Pekerja Mem-Pailitkan Pengusaha

LEGAL OPINION
Question: Bila selama ini perusahaan belum juga membayar upah buruh, apa mungkin perusahaan bisa dipailitkan buruhnya sendiri?
Brief Answer: Sepanjang sifat pembuktian adanya hutang upah bersifat sederhana, dan Pekerja/Buruh yang belum mendapat upahnya berjumlah dua orang Pekerja atau lebih, maka pailitnya Pengusaha oleh Pekerja bukanlah hal baru dalam praktik di Pengadilan Niaga.
PEMBAHASAN:
SHIETRA & PARTNERS merujuk pada ilustrasi putusan Mahkamah Agung RI sengketa kepailitan perkara niaga pada tingkat permohonan peninjauan kembali register Nomor 080 PK/Pdt.Sus/2009 tanggal 23 Maret 2010, perkara antara:
- PT. ARTA GLORY BUANA, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali semula Termohon Pailit; melawan
- Serikat Pekerja Nasional PT. Arta Glory Buana, bertindak untuk dan atas nama seluruh Anggota Serikat Pekerja Nasional yang berjumlah 1.942 orang, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Pailit.
Termohon Pailit adalah perusahaan yang bergerak dibidang usaha garmen, sementara Pemohon Pailit adalah Pimpinan Serikat Pekerja Nasional PT. Arta Glory Buana. Pemohon Pailit mempunyai piutang yang telah jatuh tempo yang dapat ditagih kepada Termohon Pailit, antara lain :
1. Upah Pekerja bagian produksi dan staff sebanyak 1.942 pekerja yang belum dibayar selama antara 3 sampai dengan 6 bulan yaitu sejak tanggal 4 Desember 2007 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2008 dengan total ± Rp 7.000.000.000,00;
2. Upah lembur Pekerja yang belum dibayar yang seluruhnya sebesar ± Rp 470.000.000,00;
3. Tunjangan uang makan lembur Pekerja yang belum dibayar sejak tahun 2006 sampai dengan Desember 2008 yang seluruhnya sebesar ± Rp 40.000.000,00;
4. Tunjangan Hari Raya (THR) yang belum dibayar seluruhnya sebesar Rp 268.000.000,00;
5. Penggantian (klaim) atas biaya pengobatan dan perawatan Pekerja yang belum dibayar seluruhnya sebesar ± Rp 20.000.000,00;
6. Iuran organisasi SPN yang belum dibayar sejak Agustus 2006 sampai dengan Desember 2006 seluruhnya sebesar ± Rp 31.180.200,00;
7. Denda atas keterlambatan pembayaran gaji / upah, upah lembur, uang makan, THR, iuran SPN, dan uang berobat yang seluruhnya sebesar ± Rp 7.829.180.200,00 x 8% = ± Rp 626.334.416,00.
Berbagai kewajiban / utang upah diatas yang belum dibayar Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit seluruhnya sebesar ± Rp 8.455.514.616,00. Terdapat tagihan lain yang belum dibayar Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit, sebagai berikut :
1. luran Jamsostek sejak bulan Januari 2007 sampai dengan Agustus 2008 yang belum dibayar seluruhnya sebesar ± Rp 2.594.764.556,40;
2. Uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, hal mana masing-masing nilai tagihan tersebut baru bisa diketahui dengan pasti apabila Termohon Pailit telah dinyatakan Pailit, diverifikasi dalam rapat pencocokan utang yang dipimpin Hakim Pengawas dan Kurator.
Atas utang-utang Termohon Pailit tersebut, Termohon Pailit mengakui adanya utang-utang kepada Pemohon Pailit sebagaimana Surat Termohon Pailit tertanggal 2 September 2008.
Pemohon Pailit, menurut kewenangannya berdasarkan Pasal 25 ayat (1) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Buruh, serta dalam kapasitasnya mewakili seluruh anggotanya (termasuk di dalamnya para Pemohon Pailit) telah berkali-kali mengajak Termohon Pailit untuk melakukan perundingan mengenai tunggakan Termohon Pailit.
