WNA dan WNI Dianggap Tahu Hukum Indonesia

LEGAL OPINION
Question: Apa bisa, seorang warga asing mengklaim tidak mengerti hukum Indonesia sehingga dibebaskan dari tanggung jawab hukum baik secara perdata maupun pidana?
Brief Answer: Untuk hal-hal yang sedemikian teknis, ketidak-tahuan akan hukumnya yang berlaku akibat minimnya sosialisasi dari pemerintah (sebagai contoh situs POLRI maupun Kementerian Ketenagakerjaan yang sukar bagi pengunjung situs untuk menavigasi / mencari regulasi yang diterbitkan kedua instansi tersebut), masih dapat digunakan sebagai alasan pembelaan diri—setidaknya keringanan atas vonis pengadilan.
Namun terdapat banyak jenis kejahatan ataupun pelanggaran hukum, yang senyatanya juga dapat disadari cukup berdasarkan asas kewaspadaan (conscience), bilamana karakternya dasar disadari sebagai kejahatan atau pelanggaran atas larangan yang dijumpai dalam berbagai praktik sistem hukum negara-negara dunia; sehingga seharusnya seorang Warga Negara Asing (WNA) dewasa berakal sehat sepatutnya dapat menduga (ought to know) bahwa setiap negara yang dikunjunginya memiliki pengaturan serupa.
Seorang pria/wanita asing tidaklah lebih istimewa dari warga Indonesia lokal. Adalah salah satu budaya rendah diri Bangsa Indonesia ketika berjumpa orang asing berambut pirang bermata biru, seakan bermental budak di tanah air sendiri. Begitupula di mata hukum, baik WNA maupun WNI, adalah sama-sama pengemban hukum Indonesia. Bahkan, semestinya pihak WNA dibebani beban hukum yang jauh lebih besar di Negeri Republik Indonesia yang berdaulat ketika berhadapan dengan kepentingan bangsa sendiri.
Contoh sederhana, sekalipun diatas kapal berbendera asing berlaku hukum asing, namun ketika awak kapal menggunakan kapal asing tersebut untuk melakukan kejahatan saat berada di dalam teritori kelautan Indonesia, maka hukum Indonesia tetap berlaku terhadap para awak kapal asing tersebut.
Contoh lainnya, seorang pekerja WNI bekerja pada sebuah kedutaan besar (embassy) di Indonesia. Ketika sang WNI di-putus hubungan kerja secara sepihak tanpa diberi kompensasi hak normatif, dengan alasan hukum yang berlaku diatas tanah Kedutaan Besar berlaku hukum asing yang tidak mengenal pesangon, tetap saja pihak Kedutaan Besar berkewajiban tunduk dan menghormati Hukum Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.
Contoh lain, kejahatan cyber lintas negara dan lintas benua, hukum negara manakah yang berlaku? Si pelaku hacking duduk di negara jauh di luar sana, sementara korban di dalam negeri. Contoh lainnya pula, ketika asap pembakaran hutan di Indonesia terbawa angin ke negara-negara tetangga, negara-negara tetangga yang merasa dirugikan akibat tidak mampunya otoritas Republik Indonesia menyelesaikan permasalahan pembakaran hutan oleh para pelaku usaha (faktor penegakan hukum, bukan faktor geografis-iklim panas ekstrem), tetap saja Negara Indonesia sejatinya dapat digugat secara perdata, sehingga aset-aset BUMN Indonesia di negara asing tersebut dapat disita oleh pengadilan asing.
Singkat kata, hukum terkait erat dengan kedaulatan, dan kedaulatan hukum artinya mengikat setiap subjek hukum manusia, baik WNA maupun WNI, tanpa pengecualian.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi kasus yang cukup melenceng berikut SHIETRA & PARTNERS kutipkan sebagai cerminan, sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Denpasar sengketa register Nomor 328/Pdt.G/2013/PN.DPS tanggal 11 Maret 2014, perkara antara:
- Irma Ayu Oktaviani, sebagai Penggugat; melawan
- Stephen Paul Bevington, WNA, selaku Tergugat; dan
- I Gede Semester Winarto, SH, notaris, sebagai Turut Tergugat.
Penggugat merupakan pemilik sebidang tanah bersertifikat Hak Milik No. 3159 seluas 455 m2 di Denpasar. Penggugat mendalilkan, bahwa Tergugat memanfaatkan ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman Penggugat tentang hukum, ketika diminta menandatangani beberapa akta dihadapan Turut Tergugat, yakni:
- Akta perihal pengakuan hutang dengan jaminan hak tanggungan, dimana dinyatakan didalamnya bahwa Penggugat telah meminjam uang kepada Tergugat sebesar Rp. 900.000.000;- dengan jaminan SHM No. 3159.
- Akta perihal Sewa-Menyewa, yang berisi bahwa Penggugat menyewakan tanah dan bangunan seharga Rp. 500.000.000;- selama 50 tahun;
- Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa Penggugat membeli tanah dan bangunan untuk kepentingan Tergugat;
- Surat Perjanjian yang menyatakan bahwa apabila Tergugat menjual tanah dan bangunan tersebut, maka Penggugat hanya mendapatkan 2,5% dari keuntungan.
Didalilkan, Tergugat telah beritikad buruk ketika melakukan penyelundupan hukum dengan memanfaatkan ketidaktahuan Penggugat akan hukum, mengingat Tergugat adalah Warga Negara Asing, yang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA), tidak memiliki hak untuk memperoleh Hak Milik atas Tanah dan Bangunan di wilayah kedaulatan NKRI.
