Tidak Diatur, artinya Boleh atau Dilarang?

ARTIKEL HUKUM
Dalam konsep dan teori peraturan perundang-undangan, norma kaedah hukum tertulis berupa rangkaian kata pembentuk kalimat dalam suatu pasal ataupun ayat, baik undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peaturan menteri, dsb, dapat memuat kandungan normatif berupa:
- Larangan;
- Perintah; dan/atau
- Kebolehan.
Dalam konsepsi hukum pidana, terdapat adagium : “Jika tak diatur, berarti boleh dilakukan.” Inilah yang kemudian dikenal dalam terminologi hukum sebagai ‘Asas Legalitas’—artinya, tidak dapat seorang warga negara dihukum tanpa adanya dasar hukum yang melarang suatu perbuatan, dan juga tidak boleh seorang warga negara dihukum tanpa adanya suatu perintah yang diwajibkan oleh hukum tertulis yang telah ditetapkan dan disahkan sebelum perbuatan / kelalaian itu terjadi.
Menjadi pertanyaan besar, ‘asas legalitas’ yang anti terhadap konstruksi hukum ‘analogi’, mengapa kemudian terjerumus dalam konstruksi hukum ‘agumentum a contrario’? Bila tak dilarang, berarti boleh. Kejahatan terus berkembang, berbagai celah hukum digali demi memuluskan aksi penjahat ‘kerah putih’. padahal, Asas Legalitas ini lahir pada zaman dan era yang sudah tidak sama lagi dengan karakter zaman era reformasi ini.
Pada zaman Orde Baru, adalah sebuah malapetaka bila penetapan/keputusan pemerintah (beschikking) dapat berlaku surut, namun pada era reformasi ini, berdasarkan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan, penetapan pemerintah dapat saja berlaku surut bila terdapat rasio dibalik kebijakan pemberlakuan surut serta terdapatnya kegentingan mendesak untuk itu. Zaman telah berubah, paradigma lama perlu ditinjau ulang. Adalah sebuah bencana, ketika seorang pembentuk undang-undang atau seorang hakim masih memakai mindset/paradigma sempit yang usang.
Kembali pada perihal Asas Legalitas yang lahir pada zaman raja-raja lalim ketika masih memerintah dan berkuasa, seringkali terjadi perbuatan sewenang-wenang ,karena hakim itu sendiri yang menyatakan dirinya sebagai hukum. Sebagai ilustrasi, seorang penduduk yang tidak disukai oleh raja, secara mendadak dinyatakan oleh sang raja telah melanggar hukum, dan alhasil vonis dijatuhkan oleh sang raja terhadapnya untuk memberangus pemberontak dinasti kekuasaannya yang absolut.
Sang hamba meminta klarifikasi, “Wahai raja, apa kesalahan hamba sehingga diberikan hukuman penggal?”
“Tidak boleh menggunakan baju berwarna merah saat mood saya sedang tidak baik,” sahut sang raja memberi penjelasan. “Lagi pula saya tidak suka orang dengan wajah buruk rupa, itu mengganggu pemandangan. Dilarang itu.”
“Lho, memang sejak kapan ada aturan semacam itu?”
“Sejak saya ucapkan, dan berlaku surut.”
“Jadi, Raja merasa diri Raja sebagai hukum itu sendiri?”
“Tepat sekali.”
“Saya keberatan dan mengajukan banding.”
“Seperti yang tadi kamu katakan, sayalah hukum.”
Namun, ketika kekuasaan legislatif dan monarkhi telah dibatasi dengan konsep Trias Politica, dimana Eksekutif dan Parlementer serta Yudikatif saling check and balances, maka ketakutan warga negara atas kediktatoran raja tidak lagi relevan untuk diangkat sebagai isu. Dalam rezim demokrasi, kekuatan people power kini justru telah melenceng dan membabi-buta merongrong kekuasaan pemerintah, pers yang memborbardir dengan pemberitaan yang menghakimi, justru kini bandul kekuatan telah bergesr bahkan berbalik 180 derajat.
