Mengundurkan Diri (Semestinya) Berhak Pesangon

LEGAL OPINION
Question: Pak Hery (dari SHIETRA & PARTNERS) pernah bilang kalau mengundurkan diri dari pekerjaan, maka semestinya tetap diberi pesangon. Memang apa bukti logika hukumnya? Faktanya, selama ini kalau kawan-kawan pegawai mengundurkan diri, tak pernah ada diberikan apapun dari kantor.
Brief Answer: Sederhana sekali, pekerja yang sekalipun melanggar peraturan perusahaan kemudian di-putus hubungan kerja (PHK) oleh Pengusaha, tetap mewajibkan pihak pengusaha untuk memberikan kompensasi pesangon dan hak-hak normatif lainnya. Lantas, mengapa Pekerja yang mengundurkan diri secara baik-baik, dengan itikad baik, tanpa pernah mendapat surat peringatan apapun sebelumnya, telah berkontribusi dan berprestasi bagi kepentingan dan kemajuan perusahaan, dinyatakan tidak berhak untuk menuntut pesangon?
Bila Anda menanyakan apakah bisa UU Ketenagakerjaan ini di-uji materiil ke Mahkamah Konstitusi RI, SHIETRA & PARTNERS belum merekomendasikan, sepanjang kedelapan (pasca tertangkap tangan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar oleh KPK) Hakim Konstitusi dibawah kepemimpinan Arief Hidayat masih ber-cokol di lembaga MK RI, maka dipastikan kecenderungan putusan akan berpihak pada pihak Pengusaha. Tunggulah sampai kedelapan Hakim Konstitusi tersebut diregenerasi, baru ajukan judicial review.
PEMBAHASAN:
Banyak sekali pertanyaan masuk kepada SHIETRA & PARTNERS: “Apa hak seorang pekerja bila pekerja mengundurkan diri baik-baik dari perusahaan?”
Sungguh ironis untuk menjawab pertanyaan sederhana tersebut, namun SHIETRA & PARTNERS terbentur oleh dilematika peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan yang kental nuansa keberpihakan kepada pihak Pengusaha. Berikut uraian selengkapnya:
Pasal 162 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memiliki pengaturan:
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”
Adapun keganjilan baru nampak mencolok ketika kita ‘benturkan’ terhadap keberlakuan Pasal 161 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003:
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Bila Pekerja / Buruh selama ini telah bekerja dengan baik tanpa pelanggaran, kemudian mengundurkan diri setelah belasan tahun atau puluhan tahun mengabdi, bahkan bisa terjadi pengunduran diri bukan motif pribadi murni—namun intimidasi pihak Pengusaha, semisal dengan cara-cara seperti mutasi fungsi kerja atau mutasi tempat kerja—tidak mendapat pesangon maupun uang penghargaan masa kerja?
Lantas, mengapa Pekerja / Buruh yang di-putus hubungan kerja (PHK) akibat pelanggaran sang Pekerja, tetap dinyatakan berhak atas pesangon dan hak-hak normatif lainnya?
Inilah yang kemudian melatarbelakangi aksi ‘tidak sehat’ sejumlah kalangan Pengusaha, guna menghindari segala kompensasi, dibuatlah kondisi lingkungan kerja yang tidak kondusif, baik secara ekologis-sosial-politis, sehingga Pekerja (terpaksa) memilih mengundurkan diri. Praktik demikian kerap terjadi secara masif, maka motif pembentuk undang-undang menjadi diragukan keberpihakannya kepada Pekerja yang telah memberikan jirih payah tenaga serta perhatian kepada Pengusaha, namun hanya memetik pengalaman pahit terpaksa mengundurkan diri tanpa mendapat kompensasi apapun terkecuali uang penggantian hak semata.
Uji materiil bila hendak diajukan ke Mahkamah Konstitusi RI sementara komposisi Majelis Hakim Konstitusi yang masih sama dengan angkatan Patrialis Akbar, dapat dipastikan akan berbuah pahit, karena tendensi MK RI dibawah kepemimpinan Arief Hidayat cenderung memihak kalangan pengusaha—sebagaimana juga Arief Hidayat dalam kedudukannya selaku Ketua MK RI memberi laporan kinerjanya ke hadapan simposium kalangan Pengusaha (APINDO) sebagai pembica tunggal.
Tunggu hingga kedelapan Hakim Konstitusi tersebut diregenerasi, barulah ajukan uji materiil terhadap kaedah diskriminatif Pasal 162 UU Ketenagakerjaan yang dapat di-‘bentur’-kan terhadap keberlakuan Pasal 161 undang-undang yang sama, karena terdapat karakter diskriminatif yang sangat mencolok dan sebagaimana fakta di lapangan kerap disalahgunakan pihak pemberi kerja.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.