Hukum Tanpa Prediksi = Ber-Ju-di

ARTIKEL HUKUM
Dalam satu kesempatan, penulis merasakan miris ketika mendapati salah seorang tokoh ternama yang telah malang-melintang melakukan uji materiil Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, berinisial M. Hafidz, secara arogan menyatakan, dirinya mengajukan uji materiil “tidak pakai prediksi segala dan hakim boleh pakai standar putusan ganda sesuka hatinya. Saya sudah pengalaman uji materiil di Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2008, jadi saya paling pandai soal uji materiil dan kini hendak menulis buku soal hukum.”
Penulis menjadi meragukan itikad dibalik batin diri sang tokoh, apakah betul, selama ini dirinya mengajukan uji materiil demi kepentingan dan untuk membela kaum Pekerja / Buruh di tanah air? Terdapat perbedaan kentara, antara ‘gagah-gagahan’ berujung sikap arogansi, dengan itikad baik yang menjadi sumber kearifan dan kerendahan hati.
Secara arogan, “tokoh besar” yang menjadikan Mahkamah Konstitusi RI bagaikan ‘rumah keduanya’ ini—karena merasa dirinya telah mengajukan uji materiil (judicial review) ke MK RI sejak tahun 2008, merasa lebih pandai sehingga merasa berhak menggurui penulis.
Sampai pada gilirannya, penulis sampaikan kepada tokoh tersebut, “Maaf, Pak, dari track record Bapak yang telah mengajukan puluhan uji materiil ke MK RI, Bapak lebih banyak kalahnya daripada menangnya. Jadi, mending Bapak simpan nasehat Bapak untuk diri Bapak sendiri.”
Sang tokoh berkilah, “Di MK itu, bicara soal norma abstraknya sudah benar atau keliru, bukan soal menang atau kalah.”
“Ditolak artinya kalah, tak perlu berkilah, lah. Dan perlu Bapak ketahui, hukum tanpa tingkat prediktabilitas, sama artinya BER-JU-DI.”
Kok, masyarakat diminta ber-ju-di di depan hukum dan pengadilan? Dimana letak kepastian hukumnya, bila para pencari keadilan justru diminta ber-ju-di? Negara hukum dengan negara pen-ju-di adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Ju-di tidak pernah mengenal hukum, selain hukum ju-di itu sendiri, yakni tiada tingkat prediktabilitas dan tiada hubungan dengan kualitas intelektual—semata untung-untungan.
Yang lebih mengejutkan, sang tokoh ternyata memiliki latar belakang gelar Sarjana Hukum, dan merasa tidak ada yang salah dengan sikap hakim yang memiliki dua versi putusan, yang secara sewenang-wenang dapat dipilih oleh sang hakim untuk diputus sesuka hatinya, dengan alasan “jangan digeneralisir”. Bila perkara sama, namun putusan dapat bertolak belakang, bukankah itu artinya diskriminasi?
Pada akhir perbincangan via messenger, penulis berpesan pada beliau, “Janganlah congkak, Pak. Congkak adalah sumber kejatuhan.”
Toh, beliau lebih dikenal oleh masyarakat sebagai sosok Pekerja (yang anehnya disaat bersamaan juga merupakan seorang pengusaha) yang lebih banyak kalahnya di MK RI.
Penulis menutup pesan dengan menyampaikan, bahwa penulis tidak pernah melihat diri sendiri sebagai cerdas. Penulis mengakui kekalahan dalam uji materiil di Mahkamah Konstitusi RI terkait hak-hak seorang Pekerja Kontrak, ketika berbagai yurisprudensi baku MK RI justru bagai ‘menjilat ludah sendiri’ oleh MK RI pasca tertangkap tangannya Hakim Konstitusi Patrialis Akbar terkait intervensi pihak pengusaha importir daging sapi. Bahwa penulis tidak mampu menghadapi anasir politis yang menggerogoti sendi-sendi negara hukum.
Hukum memang idealnya murni, bebas dan bersih dari anasir politik. Namun sejak dalam pembahasan undang-undang oleh parlemen bersama pemerintah, ternyata tidak bebas dari pesan sponsor, hingga pada tahapan gugatan di pengadilan umum, tidak terkecuali mekanisme proses uji materiil di Mahkamah Konstitusi, tidak bebas dari unsur politis, bahkan kental nuansa politis-ekonomis—dan hal ini sudah banyak bukti yang tidak lagi terbantahkan.