Lihat saja, pemerintah menyatakan ‘tidak sanggup dan angkat tangan’ untuk mengendalikan harga tanah dan perumahan, dimana partikelir dan korporasi justru menjadi pihak pengendali pasar dan ekonomi serta sosial politik. Ketika warga hendak mengumpulkan massa untuk berdemo, pemerintah tidak sanggup melarang, meski merusak citra Indonesia dimata investor asing yang membutuhkan iklim negara yang sehat untuk menanamkan modalnya.
Kita kembali pada kerancuan paling besar dalam konsep ilmu hukum peraturan perundang-undangan. Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, kaedah normatif mengandung setidaknya tiga unsur: perintah, larangan, dan atau kebolehan. Disinilah letak permasalahan yang bersifat laten dan takkan dapat diperbaiki secara falsafah maupun doktrinal ilmu hukum.
Sebuah undang-undang hanya mengatur garis besarnya saja, sementara peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dsb, mengatur secara lebih rinci. Karena sifatnya mengatur secara lebih rinci, mau tidak mau, sebagai konsekuensi logisnya berbagai peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut pastilah akan mengatur “NORMA BARU”.
Ilustrasi sederhana berikut penulis harapkan mampu memberi pemahaman, semisal undang-undang hanya mensyaratkan 3 buah syarat untuk mendirikan sebuah usaha tertentu. Artinya, “kebolehan” untuk mendirikan usaha cukup dengan memenuhi 3 buah syarat tersebut. Namun kemudian, peraturan pelasananya justru merinci setidaknya 10 syarat untuk dapat memiliki kegiatan usaha tersebut. Disini kita mendapati, peraturan pelaksana telah menambah bobot “larangan”, dimana usaha tak dapat berdiri tanpa dilengkapinya ke-10 syarat.
Bukankah artinya peraturan pelaksana lebih tinggi derajatnya dari undang-undang? Sekalipun Anda bersikukuh pada bunyi undang-undang, yang berlaku dalam praktik teknisnya ialah peraturan pelaksana. Inilah irasionalitasnya disiplin ilmu hukum. Tidak percaya, tanyalah para aparatur sipil negara, dimana dalam memberi ‘pelayanan’ publik, mereka akan bersikukuh berpegangan pada Peraturan Menteri meski Peraturan Menteri yang meraka pegang seperti kitab suci tersebut sejatinya melanggar undang-undang.
Contoh kasus lain, diri kita mungkin mendalilkan atas suatu permasalahan hukum yang kita hadapi, bahwa tiada larangan untuk melakukan sesuatu yang kemudian dilarang oleh pejabat negara, dimana sang pejabat kemudian mendalilkan:
“Tak ada aturan yang menyatakan Saudara boleh melakukan itu. Undang-undang pun tak atur bahwa Anda boleh melakukan itu. Jadi, apa dasar hukumnya Saudara melakukan hal demikian?”
“Tapi kan, undang-undang juga tidak melarang untuk saya melakukan ini.”
“Kalau tak diatur, berarti tak boleh. Jangan buat aturan sendiri !!!”
“Kalau tak dilarang, mengapa tidak boleh ???”
Debat mulut tak terhindarkan, dan setiap orang dari kita setidaknya pernah mengalami hal serupa ketika bersentuhan dengan pelayanan publik. Merepotkan? Tentu saja.
Dialektika semacam itu kerap terjadi dalam praktik. Sama halnya, bila undang-undang tak mengatur larangan, mengapa peraturan pelaksana dilarang untuk mengatur ‘norma baru’ dalam rincian aturannya?
