Kekerasan dalam Rangka Pembelaan Diri, Tidak Dipidana

LEGAL OPINION
Question: Apa benar, kita bisa dipenjara bila main hakim sendiri? Apapun konteksnya? Kalau saya diam saja, bisa mati saya, panggil polisi ngak bakal datang itu petugas, kalaupun datang pasti terlambat. Kalau saya diam, saya bisa mati. Apa salah, jika saya putuskan untuk lawan dan lumpuhkan orang yang mengancam nyawa saya?
Brief Answer: Pembelaan diri secara terpaksa dan proporsional, tidak dapat dipidana, karena terdapat ‘alasan pemaaf sebagai alasan penghapus kesalahan’ dalam stelsel pemidanaan di Indonesia. Begitupula perbuatan main hakim sendiri, bila otoritas negara tidak hadir dalam perannya melindungi dan mengayomi, atau tidak efektif mengawasi dan menjangkau sekalipun telah diberi laporan (harus ada bukti dokumentasi laporan), tidak serta merta pelaku dapat dipidana.
Contoh sederhana dalam doktrin ilmu hukum pidana, dua orang terombang-ambing di tengah samudera, dimana hanya terdapat satu buah papan pelampung. Kedua orang tersebut demi bertahan hidup (survive), kemudian saling membunuh satu sama lain karena hanya terdapat satu buah pelampung untuk satu orang. Pelaku yang membunuh seseorang lainnya tersebut, tidak dapat dipidana meski perilakunya adalah main hakim sendiri (eigenrichting). Oleh karenanya, over-kriminalisasi sangatlah berbahaya dalam negara yang mengedepankan akal sehat dan cara pandang pengayoman.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi yang dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk ialah putusan Pengadilan Negeri Lahat perkara pidana register Nomor 640/PID.B/2009/PN.LT tanggal 11 Pebruari 2010 oleh, dimana para Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut Umum dengan dakwaan berbentuk alternatif: dakwaan kesatu melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP tentang pengeroyokan, atau dakwaan kedua melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan.
Dimana terhadap tuntutan Jaksa, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan fakta-fakta dipersidangan dan surat tuntutan dari Penuntut Umum, maka Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan dakwaan alternatif kesatu, yaitu melanggar Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP dengan unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1. Barangsiapa;
2. Dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang;
3. Mengakibatkan luka-luka;
“Menimbang, bahwa ‘menggunakan kekerasan’ dalam unsur ini mengandung pengertian adanya perbuatan fisik dengan menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang cukup besar yang dilakukan paling sedikit oleh dua orang sebagai wujud dari ‘bersama-sama’ melakukan kekerasan yang ditujukan terhadap orang lain. Menurut ketentuan Pasal 89 KUHP, setiap perbuatan yang membuat orang lain menjadi pingsan atau menjadi tidak berdaya lagi adalah dianggap sama dengan melakukan kekerasan;
“Menimbang, bahwa untuk dapat terpenuhi unsur ini dipersyaratkan pula bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan ‘terang-terangan’ yaitu dilakukan di muka umum, atau di tempat dimana orang-orang pada umumnya dapat melihatnya, tanpa terhalang oleh sesuatu apapun untuk dapat melihatnya, misalnya di jalanan;
“Menimbang, bahwa jika dilihat dari rumusan unsur perbuatannya, tindak pidana yang dimaksud dalam dakwaan alternatif kesatu ini menurut doktrin hukum pidana merupakan delik komisi (delicta commissionis), yaitu tindak pidana yang perwujudannya dilakukan dengan perbuatan aktif, perbuatan mana melanggar atau bertentangan dengan suatu larangan (verbod) untuk tidak melakukan kekerasan terhadap orang lain, dengan kata lain tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP mengharuskan adanya perbuatan yang bersifat aktif sebagai wujud perbuatan bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang lain;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta dipersidangan yang sudah tidak diragukan lagi kebenarannya, saksi Mardila telah mengalami luka dan bengkak sebagaimana keterangan yang termuat dalam Visum et Repertum atas nama MARDILA Binti DIN KODIR dari Rumah Sakit Umum Daerah Pemerintah Kabupaten Lahat, dimana dari hasil pemeriksaan luar didapatkan : luka robek pada telapak tangan sebelah kiri P : 5 cm L : 0,5 cm, dan terdapat bengkak pada kening sebelah kanan diameter 3 cm x 1 cm, dengan kesimpulan bahwa luka robek dan bengkak yang dialami saksi Mardila tersebut disebabkan trauma tumpul;
