Penuntutan Pidana Terganjal Praperadilan

LEGAL OPINION
Question: Kalau tersangka kemudian benar-benar dimajukan oleh polisi sebagai pesakitan di pengadilan, apa masih boleh mengajukan praperadilan?
Brief Answer: Sebenarnya secara falsafah, proses penyidikan hingga penuntutan memakan waktu yang sangat panjang, dengan periode waktu yang cukup lama terutama proses penyidikan lembaga sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi, sehingga sepanjang rentang periode itulah pihak tersangka, tersidik, ataupun tersita memiliki kesempatan untuk mengajukan praperadilan. Sehingga adalah cukup ganjil bila Tersangka baru mengajukan upaya hukum praperadilan ketika Jaksa Penuntut Umum telah benar-benar memajukan berkas dakwaan ke hadapan pengadilan untuk diperiksa.
Terlebih, saat kini, baik dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) maupun delik pidana umum, pihak Jaksa Penuntut baru dapat memajukan seorang Tersangka menjadi Terdakwa di persidangan, bila minimum telah memiliki 2 (dua) alat bukti yang sah, sehingga proses penyidikan hingga memasuki tahapan kelengkapan berkas pengajuan tuntutan telah memberi beban yang cukup berat bagi pihak penyidik hingga kejaksaan—sehingga secara akal sehat, ketika Tersangka telah resmi menjadi Terdakwa, sudah sewajarnya kesempatan mengajukan praperadilan menjadi tertutup, dan kesempatan bagi Terdakwa untuk membuktikan bersih atau tidak dirinya, tidak lain ialah proses pembuktian dalam perkara pidana tersebut di hadapan Majelis Hakim yang memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak penuntut, bukan praperadilan yang hanya diputus oleh seorang hakim tunggal.
Lagipula, Majelis Hakim dalam perkara non praperadilan tetap berwenang memeriksa keabsahan prosedur penyidikan/penyitaan maupun pokok tuduhan Jaksa bila Terdakwa mengajukan eksepsi dalam nota pembelaan, sehingga dualitas proses ‘peradilan umum’ dengan ‘praperadilan’ menjadi tidak lagi terdapat relevansi urgensinya.
Secara falsafah, praperadilan atas protes warga negara terhadap prosedur proses penyelidikan dan penyidikan, dimana selama periode proses itulah prosedur hukum diberlakukan atau tidaknya menjadi ‘konsen’ utama praperadilan. Bila selama tahapan proses penyelidikan dan penyidikan tiada terdapat gugatan praperadilan oleh yang terduga pelaku delik, maka menjadi patut dipertanyakan: apakah motif utama Terdakwa mengajukan praperadilan bila bukan untuk ‘menjegal’ berkas yang telah dimajukan ke pengadilan?
Mengapa tidak memilih untuk ‘bertarung’ membersihkan nama sang Terdakwa dalam proses pembuktian di persidangan non praperadilan? Mengapa praperadilan baru diajukan setelah sekian lama proses penyelidikan dan penyidikan berlangsung tanpa keberatan apapun dari pihak tersangka / tersidik selama ini?
PEMBAHASAN:
Namun pandangan SHIETRA & PARTNERS diatas adalah bahasan secara falsafah, dimana meski demikian Mahkamah Konstitusi RI telah membuat putusan yang berbeda, yakni putusan Mahkamah Konstitusi RI perkara judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana register Nomor 102/PUU-XIII/2015 tanggal 9 November 2016, yang salah satu kompisisi hakim pemutusnya ialah Patrialis Akbar (bagai memutus untuk kepentingan diri sang Hakim Konstitusi itu sendiri).
Adapun yang menjadi salah satu keberatan yang dimohonkan Pemohon, ialah keberlakuan Pasal 82 Ayat (1) Huruf (d) UU No. 8 Tahun 1981 yang mengatur:
“Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.”
Menurut Pemohon, ketentuan diatas bersifat multitafsir, dimana frasa ‘mulai diperiksa di pengadilan negeri’ menimbulkan berbagai tafsiran: sejak berkas perkara dilimpahkan dari Jaksa Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri, sejak diperiksa pada sidang perdana, atau sejak setelah pembacaan surat dakwaan. Begitupula ketentuan Pasal 137 UU No. 8 Tahun 1981 yang mengatur:
“Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.”
Menurut Pemohon, frasa ‘dengan melimpahkan perkara ke pengadilan’ dapat menyebabkan hilangnya atau gugurnya hak Pemohon untuk mengajukan praperadilan, karena penuntut umum dapat mempercepat pelimpahan ke pengadilan dengan tujuan menggugurkan permohonan praperadilan yang sedang berlangsung. Pemohon juga berkeberatan terhadap ketentuan Pasal  143 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 yang mengatur:
“Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri, dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.”
