KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Modus Tingkat Tinggi Pelaku Kartel Harga Layanan Seluler

ARTIKEL HUKUM
Ragamnya pelaku usaha, tidak identik dengan mekanisme pasar yang berlangsung secara fair. Tidak selamanya pula persepsi awam yang memandang secara naif, bahwa kian beragamnya pelaku usaha yang saling bersaling di pasar, maka konsumen yang paling akan diuntungkan. Konsumen bukanlah raja dan ratu, namun ‘sapi perahan’—itulah persepsi dari pandangan ‘kacamata’ kalangan pelaku usaha.
Tahukah Anda, di Indonesia terdapat ratusan merek produsen plastik kemasan pembungkus makanan, namun ratusan merek tersebut dimiliki oleh satu pemilik yang sama alias satu pelaku usaha yang sama, dengan tujuan untuk mematikan produsen pesaingnya?
Ketika produsen lain gulung tikar, maka produk unggulan sang pelaku usaha curang tidak lagi memiliki pesaing, dan ketika tidak lagi memiliki pesaing, maka pada gilirannya konsumen yang akan tertekan daya tawarnya karena praktik monopoli akan terbentuk meski di pasaran tampak seakan dibanjiri produk serupa dengan ratusan merek berbeda.
Hal ini baru perihal plastik kemasan. Praktis, hampir seluruh sendi kehidupan ekonomi setiap negara di-‘rongrong’ oleh tabiat buruk kalangan pelaku usaha. Saat ini, kecenderungan dan tendensi global lebih memfokuskan pada penguatan lembaga semacam KPPU, karena kian derasnya modus operansi para pelaku usaha yang selain mulai ‘lintas batas’ juga kian halus menyusun skandal sehingga sukar terlacak—karena pada dasarnya pelaku usaha tidak memakai ‘tangan sendiri’, namun selalu dengan medium oleh tangan-tangan perantara.
Bila tindakan korup dalam domain penylenggaraan negara disebut sebagai tindak pidana korupsi (Tipikor) yang disidik dan ditindak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka perilaku korup dalam lapangan hukum keperdataan bisnis sipil menjadi domain kewenangan KPPU untuk menyidik dan penindakan. Baik Tipikor maupun Praktik Monopoli Usaha dan Persaingan Tidak Sehat, sama-sama memiskinkan rakyat—sama-sama sebagai kejahatan berat terhadap Hak Asasi Manusia.
Bedanya, pers maupun masyarakat Indonesia kurang memberi respons positif ataupun perhatian terhadap lembaga ujung tombak ‘hajat hidup orang banyak’ ini. Tipikor tidak berdampak atau bersentuhan langsung secara signifikan dalam kehidupan ekonomi warga. Namun praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena sifat kejahatannya yang lebih keji karakternya sehingga sukar terlacak disamping skenario yang tersusun rapih, berdampak secara langsung terhadap rakyat banyak secara sistematis dan meluas (publik)—oleh karenanya bila dibuat skala derajat, pelanggaran terhadap HAM yang lebih besar sejatinya ialah pelaku usaha praktik monopoli dan persaingan tidak sehat, ketimbang praktik-praktik koruptif dalam penyelenggaraan negara.