Namun tidak terjadi pelunasan atas utang / kewajiban Pengusaha, sekalipun para Pekerja telah berkali-kali memperingatkan Termohon Pailit, dan sampai dengan diajukannya Permohonan Pernyataan Pailit ini, Termohon Pailit tidak memenuhi seluruh kewajibannya kepada para Pekerjanya.
Pada tanggal 30 Agustus 2008, pihak Pengusaha menerbitkan surat Pemberitahuan Penutupan Perusahaan, yang menyatakan Termohon Pailit sudah tidak mampu beroperasi lagi dan dinyatakan tutup, dengan alasan:
1. Macetnya pendanaan dari Pihak perbankan terkait musibah lumpur Lapindo;
2. Tidak tercapainya target produksi;
3. Akibat tidak tercapainya target produksi maka delivery terlambat sehingga dibutuhkan biaya Air Fright yang cukup tinggi;
4. Akibat tidak tercapainya target produksi perusahaan menerima claim dari buyer;
5. Hilangnya kepercayaan dari buyer sehingga buyer tidak berkenan memberikan order yang berkelanjutan, bahkan menarik barang-barang yang sedang diproduksi PT. Arta Glory Buana.
Dengan adanya penutupan kegiatan usaha, serta mencermati alasan penutupan tersebut (termasuk didalamnya hilangnya sumber utama pemasukan Termohon Pailit), dengan demikian nyata-nyata bahwa Termohon Pailit tidak akan dapat memenuhi segala kewajibannya.
Pihak Pekerja yang mengajukan pailit memiliki argumentasi yang menarik, yakni: dalam hal proses pemenuhan kewajiban tidak secepatnya dilaksanakan, maka jumlah kewajiban / utang Termohon Pailit kepada para Kreditor (termasuk di dalamnya Pemohon Pailit) akan semakin membengkak dengan adanya kewajiban pembayaran upah terutang, bunga, dan denda.
Dengan diajukannya permohonan Pernyataan Pailit oleh Pemohon Pailit yang bertindak untuk dan atas nama 1.942 pekerja, maka ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UU Kepailitan yang mensyaratkan adanya 2 (dua) atau lebih kreditor telah terpenuhi, dimana setiap karyawan / pekerja Termohon Pailit masing-masing merupakan subjek hukum individu, memiliki jumlah tagihan yang berbeda-beda terhadap Termohon Pailit, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai dan/atau memiliki persona standi in judicio yang berbeda. Selain itu pihak Pengusaha juga memiliki hutang pada berbagai perusahaan lain.
Terhadap permohonan pailit yang diajukan kalangan Buruh, yang menjadi amar putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor: 14/Pailit/2008/PN.Niaga.Sby., tanggal 20 November 2008 adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Termohon Pailit yaitu PT. ARTA GLORY BUANA yang beralamat di JI. Raya Gelam 40, Candi Sidoarjo, Pailit dengan segala akibat hukumnya.”
Adapun dalam tingkat kasasi, yang kemudian menjadi amar putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 917 K/Pdt.Sus/2008, tanggal 13 Januari 2009, sebagai berikut:
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. ARTA GLORY BUANA tersebut.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan menyatakan permohonan pailit para buruh adalah prematur, sebab semestinya terlebih dahulu dilakukan upaya hukum di PHI sebelum ke Pengadilan Niaga. Hak-Hak Buruh atas suatu Hubungan Kerja / PHK (yakni uang Pesangon, UMPK atau UPH), karena Hak-Hak ini hanya dapat ditagih (diperselisihkan) melalui PHI setelah melalui upaya-upaya pemenuhan melalui mekanisme / Prosedur hubungan industrial, antara lain Bipartit ataupun Tripartit.
Setelah terbit Putusan PHI, barulah Buruh / Pekerja mempunyai hak untuk mengajukan Permohonan Pernyataan Pailit dalam hak-haknya tidak dipenuhi oleh perusahaan. Dengan demikian berpijak dan berdasarkan pada uraian diatas, sementara Pihak Pekerja belum menempuh mekanisme Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Pekerja seharusnya meminta putusan PHI terlebih dahulu untuk mendapatkan kepastian dalam menetapkan nominal besarnya tagihan.