Semisal, suatu Peraturan Pemerintah membolehkan Badan Usaha Milik Negara hendak menempatkan modal pada entitas bisnis lain tanpa didahului izin dari Dewan Perwakilan Rakyat sebagai fungsi penyusunan anggaran. Undang-undang tentang BUMN/D tidak mengatur larangan demikian, UU APBN juga tidak mengatur larangan secara eksplisit, maka apakah Peraturan Pemerintah tersebut salah secara konseptual? Terjadilah perdebatan dan berbagai wacana yang tidak akan kunjung usai, oleh sebab memang inilah kelemahan laten peraturan perundang-undangan.
Jika Anda membuka berbagai hukum tertulis perihal sengketa hubungan industrial ketenagakerjaan, apakah akan Anda temukan kebolehan bagi para pihak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali? Undang-undang tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak mengatur larangan untuk itu, berarti boleh? Tapi disaat bersamaan, tidak diatur kebolehan untuk itu, berati tidak boleh?
Dalam praktik, sosok “saya raja, maka sayalah hukum” bergeser dari kekuasaan seorang raja menjadi kekuasaan prerogatif menentukan apa itu hukum di tangan seorang hakim, meski teori hukum secara ‘bohong’ menyatakan bahwa hakim hanyalah ‘corong’ dari undang-undang, alias hanya sekadar menirukan apa yang disuarakan oleh kaedah normatif undang-undang.
Undang-undang itu sendiri yang telah membuat posisi diri kalangan hakim berada pada posisi dilematis, sehingga judge made law (meski Indonesia ‘katanya’ tidak menganut konsep sistem keluarga hukum common law) merupakan wujud pemberontakan dari kalangan hakim itu sendiri dalam sistem hukum Eropa Kontinental, yang tak dapat dihindari akibat ketidakpuasan kalangan jurist atas sitem hukum peraturan perundang-undangan.
Perhatikan pula salah satu contoh lainnya lewat kutipan dalam putusan Mahkamah Agung RI tingkat Peninjauan Kembali, register Nomor 174 PK/Pdt.Sus/2012 tanggal 18 juni 2013, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak diatur mengenai pemeriksaan peninjauan kembali, maka Mahkamah Agung dalam memeriksa perkara ini mengacu pada ketentuan Pasal 67, 68, 69, 71, dan 72 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.”
“Menimbang, bahwa permohonan pemeriksaan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan  dalam tenggang waktu dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, oleh karena itu permohonan pemeriksaan peninjauan kembali tersebut formal dapat diterima.”
Karena hukum memiliki masalah laten yang bersifat internal sekaligus ‘eternal’, maka kalangan komentator dan pengamat hukum tidak akan pernah habis mendapatkan topik untuk dikomentari (suatu kabar baik bagi mereka), peliput berita turut senang karena terdapat stok pemberitaan sensasional tiada habisnya (bad news is always be a good news), sementara warga masyarakat hanya dapat menjadi penonton dan semakin dibuat heran serta penuh kebingunan.
Bila seorang sarjana hukum itu sendiri bingung dan tak akan peranh mampu paham akan logika hukum yang memang dasariahnya irasional; maka bagaimana dengan Anda, para warga negara yang awam hukum?
Kesimpulan yang dapat kita tarik, bila tak dilarang, apakah artinya hal tersebut merupakan suatu kebolehan?
Sebaiknya Anda tak terlampau yakin dengan asumsi Anda. Ingat, disaat bersamaan hukum juga secara ‘gilanya’ berkata: jika tak diatur suatu kebolehan tindakan tertentu, artinya dilarang. Jadi, kesimpulan finalnya, tergantung pada nasib Anda. Bila sedang mujur Anda tidak akan terjamah oleh hukum yang memang kurang waras karakternya ini. Hidup dengan berhukum, sebagai warga negara pengemban hukum, kadang seperti ber-ju-di dengan nasib. Jika mujur, Anda akan selamat, apapun bunyi aturan tertulisnya. Boleh, namun disaat bersamaan dilarang.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.