Salah satu sejarah kebobrokan mental kalangan pelaku usaha sebagaimana berhasil diungkap secara gemilang oleh KPPU, ialah perihal pembentukan standar tarif yang seragam antar operator layanan seluler, sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI perkara penindakan persaingan usaha tidak sehat secara ‘berjemaah’, register Nomor 9 K/Pdt.Sus-KPPU/2016 tanggal 29 Februari 2016, perkara antara:
- KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA (KPPU), selaku Pemohon Kasasi dahulu Termohon Keberatan; melawan
I. EXCELCOMINDO PRATAMA, Tbk., sebagai Termohon Kasasi I dahulu Pemohon Keberatan I/Terlapor I;
II. PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR, sebagai Termohon Kasasi II dahulu Pemohon Keberatan II/Terlapor II;
III. PT. BAKRIE TELECOM, Tbk., sebagai Termohon Kasasi III dahulu Pemohon Keberatan III/Terlapor III;
IV. PT. TELEKOMUNIKASI INDONESIA, Tbk., sebagai Termohon Kasasi IV dahulu Pemohon Keberatan IV/Terlapor IV;
V. PT. MOBILE-8 TELECOM, Tbk., sebagai Termohon Kasasi V dahulu Pemohon Keberatan V/Terlapor VII; dan
I. PT. INDOSAT, Tbk., sebagai Turut Termohon Kasasi I dahulu Turut Termohon Keberatan I/Terlapor III;
II. PT. HUTCHISON CP TELECOMMUNICATION, sebagai Turut Termohon Kasasi II dahulu Turut Termohon Keberatan II/Terlapor V;
III. PT. SMART TELECOM, sebagai Turut Termohon Kasasi III dahulu Turut Termohon Keberatan III/Terlapor VIII;
IV. PT. NATRINDO TELEPON SELULER, sebagai Turut Termohon Kasasi IV dahulu Turut Termohon Keberatan IV/Terlapor IX.
Sebelumnya, Para Terlapor mengajukan keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Nomor 26/KPPU-L/2007, tertanggal 18 Juni 2008, yang amarnya sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Terlapor I: PT. Excelcomindo Pratama, Tbk., Terlapor II: PT. Telekomunikasi Selular, Terlapor IV: PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk., Terlapor VI: PT. Bakrie Telecom, Tbk., Terlapor VII: PT. Mobile-8 Telecom, Tbk., Terlapor VIII: PT. Smart Telecom, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menyatakan bahwa Terlapor III: PT. Indosat, Tbk., Terlapor V: PT. Hutchinson CP Telecommunications, Terlapor IX: PT. Natrindo Telepon Seluler tidak terbukti melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
3. Menghukum Terlapor I: PT. Excelcomindo Pratama, Tbk., dan Terlapor II: PT. Telekomunikasi Selular, masing-masing membayar denda sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan, Sekretariat Jendral satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
4. Menghukum Terlapor IV: PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk., membayar denda sebesar Rp18.000.000.000,00 (delapan belas miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan, Sekretariat Jendral satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
5. Menghukum Terlapor VI: PT. Telekomunikasi Bakrie Telecom, Tbk., membayar denda sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan, Sekretariat Jendral satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
6. Menghukum Terlapor VII: PT. Mobile-8 Telecom, Tbk., membayar denda sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan, Sekretariat Jendral satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).”
Terhadap amar putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Para Pemohon Keberatan kemudian mengajukan keberatan ke hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana kemudian Pengadilan Negeri mengabulkan keberatan para pengusaha, sehingga vonis yang telah dijatuhkan KPPU kemudian di-‘mentah’-kan.
Selanjutnya KPPU mengajukan upaya hukum kasasi, dan terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukum serta amar putusan yang penting sifatnya, sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi dapat dibenarkan, karena Judex Facti/ Pengadilan Negeri Jakarta Pusat salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Bahwa Judex Facti yang telah membatalkan putusan Termohon Keberatan I / Pemohon Kasasi (KPPU) dalam perkara ini pada dasarnya karena 2 (dua) alasan yaitu, pertama, KPPU salah dalam menentukan pasar bersangkutan, dan kedua, KPPU salah dalam menilai tarif SMS yang harus dibayar oleh konsumen;
b. Bahwa menurut Mahkamah Agung pertimbangan-pertimbangan Judex Facti tersebut adalah pertimbangan yang salah dengan alasan sebagai berikut:
i. Mengenai penentuan pasar bersangkutan;
1. Bahwa dari segi produk, untuk menentukan bahwa 2 (dua) atau lebih produk adalah produk yang saling bersaing sehingga masuk dalam satu pasar bersangkutan (relevant market) maka kedua produk tersebut harus memenuhi beberapa kreteria, antara lain, memiliki karakter yang sama, dan memiliki harga yang tidak jauh berbeda antara satu dengan lainnya;