Pihak Pengusaha juga mendalilkan, perusahaan masih Layak Operasional dengan Hutang Usaha hanya sebesar Rp. 17.376.690.885,- saja, serta Laporan Penilai Independent yang melakukan penilaian bahwasanya Nilai Aktiva Tetap PT. Arta Glory Buana per April 2008 sebesar Rp. 42.156.000.000, alias jauh di atas nilai tagihan yang ada, ditambah alokasi dana sebesar Rp 11.000.000.000,- serta Rp 2.000.000.000,- untuk pembayaran tunggakan Jamsostek tersebut diluar Nilai Laporan dan Penilaian diatas.
Dimana terhadap keberatan pihak Pengusaha, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan Peninjauan Kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena:
- Tidak terdapat kekeliruan nyata/kekhilafan Hakim dalam putusan judex juris maupun judex facti, pertimbangannya telah tepat;
- Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan pailit karena telah terbukti mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sebagaimana disebut dalam Pasal 2 (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Kepailitan & Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang;
- Mengenai keberatan Pemohon Peninjauan Kembali tentang Status para Pemohon Pailit sebagai kreditor telah dijelaskan dalam Pasal 2 (1) UUK & PKPU, bahwa yang dimaksud dengan kreditur dalam ayat ini adalah baik kreditur konkuren, kreditur separatis maupun kreditur preferen. Dengan demikian keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan : PT. ARTA GLORY BUANA tersebut adalah tidak beralasan sehingga harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : PT. ARTA GLORY BUANA tersebut.”
Note SHIETRA & PARTNERS:
Meski Mahkamah Agung RI tidak mengoreksi Putusan Niaga yang secara serta-merta mempailitkan pihak Pengusaha, tanpa didahului upaya hukum gugatan pihak Pekerja ke PHI, namun SHIETRA & PARTNERS mendapati banyaknya putusan Mahkamah Agung yang menganulir putusan Pengadilan Niaga, dengan pertimbangan bahwa sifat pembuktian adanya / jumlah hutang upah tidaklah sederhana, sehingga perlu dibuat pasti terlebih dahulu oleh putusan Pengadilan Hubungan Industrial—dengan kata lain, Mahkamah Agung memiliki ‘stok’ dua versi putusan yang saling bertolak-belakang dan dapat digunakan sesuai ‘selera’ kalangan Hakim Agung, yang membuka peluang penyalah-gunaan kewenangan dalam memutus sekaligus menjadi kelemahan utama sistem keluarga hukum Civil Law sebagaimana dianut Indonesia yang tidak mengakui fungsi prediktabilitas dalam hukum.
Sebenarnya putusan dalam ilustrasi kasus diatas telah ideal, mengingat adalah pemborosan energi serta waktu bila prosedur demikian birokratis dan demikian prosedural yang tidak efesien, sehingga untuk menentukan jumlah piutang upah kalangan Pekerja / Buruh, cukup dalam satu register perkara saja di Pengadilan Niaga. Namun, guna menghindari / mengantisipasi kemungkinan terburuk, sebagaimana yang sudah-sudah, lebih baik ajukan terlebih dahulu upaya hukum gugatan perselisihan hak ke PHI sebelum menempuh upaya hukum kepailitan ke Pengadilan Niaga—dengan demikian jumlah nominal pesangon, dsb, sengketa tak terbayarnya iuran jaminan sosial ketenagakerjaan, menjadi pasti jumlah nominalnya.
Perlu juga dipahami, karakter putusan diatas ialah dalam konteks bila pihak Pengusaha telah mengakui adanya serta jumlah hutang Upah para Buruhnya, sehingga pembuktian seketika itu juga menjadi bersifat sederhana. Barulah menjadi masalah bila pada saat proses pembuktian di Pengadilan Niaga, pihak Pengusaha memungkiri adanya atau perihal besaran Upah tertunggak, atau bila pihak Pengusaha tidak pernah menerbitkan surat pengakuan apapun kepada pihak Pekerja.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.