Adalah mustahil, Patrialis Akbar bekerja seorang diri. Putusan MK RI bersifat kolektif kolegial. Sehingga bagaimana mungkin, putusan MK RI pada kepemimpinan Ketua MK RI sebelumnya yang telah menyatakan “maximum security”, kini dapat bergeser menjadi “relative security” terkait potensi resiko masuk dan menyebarnya wabah penyakit hewan dan ternak yang diimportasi dari negara-negara yang sudah lama tidak mampu membebaskan diri dari epidemik penyakit hewan dan ternak masuk ke teritori NKRI.
Bila India sejak berabad lampau tidak mampu mengatasi wabah penyakit kuku dan gigi sapi, bagaimana mungkin Indonesia mampu mengatasi bila penyakit tersebut masuk dan menjangkiti ternak di Indonesia bila perihal masalah asap kebakaran hutan saja Indonesia masih perlu meminta tolong pada tetangga? Sementara kita ketahui, daging konsumsi bersifat substitusi, dalam arti masyarakat mampu mencari pilihan daging sapi sebagai alternatif, seperti daging ikan yang lebih bergizi untuk dikonsumsi—sehingga tidak mengenal istilah keadaan darurat. Mahal, cari dan beli daging yang lain.
Apa dapat ditolerir, bila seorang sarjana hukum secara serampangan menanggapi: “Tidak dapat digeneralisir satu putusan dengan putusan lain.”—Maka terbukalah peluang bagi hakim nakal untuk bermain dan menggunakan dalih demikian. Seenaknya memutus, dan seenaknya ‘menjilat ludah sendiri’ dikemudian hari dengan menyanggah putusan sebelumnya.
Mengapa praktik hukum di indonesia demikian ‘primitif’ (penulis tidak mampu menemukan pilihan kata yang lebih tepat), bahkan hingga tataran doktrinal di perguruan tinggi ilmu hukum di Indonesia, tidak lain ialah peran paradigma naif yang dangkal demikian, bahwa hukum tidak ada sangkut paut dengan prediksi.
Jika kita bandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, adalah sangat tepat mengutip pernyataan John Austin dan Hans Kelsen: “Hukum tidak lain ialah ilmu tentang prediksi. Dan tingkat prediktabilitas dalam hukum, adalah nafas keadilan.” Seluruh sarjana hukum dan pakar hukum di negara tersebut kompak menyatakan, definisi ilmu hukum ialah ilmu tentang prediksi.
Berbeda dengan sarjana ilmu hukum di Indonesia, yang memiliki segudang definisi perihal hukum yang sama sekali tidak ‘membumi’. Terlagi pula, apakah agama-agama yang diakui di Indonesia mengajarkan umatnya untuk ber-ju-di?
Mengapa kita harus berjudi dengan menyerahkan nasib di tangan seorang hakim yang belum tentu memiliki itikad baik terhadap kepentingan masyarakat umum?
Preseden, mengikat hakim sehingga hakim seburuk apapun, tidak mampu menyimpang dari yurisprudensi yang telah ada, dengan demikian menge-‘rem’ niat buruk sang hakim untuk menyalahgunakan kewenangannya. Itulah sebabnya, nafas hukum dan nafas keadilan terletak pada tingkat paling minimum prediktabilitas hukum. Itulah juga sumbernya, mengapa integritas peradilan di negara-negara Anglo Saxon demikian tersohor dan bersih dari perilaku menyimpang seperti hakim-hakim di indonesia yang demikian vulgar.
Dapat disimpulkan, sang tokoh diatas selama ini, terbukti telah melakukan praktik ‘ju-di’ di MK RI, mengingat rasio persentase kalah jauh lebih banyak ketimbang kemenangan (dan sangat jauh ketimpangannya) sejak tahun 2008.
Penulis berani mengklaim, sebagai sarjana hukum Indonesia pertama dan satu-satunya, yang mencoba mendobrak kebekuan paradigmatik hukum yang sesat ini, seolah hukum tidak membutuhkan derajat prediktabilitas apapun. Hukum yang adil tidak dapat tidak lain dari daya prediktabilitas dalam praktik berhukum.
