LEGAL OPINION
Question: Pak Hery (dari SHIETRA & PARTNERS) mengatakan bahwa pekerja kontrak tidak akan mendapat upah proses jika bersengketa dengan pengusaha sekalipun jenis pekerjaannya adalah tetap, memang apa penyebabnya?
Brief Answer: Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan RI mengadopsi standar ganda, dimana pekerja kontrak putus hubungan hukum sejak berakhirnya jangka waktu kontrak kerja, dimana bila pekerja/buruh sebelum kejadian pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha, tidak pernah menggugat pembatalan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk dinyatakan beralih menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, maka masa berakhirnya kontrak kerja diasumsikan benar adanya. Dan, pemutusan hubungan kerja bagi PWKT tidak membutuhkan penetapan pengadilan layaknya PKWTT—sehingga dalam konteks PKWT tidak dikenal istilah skoorsing.
Hal kedua, Pasal 155 UU Ketenagakerjaan merupakan rujukan dari Pasal 151 UU Ketenagakerjaan terkait skoorsing (Pasal 155 Ayat (1) menyebutkan sebagai rujukan dari Pasal 151, sehingga kedua pasal ini tak dapat dipisahkan), yang mana kedua pasal tersebut hanya relevan untuk PKWTT (Pekerja Tetap), dimana skoorsing memberi hak upah proses bagi pekerja/buruh. Sementara itu, terdapat kekosongan hukum bagi PKWT, oleh sebab tiada istilah skoorsing bagi PKWT—yang ada ialah putus hubungan kerja sejak masa jangka waktu kontrak kerja berakhir (Pasal 64 UU Ketenagakerjaan).
PEMBAHASAN:
Fakta sebagaimana terurai diatas memang ‘ganjil’ dan terdengar absurd, sebagaimana kemudian penulis ajukan Uji Materiil ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI, yang berakhir antiklimaks dimana permohonan penulis dinyatakan ‘niet ontvankelijk verklaard’ hanya karena penulis adalah seorang konsultan, bukan seorang pekerja. Alhasil, hingga kini praktik yang ‘gajil’ tersebut terus berlangsung dengan kekosongan hukum (loop hole) yang dibiarkan ‘menganga’ lebar.
Ilustrasi sederhana berikut memberi gambaran betapa kental hubungan antara skoorsing dengan upah proses, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 844 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 2 Februari 2016, perkara antara:
- HERMAN EFENDI, sebagai Penggugat; melawan
- PT. SUPRA VISUAL ADVERTENSI, sebagai Tergugat.
Penggugat merupakan Pekerja sejak tahun 2011 dengan jabatan sebagai finishing (produksi). Pada saat Penggugat diterima bekerja ditempat Tergugat, tidak ada Perjanjian Kerja antara Penggugat dengan Tergugat. Setelah 3 bulan masa percobaan kerja yang disyaratkan oleh Tergugat, Penggugat menandatangani Surat Pernyataan yang dibuat oleh Tergugat melalui HRD Manager yang isinya ‘apabila sewaktu-waktu Penggugat dipecat/di PHK oleh Tergugat, Penggugat tidak akan menuntut apapun.’
Penggugat terpaksa menandatangi Surat Pernyataan, dikarenakan Penggugat tidak diperbolehkan bekerja di tempat Tergugat apabiia menolak menandatangani Surat Pernyataan demikian. Setelah ditandatangani, salinan Surat Pernyataan tidak diberikan kepada Penggugat, melainkan dipegang/disimpan oleh Tergugat.
Tada tanggat 5 Agustus 2014, Tergugat melakukan tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Penggugat secara sepihak, dengan alasan bahwa Penggugat telah melakukan pelanggaran indisipliner mengacu pada Peraturan Perusahaan (PP).
Setelah dikeluarkannya surat PHK dari Tergugat, Penggugat tetap datang bekerja seperti biasa karena menganggap PHK yang dilakukan oleh Tergugat adalah sepihak serta bertentangan dengan Undang-Undang. Pada tanggal 07 Agustus 2014, Tergugat mengeluarkan Surat Pemberitahuan yang isinya adalah tidak memperbolehkan Penggugat untuk masuk/berada didalam/lingkungan tempat Tergugat—[note SHIETRA & PARTNERS: Inilah yang disebut dengan surat skoorsing, yang sayangnya tidak mampu dihadirkan bukti keberadaan surat skoorsing tersebut di pengadilan].
Sementara pihak pengusaha menyatakan pendiriannya, bahwa PHK bersumber dari pelanggaran indispliner Penggugat yang sering mangkir kerja sehingga mendapat tiga buah Surat Peringatan sebelum pada akhirnya terkena kebijakan PHK.