“Bahwa terbukti produk dalam perkara ini yaitu layanan SMS off-net memiliki karakter yang tidak sama dibandingkan dengan karakter layanan tambahan lainnya yaitu voice mail, MMS, maupun push email, dan dari segi harga, terbukti tarif layanan SMS off-net adalah lebih murah dibandingkan dengan tarif layanan tambahan lainnya;
“Bahwa karena itu pertimbangan Judex Facti bahwa layanan SMS offnet berada dalam pasar bersangkutan yang sama dengan layanan tambahan lainnya in casu voice mail, MMS, dan push e-mail adalah pertimbangan yang salah;
2. Bahwa dari segi geographis untuk menentukan apakah wilayah pasar produk in casu layanan SMS off-net meliputi pasar regional, nasional, atau global maka selain tarif SMS off-net operator/Termohon Kasasi di luar negeri adalah sama dengan tarif SMS off-net di Indonesia, juga pada masing-masing wilayah utamanya di luar negeri tersedia jaringan komunikasi serupa milik para operator/Termohon Kasasi, kedua hal tersebut tidak terbukti adanya dalam perkara ini sehingga pertimbangan Judex Facti bahwa pasar geographis layanan SMS offnet dalam perkara ini adalah bukan hanya seluruh wilayah Indonesia tetapi juga meliputi pasar seluruh belahan dunia adalah pertimbangan yang salah;
3. Bahwa dalam hukum persaingan objek yang bersaing adalah produk yang satu dengan produk lain dalam pasar bersangkutan (antar produk) in casu layanan SMS off-net oleh operator yang satu dengan layanan SMS off-net yang disediakan oleh operator lain bukan persaingan antar operator sebagai pelaku usaha, karena itu pertimbangan Judex Facti bahwa para operator/Para Termohon Kasasi tidak berada dalam pasar bersangkutan yang sama karena memiliki izin yang berbeda adalah pertimbangan yang salah;
ii. Mengenai tarif SMS yang harus dibayar oleh konsumen;
1. Bahwa dalam pertimbangannya Judex Facti berpendapat bahwa tarif SMS off-net yang harus dibayar oleh konsumen dalam perkara ini adalah harga pasar (benchmark), tidak ada hubungannya dengan PKS interkoneksi, dan Para Termohon Kasasi masih saling bersaing melalui berbagai promosi sehingga bukan tarif kartel sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Bahwa menurut Mahkamah Agung pertimbangan tersebut adalah pertimbangan yang tidak cermat dan tidak berdasar dengan alasan sebagai berikut;
a. Bahwa terbukti sesuai dengan fakta persidangan bahwa tarif dasar SMS off-net yang diberlakukan oleh para Termohon Kasasi dalam kurun waktu tahun 2004 hingga April 2008 adalah paralel yaitu di atas Rp250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) tarif mana bersesuaian dengan klausula tarif SMS yang tercantum dalam Perjanjian Kerjasama (PKS) interkoneksi berisi larangan bagi operator/Termohon Kasasi untuk memberlakukan tarif SMS lebih rendah dari Rp250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) serta lebih rendah dari harga retail, sehingga pertimbangan Judex Facti bahwa SMS off-net dalam perkara ini tidak ada hubungannya dengan Perjanjian PKS interkoneksi adalah pertimbangan yang tidak berdasar;
b. Bahwa sesuai fakta persidangan promosi-promosi yang disediakan oleh operator/Termohon Kasasi adalah untuk konsumen pengguna layanan SMS on-net bukan pengguna SMS off-net sehingga pertimbangan Judex Facti bahwa tarif SMS off-net dalam perkara ini adalah tarif persaingan adalah pertimbangan yang tidak berdasar;
c. Bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa tarif SMS off-net dalam perkara ini adalah tarif yang didasarkan pada biaya layanan yang dikeluarkan oleh masing-masing operator sehingga pertimbangan Judex Facti bahwa tarif SMS off-net dalam perkara ini adalah harga persaingan adalah pertimbangan yang tidak berdasar;
d. Bahwa selain itu sesuai dengan fakta yang tidak terbantahkan (feitelijk) biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing operator untuk penyediaan suatu layanan komunikasi ditentukan oleh banyak faktor sehingga tarif yang harus dibayar oleh konsumen untuk SMS off-net oleh masing-masing operator harusnya tidak paralel di atas Rp250,00 (dua ratus lima puluh rupiah);
e. Bahwa terbukti tarif dasar SMS off-net yang diberlakukan oleh masing-masing operator/Termohon Kasasi turun dibawah Rp250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) setelah Pemerintah melakukan intervensi mengenai tarif interkoneksi pada tanggal 1 April 2008, padahal tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tersebut terjadi penurunan biaya layanan yang dikeluarkan oleh para operator/Termohon Kasasi; (Note SHIETRA & PARTNERS: Dalam membongkar dan membuktikan modus praktik monopoli serta kartel harga, kerapkali KPPU kesukaran dalam mengumpulkan alat bukti pendukung karena terbatasnya kewenangan KPPU yang tidak menyerupai KPK yang mampu menyadap dan menyita alat bukti, sehingga circumstansial evidences sering digunakan sebagai alat bukti andalan KPPU guna meyakinkan Majelis Hakim yang memeriksa.]