Pemikiran sempit yang menafikan peran prediktabilitas dalam hukum, ialah pemikiran yang picik dan naif. Terlampau mahal biaya sosial-moril untuk dibayarkan oleh masyarakat bila dipaksa untuk ber-ju-di dengan nasib, dan menyerahkan nasibnya di tangan seorang hakim.
Hakim yang baik akan memberi putusan yang baik, sekalipun surat gugatan buruk luar biasa. Sebaliknya, hakim yang buruk akan menjadikan gugatan Anda mentah sama sekali sekalipun gugatan Anda luar biasa jenius. Traverne sejak dahulu kala sudah berpesan: “Berikan saya hakim yang baik, maka hukum seburuk apapun akan berbuntut pada putusan yang bijak.”
Beliau tidak perlu menjadikan masyarakat lainnya menjadi korban sistem hukum yang gemar ber-ju-di ini untuk menjadi seperti dirinya yang kerap (dan anehnya, seorang yang mengaku sebagai Pekerja namun punya banyak waktu untuk ber-ju-di) ber-ju-di dengan nasib, sehingga pada akhirnya lebih dikenal sebagai sosok yang kerap ber-ju-di di MK Ri, dan lebih sering kalah.
Apalah yang perlu dibanggakan sebagai seorang pen-ju-di ?
Jika Anda beruntung, Anda menang. Jika Anda sedang kurang beruntung, Anda kalah. Tak ada sangkut paut dengan kemampuan atau kualitas intelektual. Namanya juga permainan untung-untungan.
Inilah pemikiran picik yang bagai virus harus mulai kita hentikan dan berantas. Paradigma dangkal demikian adalah musuh hukum di negara-negara maju. hukum-hukum.com adalah satu-satunya dan publikasi hukum pertama di indonesia yang memperkenalkan mindset berhukum dari negara maju yang penulis akui berasal dari sistem legal family Anglo Saxon. Berbagai metode penulisan dalam setiap publikasinya, menerapkan pendekatan keluarga sistem hukum Anglo Saxon—the binding force of precedent—sehingga mudah mengetahui ketika hakim berlaku korup dalam putusannya, yakni bandingkan dengan yurisprudensi yang telah ada dalam kasus serupa dengan yang pernah diputus sebelumnya.
Karena sifatnya yang unik, dan tidak ditemukan oleh masyarakat Indonesia pada publikasi hukum lainnya, kini publikasi maupun buku-buku teks ilmu hukum yang penulis tulis dan publikasikan, mendapat sambutan yang luar biasa oleh masyarakat. Terbukti dengan pesatnya peningkatan rating hukum-hukum.com di mata search engine Google maupun apresiasi dan penghargaan lewat komentar-komentar maupun surat elektronik dari para pembaca.
Salah kaprah harus diluruskan, bahwa keadilan terletak pada kepastian hukum, bukan lagi ber-ju-di pada nasib, ber-ju-di pada ‘selera’ hakim yang dibolehkan untuk menafikan yurisprudensi dan preseden putusan sebelumnya yang menjelma praktik putusan yang sewenang-wenang. Tidak boleh ada lagi korban-korban seperti contoh sang tokoh di atas yang tidak layak diteladani.
Dan, yang paling memprihatinkan, sang tokoh tidak sadar bahwa dirinya adalah seorang korban, bukan seorang pahlawan yang perlu bersikap sombong dan berbangga diri. Penulis berpandangan secara sederhana, berkecimpung dalam dunia hukum bukanlah perihal aksi sok gagah-gagahan, namun perihal itikad yang ada dibalik niat batin para pengemban hukum saat mengajukan gugatan ke hadapan pengadilan.
Bagaimana menurut Anda? Penulis bukanlah pelaku monopoli kebenaran, dan prinsip John Stuart Mill inilah penjaga moral manusia. Sang tokoh sempat menyampaikan, dirinya hendak menulis buku teks ilmu hukum perihal Undang-Undang Ketenagakerjaan. Bagaimana mungkin, menulis teks ilmu hukum namun disaat bersamaan mengajarkan para pembacanya untuk menjadi seorang pen-ju-di?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.