Pemohon berpendapat, norma tersebut seharusnya ditafsirkan sebelum adanya gugatan praperadilan, demi melindungi hak Pemohon untuk mengajukan praperadilan. Pemohon juga berkeberatan terhadap ketentuan Pasal 52 UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mengatur:
(1) Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (1) Ketua Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus.”
Namun, menjadi kontradiktif ketika Pemohon mengutip serta merujuk pula kaedah normatif Pasal 50 UU No. 8 Tahun 1981 yang menyatakan:
(2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
(3) Terdakwa berhak segera diadili oleh Pengadilan.”
“Hak”, dalam terminologi hukum artinya fakultatif: dapat diambil dapat juga tidak. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa terdakwa dan tersangka justru memilih untuk tidak segera diadili agar terang duduk perkara dan bersalah atau tidaknya?
Bila kita melihat dan menyikapi kaedah-kaedah diatas secara sistematif, maka tuduhan Pemohon bahwa penyidik KPK merekayasa proses tuntutan agar terdakwa tidak lagi berhak mengajukan praperadilan, sendirinya di-mentah-kan oleh fakta yuridis bahwa justice delayed is justice denied dimana justru oleh asas keadilan dan cepat pihak Penyidik dan Jaksa wajib bekerja cepat untuk menuntaskan perkara, bila benar terbukti melakukan pelanggaran maka dihukum dan jika tidak terbukti maka dibebaskan oleh Majelis Hakim.
Toh, prosedur penyidikan tetap dapat diperiksa dan diputus Majelis Hakim dalam berkas perkara yang sama, bukan hanya monopoli register perkara praperadilan Hakim Tunggal.
Tersangka yang benar-benar menyadari dirinya bersih, tidak akan pernah menggunakan aksi ‘jagal’ proses peradilan lewat praperadilan, namun akan memilih untuk menghadapi tuduhan Jaksa lewat proses pembuktian di persidangan di hadapan tiga orang Majelis Hakim. Dengan demikian nama baiknya akan dibersihkan dan harkat martabatnya pulih sepenuhnya tanpa pernah mendapat ‘cap’ stigma masyarakat bahwa dirinya menang bebas tidak murni karena dibebaskan oleh satu orang Hakim Tunggal, bukan oleh Majelis Hakim (lihat kasus salah seorang calon Kepala Polri yang bebas karena putusan praperadilan ‘Sarpin effect’, namun tak dapat disebut bebas murni karena aksi ‘jagal’ terhadap tuntutan KPK).
Toh, pihak penyidik dilarang memajukan berkas kepada Kejaksaan tanpa adanya minimum 2 (dua) alat bukti yang menguatkan hipotesis antara kejadian delik pidana dan pelaku. Dengan demikian, beban pembuktian pada pihak penyidik dan kejaksaan sudah cukup berat.
Praperadilan, sama sekali tidak menyentuh aspek substansi tuntutan pelanggaran, namun hanya bersifat ‘non pokok perkara’—alias sekadar memeriksa prosesuil belaka yang karakternya kurang substantif. Adapun praperadilan diatur dalam ketentuan Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentikan penuntutan;
b. ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seoarng yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Dimana terhadap permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi RI kemudian membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam praktik (Note penulis: sudah menyentuh ranah implementasi norma yang bukan kewenangan MK RI untuk memutus), ternyata ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 tersebut seringkali menimbulkan perbedaan penafsiran dan implementasi oleh para hakim praperadilan. Menurut Mahkamah perbedaan penafsiran demikianlah bukanlah semata-mata masalah penerapan atau implementasi norma sebab perbedaan penafsiran itu lair sebagai akibat dari ketidakjelasan pengertian yang terkandung dalam rumusan norma itu sendiri, dalam hal ini pengertian tentang ‘perkara mulai diperiksa’ yang dapat menyebabkan gugurnya praperadilan.
“Tegasnya, penafsiran dan implementasi yang dimaksudkan adalah mengenai kapan batas waktu suatu perkara permohonan praperadilan dinyatakan gugur yang disebabkan adanya pemeriksaan terhadap pokok perkara di pengadilan negeri.
“Dalam praktik (Note SHIETRA & PARTNERS: MK RI telah melanggar berbagai preseden putusan MK RI sebelumnya yang sangat anti terhadap implementasi norma dimana banyak ‘korban’ permohonan serupa dinyatakan ‘ditolak’ hanya karena menyinggung perihal implementasi norma), ternyata tidak ada keseragaman penafsiran di kalangan para hakim parperadilan mengenai hal tersebut. Ada hakim praperadilan yang berpendapat bahwa perkara permohonan praperadilan gugur setelah berkas pokok perkara dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan dilakukan registrasi di Pengadilan Negeri dengan alasan tanggung jawab yuridis telah beralih dari Jaksa Penuntut Umum ke Pengadilan Negeri. Sebaliknya, ada pula hakim praperadilan yang berpendapat bahwa batas waktu perkara permohonan praperadilan gugur adalah ketika pemeriksaan pokok perkara sudah mulai disidangkan.