Terhadap gugatan Penggugat maupun bantahan Tergugat, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat kemudian memberikan putusan Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst., tanggal 22 Juni 2015, dengan pertimbangan hukum serta amar:
“Menimbang, Tergugat dengan alasan apapun hanya dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada pekerja i.c. Penggugat setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, tetapi faktanya Tergugat telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat pada tanggal 05 Agustus 2014, sebelum memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat adalah tidak sah dan batal demi hukum; [Note SHIETRA & PARTNERS: Inilah perlindungan hukum bagi Pekerja Tetap yang tidak dimiliki oleh seorang Pekerja Kontrak.]
“Menimbang, bahwa oleh karena Pemutusan Hubungan Kerja kepada Penggugat dinyatakan batal demi hukum, maka hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat harus dinyatakan belum pernah terputus, karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011, tanggal 19 September 2011 Tergugat berkewajiban membayar Upah Penggugat selama proses PHK dari bulan Agustus s/d adanya putusan hukum dari Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
“Menimbang, bahwa sekalipun secara yuridis Tergugat berkewajiban membayar Upah Penggugat selama proses Pemutusan Hubungan Kerja Penggugat dari bulan Agustus 2014 sampai adanya putusan hukum dari Pengadilan Hubungan Industrial, namun demikian mengingat Penggugat juga tidak melakukan tugas dan kewajiban kerjanya secara aktif di perusahaan selama proses PHK, maka menurut Majelis yang adil dan patut mengenai besarnya Upah selama proses yang harus dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat adalah sebesar 8 x Upah;
“MENGADILI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat berdasarkan Surat Keputusan Nomor ... adalah tidak sah dan batal demi hukum;
3. Menyatakan Penggugat terbukti telah melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Perusahaan yang berlaku di Perusahaan Tergugat;
4. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak putusan ini diucapkan;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Uang Penggantian Hak dan Upah Penggugat selama proses Pemutusan Hubungan Kerja yang seluruhnya sebesar Rp39.178.050,00;
6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Para pihak selanjutnya mengajukan upaya hukum kasasi, dimana pihak pengusaha mendalilkan, faktanya juga Penggugat selama perundingan tidak pernah melakukan kewajibannya, bahkan selama tidak bekerjanya Penggugat telah membuat Tergugat harus mempekerjakan dan membayar upah pekerja harian maupun kontrak untuk memenuhi order pelanggan Tergugat, maka dengan perintah pembayaran upah tersebut akan sangat merugikan Tergugat karena harus mengeluarkan biaya upah dua kali lebih besar dari semestinya.
Serta bertentangan dengan asas ‘No Work No Pay’ (tidak bekerja tidak diupah). Asas ini juga dianut oleh Hukum Ketenagakerjaan Indonesia yang tertuang dalam Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketangakerjaan:
“Bahwa Upah tidak dibayar apabila pekerja atau buruh tidak melakukan pekerjaan.”
Terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah tepat dan benar dalam menilai, menimbang dan menerapkan hukumnya, kecuali khususnya mengenai Upah Proses perlu dilakukan perbaikan dari 9 bulan menjadi tidak diberikan (nihil), karena Pemohon Kasasi II / Termohon Kasasi I tidak pernah mengeluarkan perintah larangan untuk masuk kerja kepada Pemohon Kasasi I / Termohon Kasasi II.
“Menimbang, putusan Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat tidak bertentangan dengan hukum, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi harus ditolak dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst., tanggal 22 Juni 2015, sehingga amarnya sebagaimana tersebut dibawah ini;
“M E N G A D I L I
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: HERMAN EFENDI dan Pemohon Kasasi II PT SUPRA VISUAL ADVERTENSI tersebut;
2. Memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 10/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst. tanggal 22 Juni 2015, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat berdasarkan Surat Keputusan Nomor ... adalah tidak sah dan batal demi hukum;
2. Menyatakan Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak yang dilakukan oleh Tergugat terhadap Penggugat berdasarkan Surat Keputusan Nomor ... adalah tidak sah dan batal demi hukum;
3. Menyatakan Penggugat terbukti telah melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Perusahaan;
4. Menyatakan “putus” hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat terhitung sejak putusan ini diucapkan;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak yang seluruhnya sebesar Rp19.650.050,00;
6. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.”
Cobalah kita introspeksikan hal berikut: sebagaimana kasus diatas, kadang Upah Proses meski seringkali hanya diberikan untuk 6 bulan upah, masih jauh lebih besar dari nilai pesangon untuk masa kerja tertentu. Pertanyaannya, bila Upah Proses tidak diberikan bagi Pekerja Kontrak, dengan masa kerja kurang dari tiga tahun, apakah masih worthed untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial?
Dalam kasus diatas saja, yang notabene Pekerja Tetap, hanya mendapat nilai pesangon yang sangat kecil akibat diamputasinya hak Upah Proses karena tiada surat skoorsing dari pihak pengusaha. Terpasungnya hak Pekerja Kontrak atas Upah Proses itulah, meski jenis pekerjaan terbukti bersifat tetap, membuat banyak pihak Pekerja Kontrak yang mengurungkan niatnya untuk mengajukan gugatan karena tidak sebanding dengan biaya serta mental cost gugatan yang dikeluarkan.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.