“Menimbang, bahwa benar sebelumnya ada perkelahian antara saksi Mardila dengan Terdakwa I;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta di persidangan :
- Bahwa peristiwa perkelahian tersebut bermula dari saksi Mardila yang sedang membuat parit/siring di depan rumahnya dengan menggunakan alat berupa sebilah parang, lalu tidak lama kemudian Terdakwa II keluar dari rumahnya dengan membawa cangkul hendak memotong akar pohon yang berada di jalanan di depan rumah saksi Mardila, akan tetapi tidak jadi dilakukan oleh Terdakwa II karena gagang cangkul yang dipergunakannya patah;
- Bahwa melihat apa yang dilakukan oleh Terdakwa II tersebut, saksi Mardila menjadi tidak senang sehingga ia ngomel-ngomel yang didengar oleh Terdakwa I;
- Bahwa Terdakwa I selanjutnya mengatakan kepada suaminya, yaitu Terdakwa II untuk masuk saja ke rumah dan tidak mendengarkan dan melayani omelan dari saksi Mardila;
- Bahwa saksi Mardila masih saja mengomel bahkan menantang berkelahi Terdakwa II yang kemudian diikuti pula dengan perbuatan dari saksi Mardila melepaskan celana yang dipakainya sampai lutut serta memperlihatkan bokongnya ke arah Terdakwa II;
- Bahwa melihat perbuatan yang dilakukan saksi Mardila tersebut, Terdakwa I menjadi emosi lalu mendekati saksi Mardila hendak menanyakan apa maksud perbuatan yang dilakukan saksi Mardila tersebut, akibatnya terjadi keributan mulut antara Terdakwa I dengan Mardila;
- Bahwa benar pada saat keributan itu, saksi Mardila mengayunkan parang yang sedang dipegangnya ke arah Terdakwa I dan mengenai bagian kening Terdakwa I;
- Bahwa benar pada saat saksi Mardila hendak mengayunkan parangnya lagi, Terdakwa I berusaha merebut parang dari tangan saksi Mardila sehingga terjadi tarik-menarik parang antara Terdakwa I dan saksi Mardila;
- Bahwa benar melihat hal tersebut Terdakwa II yang sebelumnya berdiri di depan rumah langsung berlari mendekati Terdakwa I dan saksi Mardila yang sedang berkelahi dan merampas parang yang dipegang oleh saksi Mardila;
- Bahwa pada saat yang bersamaan, Terdakwa I dan saksi Mardila terjatuh dengan posisi Terdakwa I menindih tubuh saksi Mardila, dimana dalam keadaan yang demikian, mereka saling menarik rambut (menjambak) satu sama lain, sedangkan Terdakwa II hanya memperhatikan saja perkelahian itu sambil tetap memegang parang yang direbutnya dari saksi Mardila;
- Bahwa benar perkelahian antara saksi Mardila dan Terdakwa I tersebut berhenti karena saksi Mardila berhasil melepaskan diri dari tindihan Terdakwa I, lalu saksi Mardila kemudian berteriak minta tolong dan berlari ke rumah saksi ... lalu meminta air minum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan di atas, Majelis Hakim tidak mendapatkan adanya alat bukti lain, selain hanya keterangan saksi Mardila sendiri yang menyatakan bahwa setelah berhasil merampas parang dari tangan saksi Mardila, Terdakwa II memegangi kedua tangan saksi Mardila sedemikian rupa sehingga memberi kesempatan kepada Terdakwa I untuk melakukan pemukulan terhadap saksi Mardila;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP, untuk menentukan apakah seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, Majelis Hakim harus mendasarkan putusannya sekurang-kurangnya pada dua alat bukti yang sah dan diperoleh keyakinan kalau Terdakwalah yang bersalah melakukannya, dan berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan dari seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan adanya tindak pidana (unus testis nullus testis);