“Menimbang, ... , sehingga tidaklah adil apabila ada perkara permohonan praperadilan yang pemeriksaannya sudah dimulai atau sedang berlangsung menjadi gugur hanya karena berkas perkara pokok atas nama terdakwa / pemohon praperadilan telah dilimpahkan dan telah dilakukan registrasi oleh pengadilan negeri, padahal ketika perkara permohonan praperadilan sudah dimulai atau sedang berjalan, hanya diperlukan waktu paling lama 7 (tujuh) hari untuk dilakukan putusan terhadap perkara permohonan praperadilan tersebut [vide Pasal 82 ayat (1) huruf c UU 8/1981].
“Bahwa untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran dan implementasi sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat demi kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan dinyatakan gugur pada saat telah digelar sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terakwa/pemohon praperadilan.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan diatas Mahkamah berpendapat bahwa norma Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981 yang berbunyi: ‘dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur’ adalah bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang frasa ‘perkara sudah mulai diperiksa’ tidak diartikan telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan dimaksud.
“... mengenai batas waktu yang dimaksud pada norma a quo, yaitu ‘permintaan praperadilan dinyatakan gugur ketika telah dmulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan’.
“Bahwa gugurnya permintaan praperadilan karena pokok perkara telah diperiksa oleh Pengadilan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d UU 8/1981, yang normanya telah diubah sebagaimana dalam amar putusan ini, tidak mengurangi hak-hak tersangka sebab semua permintaan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 UU 8/1981 dan sebagaimana diperluas oleh Putusan Mahkamah Nomor 21/PUU-XII/2014 dapat diteruskan oleh Pengadilan Negeri dalam Pemeriksaan Pokok Perkara, dan Pengadilan Negeri-lah yang berwenang menilai dan memeriksanya. [Note SHIETRA & PARTNERS: Karena Majelis Hakim juga berwenang memeriksa keberatan Terdakwa atas mis-prosedur pihak penyidik, bukan hanya monopoli Hakim Tunggal praperadilan, maka tiada lagi urgensi untuk praperadilan. Mengapa kemudian menjadi dualisme proses peradilan antara Majelis Hakim dengan Hakim Tunggal praperadilan? Mengapa tidak dibiarkan berjalan paralel oleh pemeriksaan Majelis Hakim? Bukankah antar pertimbangan hukum MK RI dan dalil-dalil pihak Pemohon justru saling menegasikan satu sama lain?]
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘suatu perkara sudah mulai diperiksa’ tidak dimaknai ‘permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa / pemohon praperadilan.’
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”
Adapun yang menjadi pandangan SHIETRA & PARTNES: Satu orang Hakim Tunggal tidak memiliki hak untuk mengamputasi hak memeriksa dan memutus Majelis Hakim yang terdiri dari tiga orang hakim—terutama ketika Ketua Pengadilan Negeri telah menetapkan keputusan penunjukkan Majelis Hakim ketika berkas perkara diterima oleh panitera pidana dalam register.
Ketika seseorang terdakwa bebas hanya berkat seorang Hakim Tunggal, sama artinya memungkiri berkas perkara yang telah dihadapkan kepada Majelis Hakim untuk diperiksa dan diputus. Terlepas dari pandangan kami, demikianlah Mahkamah Konstitusi RI telah membuat putusan atas norma abstrak, tinggal bagaimana Mahkamah Agung RI hendak mengakui atau tidaknya pandangan MK RI, dan dalam norma konkretnya bisa saja MA RI berpendapat lain, agar disesuaikan dengan aspirasi publik dan semangat hukum berkeadilan.
Perlu pula kita sadari, bila memang penyidik melakukan mal-praktik, maka mengapa bukan sejak awal mengajukan praperadilan? Terlebih, praperadilan hanya memakan waktu 7 hari untuk diputuskan, sehingga justru menjadi lebih kental nuansa sebagai ‘law as a tool of crime’ guna men-‘jegal’ / upaya amputasi terhadap tuntutan Jaksa.
Warga negara telah diberi keistimewaan oleh negara berupa praperadilan yang hanya memakan waktu 7 hari, maka menjadi pertanyaan utama bagi kita bersama: mengapa baru diajukan saat Jaksa mengajukan tuntutan? Diamnya pihak tersangka ataupun terdakwa selama ini, dapat diartikan sebagai pembenaran terhadap segala prosedur hukum pihak penyidik. Bila berbicara mengenai praktik, waktu yang dihabiskan penyidik untuk menyidik maupun penyusunan surat dakwaan, hingga pelimpahan berkas perkara dakwaan ke pengadilan dapat memakan waktu berbulan-bulan, adalah sangat tidak kentara bila dibandingkan dengan praperadilan yang dapat diputus cukup hanya dalam 7 hari, sehingga timbul kesan seolah-olah pihak Terdakwa ‘bermain-main’ atau ‘mencoba-coba’ pihak aparatur penegak hukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.