LEGAL OPINION
Question: Memang benar-benar ada ancaman pidana bagi pemberi dana organisasi ter*risme? Apa tidak bahaya, bila sewaktu-waktu seseorang memberi donasi, namun ternyata disalahgunakan penerima donasi untuk melakukan tindakan ilegal, apa donatur kena juga?
Brief Answer: Pernah terjadi, dimana perilaku demikian diancam pidana sebagai delik pembantuan karena “menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana ter*risme”—dan dalam praktik di pengadilan, lamanya vonis pidana penjara terhadap pelaku pembantuan aksi demikian, dijatuhi hukuman dengan sangat serius oleh hakim. Sementara yang menjadi unsur pelengkap / pendampingnya ialah: menghendaki dan mengetahui adanya tindak pidana ter*risme yang diberikan pembantuan.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut SHIETRA & PARTNERS angkat guna menjadi cerminan, sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur perkara pendanaan ter*risme register Nomor 1270/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Tim. tanggal 26 Pebruari 2014, dimana terhadap tuntutan Jaksa Penuntut, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan maka Majelis berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa lebih sesuai dengan dakwaan Kedua Penuntut Umum, yakni Pasal 5 jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Ter*risme yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Setiap orang;
2. Melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana ter*risme, dengan sengaja penyediakan, mengumpulkan memberikan, atau meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana ter*risme, organisasi ter*ris, atau ter*ris;
“Menimbang, bahwa kata ‘atau’ dalam unsur ini merupakan alternatif perbuatan yang harus dibuktikan, yang dalam hal ini perbuatan tersebut bisa berupa permufatakan jahat, bisa berupa percobaan atau bisa berupa pembantuan.
“Sementara definisi pembantuan sebagaimana tersurat dalam pasal 56 KUHP adalah mereka yang sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan dilakukan atau mereka yang memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan dan hal tersebut ditegaskan kembali dalam Hoge Raad 26 Nopember 1916 yang menyatakan bahwa pemberi bantuan terjadi bersama dengan kejahatannya, pemberi kesempatan dan sarana terjadi sebelumnya. Sementara untuk pembantuan dalam konteks tindak pidana ter*risme definisinya lebih diperluas yaitu pembantuan sebelum, selama dan setelah kejahatan dilakukan.
“Menimbang, bahwa alternatif perbuatan yang berupa permufakatan jahat atau percobaan atau pembantuan tersebut harus ditujukan untuk melakukan tindak pidana ter*risme.
“Menimbang, bahwa istilah “dengan maksud” (met het oogmerk) dalam rumusan unsur kedua dakwaan alternatif Kedua Penuntut Umum mengandung pengertian yang identik dengan istilah “sengaja” atau ‘kesengajaan’ (dolus, opzet);
“Menimbang, bahwa menurut Penjelasan Resmi dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Memorie van Toelichting) istilah ‘sengaja’ atau ‘kesengajaan’ diberikan pengertian sebagai ‘menghendaki dan mengetahui’ (willens en wetens). Artinya terdakwa harus menghendaki dan mengetahui akan perbuatan dan/atau akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut, yang dalam hal ini adalah menghendaki dan mengetahui adanya tindak pidana ter*risme;
“Menimbang, bahwa menurut teori Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, unsur kesengajaan pada asasnya tidak selalu dapat diharapkan terungkap atas dasar keterangan terdakwa maupun saksi-saksi di persidangan, sehingga untuk menilai terpenuhi atau tidaknya unsur kesengajaan dalam perbuatan terdakwa tidak selalu harus didasarkan ada atau tidaknya keterangan 2 (dua) alat bukti sah yang secara tegas menyatakan adanya unsur kesengajaan dalam perbuatan terdakwa, melainkan cukup disimpulkan berdasarkan cara atau sifat perbuatan terdakwa, maupun barang bukti yang menjadi obyek dari perbuatan terdakwa berdasarkan hubungan alat-alat bukti yang satu dengan yang lainnya yang terungkap di persidangan;
“Menimbang, bahwa di dalam teori Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, unsur kesengajaan sebagai suatu sikap bathin pelaku tindak pidana pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) corak yang menunjuk kepada tingkat atau bentuk dari unsur kesengajaan meliputi : Pertama, Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk, dolus directus), Kedua, Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn), dan Ketiga, Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (voorwaardelijk opzet, dolus eventualis);
“Menimbang, bahwa mengenai istilah ‘tindak pidana ter*risme’ menurut Konvensi PBB Tahun 1939 diberikan pengertian sebagai segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu, atau kelompok orang, atau masyarakat luas. Sedangkan menurut Ensklopedia Indonesia Tahun 2000 istilah ‘tindak pidana ter*risme’ diberikan pengertian sebagai tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang diperhitungkan sedemikian rupa untuk menciptakan suasana ketakutan dan bahaya, dengan maksud menarik perhatian nasional atau internasional terhadap suatu aksi maupun tuntutan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan telah ternyata bahwa Terdakwa ENDANG SARIFUDIN Alias ABU HUZAIFAH Alias LUPUS Alias PROF sudah beberapa kali mengikuti pengajian di Mesjid An-Nikmah Lebak Bulus Jakarta Selatan yang diisi/disampaikan oleh AMAN ABDURRAHMAN dan oleh karena Terdakwa merasa tertarik dengan kajian yang diberikan oleh AMAN ABDURRAHMAN maka Terdakwa selalu berusaha untuk tahu kapan saja dan dimana saja jadwal pengajian yang diisi oleh AMAN ABDURRAHMAN sehingga hampir setiap kali pengajian yang diisi oleh AMAN ABDURRAHMAN dihadiri oleh Terdakwa.
“Kajian yang disampaikan oleh AMAN ABDURRAHMAN semakin hari semakin memperdalam pembahasannya, adapun yang dibahas dalam kajian AMAN ABDURRAHMAN dintaranya tentang hukum demokrasi yang dipandang secara Syar’i dan menurut AMAN ABDURRAHMAN hukum demokrasi adalah hukum yang dibuat oleh manusia sedangkan hukum syar’i berasal dari Allah, hukum yang wajib dilaksanakan adalah hukum Allah sehingga syirik hukumnya apabila patuh demokrasi. Yang menjalankan demokrasi dan yang memerintahkan agar berjalannya demokrasi disebut thogut, dimana yang dimaksud dengan thogut adalah sesuatu yang melampaui batas artinya seseorang yang meminta agar orang yang mengikuti hukum yang dibuat oleh manusia dan sementara hukum yang benar-benar adalah hukum Allah maka orang tersebut diposisikan sebagai thogut;
“M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa ENDANG SARIFUDIN Alias ABU HUZAIFAH Alias LUPUS Alias PROF telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana ter*risme, dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana ter*risme, organisasi ter*ris, atau ter*ris, sebagaimana yang didakwakan dalam Dakwaan Kedua melanggar Pasal 5 jo. Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Ter*risme;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.