Pasal 21 ayat (1) UU PA menyatakan: “Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik.” Karenanya, Penggugat mendalilkan, konstruksi membeli lalu menjual lagi oleh sang pihak asing, adalah merupakan sebentuk penyelundupan hukum. Penggugat selanjutnya mengutip ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatur:
Untuk sahnya suatu Perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
1. Kesepakatan pihak-pihak yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang sahih.
Syarat sahnya perjanjian diatas bersifat kumulatif, artinya sebuah perjanjian tidak akan sempurna sebagai sebuah perjanjian apabila ada salah satu syarat yang tidak terpenuhi.
Syarat “suatu sebab yang sahih” menjadi syarat objektif perjanjian, bilamana tidak terpenuhi mengakibatkan perikatan menjadi “batal demi hukum”. Dengan demikian sebuah perjanjian haruslah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan—dimana pelanggaran terhadapnya diancam kebatalan.
Dengan demikian Penggugat mendalilkan, semua perjanjian yang dibuat Tergugat terhadap pihak Penggugat, yang berkonsekuensi logis terjadinya peralihan hak milik atas tanah kepada Tergugat yang berkewarganegaraan asing, bertentangan dengan UU PA.
Dalam hal ini Penggugat juga mendalilkan ketidaktahuan dirinya akan hukum sebagai sebentuk kekhilafan dalam menyepakati perjanjian demikian. Sementara Pasal 1322 KUHPerdata sendiri, mengatur:
Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya perjanjian, kecuali apabila kekhilafan itu terjadi mengenai akibat barang yang menjadi pokok perjanjian.”
Penggugat juga mendalilkan, Tergugat telah melakukan tipu-muslihat agar Penggugat bersedia menandatangani perjanjian tersebut, dengan cara menjanjikan akan menikahi Penggugat bila bersedia menandatangani perjanjian demikian, meski senyatanya segala janji tidak direalisasikan. Untuk itu Penggugat merujuk ketentuan Pasal 1328 KUHPerdata:
“Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat.”
Agunan pengakuan utang Penggugat diikat Tergugat dengan hak tanggungan, namun Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sendiri melarang praktik “milik beding”, sehingga segala bentuk janji yang memberikan kewenangan kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pemilik objek agunan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum.
Perjanjian demikian akan menjadi perjanjian pinjam nama (nominee agreement) dimana hal demikian melecehkan kedaulatan hukum nasional. Yang menarik, Penggugat kemudian menyalahkan juga pihak Turut Tergugat selaku notaris yang justru menjadi agen praktik penyelundupan hukum ini, sebagai notaris pembuat dan penerbit akta. Seorang notaris adalah pejabat publik, namun kemudian membenarkan bahkan menjadi agen penyelundupan hukum yang ditengarai “menjatuhkan derajat etik profesinya sampai pada derajat yang terendah”—sebagaimana penulis kutip dari surat gugatan.
Dimana terhadap gugatan Penggugat, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalil pokok gugatan Penggugat adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat dan Turut Tergugat karena telah melakukan penyelundupan hukum dengan membuat perjanjian dengan Hak Tanggungan, Milik Beding dan Nominee;
“Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil gugatannya tersebut, Penggugat tidak ada mengajukan bukti baik surat maupun saksi;
“Menimbang, bahwa Tergugat telah membantah dalil Penggugat tersebut dengan mendalilkan pada pokoknya bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh dan antara Tergugat dengan Penggugat tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1320 KUH. Perdata khususnya paragraf 4 dan juga tidak bertentangan dengan Pasal 1322 KUH. Perdata karena tidak ada kekhilafan dalam pembuatan perjanjian-perjanjian tersebut serta tidak bertentangan dengan PasaL 1328 KUH. Perdata karena tidak satupun putusan pengadilan yang menyatakan bahwa Tergugat melakukan penipuan;
“Menimbang, bahwa Turut Tergugat juga membantah dalil gugatan Penggugat tersebut dengan mendalilkan pada pokoknya adalah keseluruhan perjanjian yang dibuat di hadapan Turut Tergugat yang dituangkan dalam bentuk akta notariil adalah perjanjian-perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak dan sesuai dengan prosedur yang berlaku walaupun semua perjanjian dibuat pada hari yang sama;
“Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil bantahannya, Tergugat dan Turut Tergugat telah mengajukan bukti-bukti surat sebanyak 6 (enam) lembar diberi tanda T-1/TT-1 s/d T-6/TT-6 dan seorang saksi;
“Menimbang, bahwa karena Penggugat telah meneguhkan suatu dalil, dalil mana dibantah oleh para Tergugat dan Turut Tergugat II, maka menjadi beban kewajiban bagi Penggugat untuk membuktikan kebenaran dalil-dalilnya (vide Pasal 283 Rbg jo. Pasal 1865 KUH. Perdata);
“Menimbang, bahwa dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 283 Rbg jo. Pasal 1865 KUH. Perdata, maka Penggugat yang tidak mengajukan sesuatu bukti apapun, baik bukti surat maupun saksi dapat dikwalifikasi bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya, sehingga karenanya terhadap dalil-dalil gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak terbukti dan harus dinyatakan ditolak untuk seluruhnya;
M E N G A D I L I :
Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.”
Note SHIETRA & PARTNERS:
Sebenarnya pihak Penggugat tidak diwajibkan mengajukan bukti apapun selain isi klausul dalam perjanjian nominee dan jual-beli yang memang secara terang-benderang melawan hukum. Pihak asing yang mencoba menguasai tanah Nusantara (konstruksi sewa 50 tahun), ataupun praktik jual-beli atas tanah NKRI, terlebih klausul ‘milik beding’ adalah bukti itu sendiri yang tidak lagi dapat terbantahkan—res ipsa loquitor, the evidences speak for itself. Putusan Pengadilan Negeri diatas berpotensi besar dikoreksi oleh Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir kedaulatan hukum NKRI terhadap praktik penjajahan ekonomi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.