f. Bahwa telah benar bahwa ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah ketentuan bersifat per se rule sehingga unsur yang harus dibuktikan untuk menyatakan adanya pelanggaran adalah adanya kesepakatan harga atau formula harga yang berdampak pada harga yang harus dibayar oleh konsumen, sedangkan dampak dari kesepakatan harga tersebut terhadap konsumen maupun terhadap persaingan bukan merupakan unsur pelanggaran;
“Bahwa oleh karenanya data dan analisa (bukti) ekonomi yang menunjukkan bahwa tarif dasar SMS off-net dalam perkara ini adalah tarif yang sangat tinggi (excessive) adalah fakta yang tidak bersifat menentukan terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999:
g. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka menurut Mahkamah Agung pendapat Pemohon Kasasi (KPPU) bahwa tarif SMS off-net dalam perkara ini adalah tarif hasil kesepakatan (kartel) diantara operator/Termohon Kasasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah pendapat yang sudah benar sehingga layak untuk dikuatkan;
“Menimbang, bahwa pertimbangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dianggap sudah tepat dan benar, oleh karenanya dapat diambil sebagai pertimbangan sendiri oleh Mahkamah Agung;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA (KPPU) tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nomor 3/KPPU/2008/PN.Jkt.Pst., tanggal 27 Mei 2015, yang membatalkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 26/KPPU-L/2007, tanggal 18 Juni 2008, serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara a quo dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA (KPPU) tersebut;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Nomor 3/KPPU/ 2008/PN.Jkt.Pst., tanggal 27 Mei 2015;
MENGADILI SENDIRI :
1. Menyatakan bahwa Terlapor I: PT. Excelcomindo Pratama, Tbk., Terlapor II: PT. Telekomunikasi Selular, Terlapor IV: PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk., Terlapor VI: PT. Bakrie Telecom, Tbk., Terlapor VII: PT. Mobile-8 Telecom, Tbk., Terlapor VIII: PT. Smart Telecom, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
2. Menyatakan bahwa Terlapor III: PT. Indosat, Tbk., Terlapor V: PT. Hutchinson CP Telecommunications, Terlapor IX: PT. Natrindo Telepon Seluler tidak terbukti melanggar Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;
3. Menghukum Terlapor I: PT. Excelcomindo Pratama, Tbk., dan Terlapor II: PT. Telekomunikasi Selular, masing-masing membayar denda sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan, Sekretariat Jendral satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
4. Menghukum Terlapor IV: PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk., membayar denda sebesar Rp18.000.000.000,00 (delapan belas miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan, Sekretariat Jendral satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
5. Menghukum Terlapor VI: PT. Telekomunikasi Bakrie Telecom, Tbk., membayar denda sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan, Sekretariat Jendral satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);
6. Menghukum Terlapor VII: PT. Mobile-8 Telecom, Tbk., membayar denda sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Departemen Perdagangan, Sekretariat Jendral satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.