“Menimbang, bahwa berdasarkan keadaan yang demikian, oleh karena keterangan saksi Mardila tersebut tidak didukung alat bukti sah lainnya, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa keterangan dari saksi Mardila tersebut tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan adanya perbuatan Terdakwa II yang memegangi kedua tangan saksi Mardila yang sedemikian rupa memberikan kesempatan kepada Terdakwa I melakukan pemukulan terhadap saksi Mardila;
“Menimbang, bahwa fakta yang terbukti dipersidangan adalah adanya perbuatan dari Terdakwa II yang telah merampas dengan paksa parang yang dipegang oleh saksi Mardila yang ternyata perampasan tersebut telah mengakibatkan luka robek pada telapak tangan kiri saksi Mardila;
“Menimbang, bahwa memperhatikan hal-hal dan keadaan yang melatarbelakangi perbuatan perampasan parang tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan Terdakwa II tersebut adalah hal yang wajar dan sudah semestinya dilakukan olehnya dengan maksud untuk mencegah agar saksi Mardila tidak bisa lagi menggunakan parangnya yang sebelumnya telah melukai kening Terdakwa I;
“Menimbang, bahwa ternyata pula pada saat terjadi pergumulan antara Terdakwa I dan saksi Mardila dalam keadaan mereka saling memukul dan menarik rambut satu sama lain, Terdakwa II hanya memperhatikan saja hingga akhirnya saksi Mardila dapat melepaskan diri dari tindihan Terdakwa I;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan fakta-fakta dan keadaan yang diuraikan di atas, dikarenakan pada saat terjadi perkelahian antara saksi Mardila dan Terdakwa I ternyata tidak diperoleh fakta yang dapat membuktikan adanya perbuatan Terdakwa II yang dapat dianggap ‘bersama-sama dengan Terdakwa I melakukan kekerasan’ terhadap saksi Mardila, sedangkan perbuatan tersebut merupakan salah satu unsur untuk dapat terpenuhinya dakwaan alternatif kesatu, maka dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan dakwaan alternatif kesatu ini haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dan oleh karenanya para Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan alternatif kesatu ini;
“Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan alternatif kesatu tidak terpenuhi dan terbukti secara sah dan meyakinkan, Majelis Hakim selanjutnya akan mempertimbangkan dakwaan alternatif kedua, yaitu melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP yang dilihat dari rumusannya ternyata tidak menyebutkan unsur tingkah lakunya yang bersifat melawan hukum secara jelas, ataupun mengenai cara melakukan dan keadaan yang menyertainya, namun hanya menyebutkan kualifikasinya sebagai ‘Penganiayaan’ dan ancaman pidananya;
“Menimbang, bahwa KUHP juga ternyata tidak memuat tafsiran otentik mengenai apa yang dimaksud dengan ‘Penganiayaan’. Oleh karena itu untuk mendapat pengertian dari istilah tersebut, maka merupakan kewajiban bagi Hakim untuk menemukannya melalui penafsiran dengan memperhatikan sumber-sumber hukum lainnya, dalam bentuk doktrin ataupun yurisprudensi;
“Menimbang, bahwa menurut doktrin hukum pidana, ‘Penganiyaan’ adalah ‘Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) kepada orang lain’ (Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Dua, hlm. 509-510 ). ‘Luka’ diartikan terjadinya perubahan didalam bentuk pada badan manusia, yang berlainan dengan bentuknya semula, misalnya lecet pada kulit, bengkak pada pipi dan lain sebagainya. Sedangkan ‘rasa sakit’ tidak memerlukan adanya perubahan rupa pada tubuh, melainkan pada tubuh timbul rasa sakit, rasa perih dan sebagainya;
“Menimbang, bahwa dengan demikian untuk menyatakan seseorang telah melakukan penganiayaan terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai kesengajaan yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan sesuatu luka pada tubuh orang lain.
