karat yang akan menyebar dan membuat rapuh sebuah hubungan keluarga yang dahulu sempat harmonis. Hilangkanlah mindset seperti memelihara seekor binatang peliharaan yang hanya butuh makan dan tempat bernaung.
Salah satu akar penyakit dalam rumah tangga, ialah ketika salah satu pasangan hendak mengontrol hidup pasangannya atau kehidupan anak-anaknya. Berumah tangga, bukan artinya menyerahkan kebebasan hidup pada salah satu pasangan untuk menjadi superior dan menjadikan anggota keluarga lainnya sebagai subordinat.
Masalah ekonomi jarang membuat hubungan rumah tangga tercerai berai. Namun keretakan selalu dimulai dari bentuk-bentuk kebohongan, ketidak-jujuran, ketidak-tulusan, terputusnya komunikasi dari hati ke hati, dan ketika salah satu pihak hanya menuntut dengan penuh pamrih. Berubah tangga artinya saling memberi dan menolong, bergotong royong dalam lingkup terkecil dalam organisasi sosial kemasyarakatan bernama ‘rumah tangga’.
Suami / ayah yang betul-betul mencintai istri / anak-anaknya, akan bahagia melihat istri dan anak-anaknya hidup dalam bahagia, bukan bahagia ketika melihat mereka hidup dalam ketakutan dan terpaksa tetap hidup bersama karena ketergantungan ekonomi.
Mencintai seseorang, berarti kita memberi keleluasaan bagi orang yang kita cintai untuk bernafas dan memiliki ruang gerak, disamping ruang untuk memilih jalan hidup dan kebebasan untuk bertumbuh serta berkembang. Setiap orang berhak untuk bertumbuh dan ‘mekar’.
Kita tidak punya hak untuk mengikat kuncup ‘bunga’ hidup orang lain, terlebih anggota keluarga kita sendiri yang semestinya kita cintai, bukan justru kita jadikan objek obsesi lewat bentuk-bentuk penindasan. Terdengar melankolis, namun hal-hal baik perlu dipelajari dan diperkenalkan. Seorang istri dan anak, bukanlah objek pelampiasan inferioritas diri seorang suami / ayah dari dunia luar domestik rumah tangganya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.