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan memang benar saksi Mardila mengalami luka robek pada telapak tangan sebelah kiri dan bengkak pada kening sebelah kanan sebagaimana termuat dalam surat Visum et Repertum yang diakibatkan perkelahiannya dengan Terdakwa I;
“Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap dipersidangan tersebut, maka yang menjadi permasalahan apakah luka pada telapak tangan dan bengkak pada kening saksi Mardila merupakan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh para Terdakwa (?);
“Menimbang, bahwa luka yang dialami saksi Mardila adalah luka robek pada telapak tangan sebelah kiri, yaitu tangan memegang parang untuk membacok Terdakwa I yang kemudian berhasil dirampas secara paksa oleh Terdakwa II sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa luka robek tersebut adalah akibat dari perbuatan Terdakwa II yang telah merampas atau menarik secara paksa parang dari genggaman tangan saksi Mardila;
“Menimbang, bahwa pada saat yang bersamaan, Terdakwa I berhasil mendorong saksi Mardila sehingga terjatuh yang kemudian ditindih oleh Terdakwa I dan dalam kondisi yang demikian, baik saksi Mardila dan Terdakwa I saling pukul dan menarik rambut (menjambak) satu sama lain, sedangkan Terdakwa II hanya memperhatikan saja perkelahian itu sambil tetap memegang parang yang direbutnya dari saksi Mardila;
“Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan tidak terdapat alat bukti lain yang membuktikan adanya pemukulan yang dilakukan oleh Terdakwa II terhadap saksi Mardila, sehingga Majelis berpendapat bengkak yang terdapat pada kening saksi Mardila tidak lain dikarenakan perkelahiannya dengan Terdakwa I yang memang benar terbukti dalam perkelahian itu mereka saling memukul dan menjambak rambut satu sama lain;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keadaan demikian hal penting yang perlu dipertimbangkan apakah perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa I yang mengakibatkan bengkak pada kening terhadap saksi Mardila dan perbuatan Terdakwa II yang merampas parang secara paksa dari saksi Mardila yang mengakibatkan luka robek pada telapak tangan saksi Mardila tersebut telah memenuhi kualifikasi sebagai ‘Penganiayaan’ sebagaimana ditentukan dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP;
“Menimbang, bahwa dalam doktrin hukum pidana telah diterima pengertian umum bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan bersifat melawan hukum. Hal ini mengandung pengertian bahwa suatu perbuatan barulah dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan itu disamping memenuhi rumusan tindak pidananya, juga haruslah bersifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Oleh karena itulah sifat melawan hukum merupakan unsur yang harus selalu ada dari suatu tindak pidana (Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 64-65);
“Menimbang, bahwa berkaitan dengan apakah melawan hukum tersebut harus dicantumkan atau tidak dalam setiap rumusan delik, hal tersebut berkaitan erat dengan ajaran tentang sifat melawan hukum formal maupun materiel. Menurut ajaran melawan hukum formal menghendaki apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar, maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.
“Sedangkan ajaran melawan hukum materiel menghendaki bahwa disamping perbuatan yang dilakukan terdakwa telah memenuhi rumusan dari tindak pidana, harus pula benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela sehingga diakui pula adanya alasan pembenar selain yang ditentukan oleh undangundang (Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Melawan-Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia : Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 24-25);
“Menimbang, bahwa menurut doktrin hukum pidana, alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh Terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. Dalam KUHP alasan pembenar ini ditentukan dalam Pasal 49 ayat (1) mengenai pembelaan terpaksa (noodweer), Pasal 50 mengenai melaksanakan ketentuan undang-undang, Pasal 51 ayat (1) tentang melaksanakan perintah dari atasan;
“Disamping itu dalam KUHP diatur pula ketentuan tentang alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi pelakunya tidak dapat dipidana, karena tidak ada kesalahan pada dirinya. Hal ini diatur KUHP dalam Pasal 49 ayat (2) tentang pembelaan yang melampaui batas, Pasal 51 ayat (2) tentang menjalan perintah jabatan yang tanpa wenang dengan itikad baik (Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 137-138);
“Menimbang, bahwa dipersidangan para Terdakwa menyatakan mohon hukuman yang seringan-ringannya dikarenakan apa yang mereka lakukan merupakan pembelaan diri;
“Menimbang, bahwa sekilas apa yang dikatakan oleh para Terdakwa tersebut apabila dilihat dari sudut pandang hukum pidana merupakan hal yang kontradiktif, karena tidaklah mungkin seseorang dianggap melakukan tindak pidana apabila perbuatan yang dilakukannya merupakan pembelaan diri dan oleh karenanya tidaklah mungkin pula kepadanya untuk dijatuhi pidana, sekalipun dengan hukuman yang seringan-ringannya;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim dapat memahami apa yang disampaikan oleh para Terdakwa tersebut, karena bagi kebanyakan orang yang awam dengan hukum, manakala ia dihadapkan ke muka persidangan karena didakwa telah melakukan tindak pidana, maka akan beranggapan Pengadilan pasti akan menjatuhkan hukuman (pidana) kepada mereka, padahal ‘mengadili’ tidak sama artinya dengan ‘menghukum’ melainkan serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana yang dilandaskan pada asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), sampai dibuktikan kebenaran telah dilakukannya tindak pidana dan kesalahannya secara sah menurut cara yanga diatur dalam ketentuan perundang-undangan;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan prinsip hukum acara pidana bahwa Hakim berkewajiban mencari kebenaran meteriel dalam suatu perkara pidana, oleh karena itula Majelis Hakim ex-officio akan menilai dan mempertimbangkan, apakah terdapat hal yang dapat dijadikan dasar tentang adanya alasan pembenar bagi para Terdakwa dalam melakukan perbuatan tersebut, dengan kata lain apakah perbuatan para Terdakwa tersebut dapat dianggap sebagai pembelaan diri yang terpaksa dilakukan oleh mereka (noodweer) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP;
“Menimbang, bahwa perlu dipahami perbuatan pembelaan terpaksa ini pada dasarnya merupakan tindakan menghakimi sendiri (daad van eigenrichting) terhadap adanya perbuatan atau serangan orang lain yang bersifat melawan hukum dan seketika itu juga terhadap dirinya atau orang lain, akan tetapi perbuatan tersebut menjadi diperkenankan oleh hukum (rechtmatig). Hal ini dilandasi dasar filosofis dimana negara melalui organ pemerintahan dalam hal ini kepolisian yang berfungsi melindungi dan mengayomi masyarakat sudah pasti tidak dapat untuk setiap waktu dan di setiap tempat mampu melaksanakan fungsi tersebut, oleh karena itu dalam hal seseorang mendapat serangan seketika yang melawan hukum diperkenankan melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk melindungi kepentingan hukum sendiri atau kepentingan hukun orang lain sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Undang-Undang;
“Menimbang, bahwa dari rumusan Pasal 49 ayat (1) KUHP dapat disimpulkan seseorang dikatakan telah melakukan pembelaan terpaksa, apabila dilakukan dalam dalam tiga hal, yaitu :
1. Untuk membela dirinya sendiri atau orang lain terhadap adanya serangan yang ditujukan pada fisik atau badan atas dirinya sendiri atau orang lain;
2. Untuk membela kehormatan dalam bidang kesusilaan;
3. Untuk membela harta benda sendiri atau orang lain;
“Menimbang, bahwa mengenai bagaimana tentang pembelaan terpaksa dilakukan haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Harus ada serangan seketika atau langsung yang melawan hukum;
2. Pembelaannya seketika itu juga;
3. Pembelaan tersebut memenuhi asas subsidiaritas;
4. Pembelaan itu juga harus memenuhi asas proporsionalitas;
Ad. 1. Harus ada serangan seketika atau langsung yang melawan hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di persidangan, peristiwa dalam perkara ini dilatarbelakangi oleh ketidaksenangan saksi Mardila terhadap Terdakwa II yang hendak memotong akar pohon yang berada di jalanan di depan rumah saksi Mardila, sehingga ia ngomel-ngomel yang didengar oleh Terdakwa I;
“Bahwa Terdakwa I mengatakan kepada Terdakwa II untuk masuk saja ke rumah dan tidak mendengarkan dan melayani omelan dari saksi Mardila, akan tetapi saksi Mardila masih saja mengomel bahkan menantang berkelahi Terdakwa II yang kemudian diikuti pula dengan perbuatan diluar batas-batas kesopanan dan bersifat menyerang kehormatan para Terdakwa dengan cara melepaskan celana yang dipakainya sampai lutut serta memperlihatkan bokongnya ke arah Terdakwa II;
“Bahwa melihat perbuatan yang dilakukan saksi Mardila tersebut, Terdakwa I menjadi emosi lalu mendekati saksi Mardila hendak menanyakan apa maksud perbuatan yang dilakukan saksi Mardila tersebut, akibatnya terjadi keributan mulut antara Terdakwa I dengan Mardila dan pada saat itulah saksi Mardila dengan menggunakan parangnya melakukan penyerangan terhadap Terdakwa I, sehingga Majelis Hakim berpendapat telah terbukti adanya serangan seketika yang dilakukan saksi Mardila terhadap Terdakwa I;
Ad. 2. Pembelaannya seketika itu juga;
“Menimbang, bahwa sesuai dengan fakta di persidangan, setelah keningnya terkena parang saksi Mardila tersebut, Terdakwa I langsung berusaha untuk merebut parang dari saksi Mardila sehingga terjadi perkelahian dan perebutan parang yang pada akhirnya parang yang dipegang oleh saksi Mardila tersebut berhasil dirampas oleh Terdakwa II dan pada saat yang bersamaan Terdakwa I berhasil mendorong jatuh saksi Mardila, sehingga Majelis Hakim berpendapat perbuatan yang dilakukan para Terdakwa dilakukan seketika itu juga untuk melakukan pembelaan diri;
Ad. 3. Pembelaan telah memenuhi asas subsidairitas;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan memenuhi asas subsidairitas dalam pembelaan diri adalah pembelaan itu mutlak perlu untuk dilakukan dikarenakan tidak ada cara lain yang patut dilakukan, dan berdasarkan fakta di persidangan, perbuatan Terdakwa I yang berusaha merebut parang dari tangan saksi Mardila tersebut harus dilakukannya karena pada saat itu saksi Mardila telah mengayunkan lagi parangnya namun dapat ditangkis oleh Terdakwa I dengan menggunakan tangan kirinya sehingga Terdakwa I berusaha merebut parang tersebut yang pada akhirnya dapat dirampas oleh Terdakwa II dan pada saat yang bersamaan Terdakwa I berhasil mendorong saksi Mardila, namun karena saksi Mardila menjambak rambut Terdakwa I, maka Terdakwa I ikut terjatuh dan langsung menindih tubuh saksi Mardila;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keadaan yang demikian, Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para Terdakwa memang mutlak perlu dilakukan karena tidak cara lain yang patut dilakukan;
Ad. 4. Pembelaan itu juga harus memenuhi asas proporsionalitas;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan memenuhi asas proporsionalitas dalam pembelaan diri adalah adanya keseimbangan antara perbuatan pembelaan diri dengan serangan yang mengancam, dan berdasarkan fakta di persidangan, perbuatan Terdakwa I yang mendorong saksi Mardila pada saat Terdakwa II berhasil merampas parang dari tangan saksi Mardila tersebut kemudian menindih tubuh saksi Mardila masih dalam batas proporsionalitas karena pada saat itu saksi Mardila menjambak rambut Terdakwa I sehingga tidak ada cara lain bagi Terdakwa I untuk melepaskan jambakan selain ikut menjatuhkan diri dan menindih tubuh saksi Mardila sehingga mereka saling memukul dan menjambak rambut satu sama lain dan pada saat itu tidak terbukti adanya bantuan dari Terdakwa II yang memberikan kesempatan kepada Terdakwa I untuk dengan leluasa dapat memukul saksi Mardila, sehingga menurut Majelis Hakim perbuatan yang dilakukan oleh para Terdakwa sudah memenuhi asas proporsionalitas;
“Menimbang, bahwa dari uraian pertimbangan di atas, Majelis Hakim mendapatkan fakta adanya alasan pembenar atas perbuatan para Terdakwa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka Majelis Hakim berpendapat sekalipun perbuatan para Terdakwa telah memenuhi rumusan tindak pidana akan tetapi oleh karena terbukti adanya pembelaan terpaksa pada diri para Terdakwa, maka perbuatan para Terdakwa tersebut menjadi tidak bersifat melawan hukum, kalau demikian halnya maka yang menjadi persoalan putusan apa yang harus dijatuhkan kepada para Terdakwa;
“Menimbang, bahwa ‘Suatu perbuatan sekalipun mencocoki rumusan tindak pidana tetapi tidak bersifat melawan hukum tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana, sehingga lebih tepat jika Terdakwa kemudian dibebaskan’ (Chairul Huda, “Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan” : Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm. 52);
“Menimbang, bahwa menurut M. Yahya Harahap putusan pembebasan (vrijspraak) tidak hanya didasarkan pada hukum acara saja yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya asas batas minumum pembuktian, tetapi juga yang diatur dalam hukum materiil, antara lain dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP (M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 329), pendapat tersebut bersesuaian dengan praktik peradilan sebagaimana pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 (kasus dana non-budgeter Bulog) yang secara tersirat dapat disimpulkan adanya alasan pembenar pada diri Terdakwa (dalam kasus tersebut Pasal 51 ayat (1) KUHP) sebagai landasan bagi Hakim untuk menjatuhkan putusan yang membebaskan Terdakwa;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pendapat hukum (doktrin) tersebut, oleh karena telah terbukti adanya pembelaan terpaksa (noodweer) pada diri para Terdakwa dalam melakukan perbuatan yang telah memenuhi kualifikasi sebagai penganiayaan tersebut, dengan demikian perbuatan para Terdakwa tersebut menjadi tidak bersifat melawan hukum, sehingga tidak terpenuhi pula adanya unsur sifat melawan hukum yang mutlak harus ada dalam suatu tindak pidana, dan oleh karenanya para Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP dan kepada para Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan Penuntut Umum tersebut;
“Menimbang, bahwa oleh karena para Terdakwa dibebaskan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, dipulihkan hak-haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya;
M E N G A D I L I :
- Menyatakan Terdakwa I ... dan Terdakwa II ... tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepada mereka;
- Membebaskan para Terdakwa tersebut dari semua dakwaan Penuntut Umum;
- Memulihkan hak para Terdakwa tersebut dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.