Hukum itu Murni, Namun Tidaklah Naif

ARTIKEL HUKUM
Tidak setuju, bila jasa transportasi pemesanan via daring / online harus di-represi, baik secara regulasi maupun oleh pelaku usaha transportasi konvensional, demikian penulis menyatakan. Kesan ini terbit, akibat fakta lapangan, dimana dapat juga dirasakan langsung oleh setiap anggota masyarakat, terutama pada zaman sebelum dikenalnya kemajuan teknologi pemesanan transportasi via daring.
Selama ini, pihak pengemudi maupun operator transportasi konvensional terkesan ‘resek’ plus belagu. Bagaimana tidak, seenaknya menaikan tarif sembarangan (tidak transparan dalam tarif), identitas supir tidak jelas (supir tembak), rawan kejahatan (pemalak), penumpang belum benar-benar naik namun pengemudi sudah tancap gas sehingga penumpang terpelanting seperti seekor hewan tak bernyawa, kurang hajar terhadap penumpang (konsumen), kondisi kendaraan yang tidak layak, mengetem menunggu mobil hingga penuh sehingga penumpang hanya bisa berdesak-desakan menunggu di dalam mobil yang sempit dan panas, pengemudi kendaraan roda dua (ojek) konvensional yang mematok tarif seenaknya dan tidak ramah, tidak berbasis apresiasi sebagaimana dalam pemesanan aplikasi online yang dapat menerapkan manajemen berbasis kinerja yang diberikan tingkat kepuasannya oleh konsumen kepada driver bersangkutan—sehingga driver mafia jelas akan tersisih dengan sendirinya dalam persaingan.
Konsumen telah menjatuhkan vonis. Selama ini konsumen tidak dapat melawan, karena tiada pilihan lain. Toh, sekalipun tanpa fenomena ‘ojek / taxi online’ sekalipun, transportasi konvensional memang menjelang senja. Konsumen kini memilih berdaya dengan membeli motor sendiri, jadi transportasi non online mati dengan sendirinya secara perlahan sebagai konsekuensi logis pelayanan yang buruk dan tidak berbasis kinerja tingkat kepuasan konsumen.
Apakah konsumen yang musti disalahkan? Bila dikatakan mematikan kalangan pekerja transportasi konvensional, rasanya seperti menafikan keberatan para pekerja transportasi berbasis online yang menjamur. Baik kerja sebagai profesi ataupun menyambi, apakah mencari penghasilan dengan menjadi pengemudi transportasi pemesanan via daring adalah sebuah kejahatan? Konsumen puas, itu yang penting. Kejahatan bagi siapa? Tohm buktinya konsumen telah menjatuhkan pilihan, dan konsumen berhak untuk bersuara serta menjatuhkan ‘vonis’.
Namun, bercermin dari pengalaman banyaknya manuver bisnis kalangan pengusaha yang tidak jujur, bisa jadi tujuan utama para operator jasa transportasi online memang hendak mematikan pada penyedia jasa transportasi umum konvensional. Mengingat pula kondisi di negara-negara tetangga dimana ongkos menumpang jasa transportasi pemesanan daring ini lebih mahal ketimbang tarif transportasi konvensional, sehingga terbalik kondisinya dengan Indonesia.
Apakah hidden agenda kalangan pengusaha transportasi pemesanan via daring ini? Itulah pertanyaan utama yang perlu kita waspadai.
Ditengarai, ketika para pengelola transportasi konvensional gulung tikar, barulah pihak operator jasa transportasi pemesanan daring akan menaikkan tarif secara drastis yang ujung-ujungnya konsumen tidak punya pilihan lain akibat transportasi konvensional telah tidak lagi eksis—praktik kartel harga dan monopoli usaha yang sebenarnya terbilang klasik dan sudah banyak terjadi dalam praktik niaga—sehingga tidak akan mengejutkan lagi bila hipotesis ini terbukti kebenarannya dikemudian hari.
Adalah arif, bila semestinya pihak penyelenggara jasa transportasi konvensinal introspeksi diri, apakah selama ini telah melecehkan penumpang, apakah penumpang tidak akan bersungut-sungut dan bersumpah akan mencari alternatif trasnportasi atau bahkan membeli kendaraan sendiri.
Begitupula pihak pemerintah, yang semestinya pro konsumen. Karena bila didalilkan mematikan pelaku usaha, toh pengemudinya tetap saja manusia, bukan robot, sehingga bisa dikatakan membuka lapangan kerja baru, dimana pelaku usaha konvensional ditinggalkan konsumen adalah akibat arogansi pelayanan buruk mereka sendiri.
Selama ini konsumen yang kecewa tak bisa bersuara, dan pengusaha transportasi konvensional karena meresa dibutuhkan, menjadi ‘belagu’ dan besar kepala. Melihat kondisi kendaraan mereka yang bobrok, dibanding dengan ongkos bensin dan perawatan, rasanya masih jauh lebih besar pemasukan ketimbang investasi pembelian kendaraan baru.
Sehingga penulis katakan, adalah kebohongan, bila pengemudi transportasi konvensional menyatakan diri mereka kerap menaikkan tarif seenaknya karena faktor biaya KIR (pungli jelasnya, bobrok kok lolos KIR), pajak, biaya perawatan (apa yang dirawat?). biaya membeli r*kok saat lama mengetem.
Bukti: salah satu taxi konvensional kini telah berintegrasi dengan operator layanan pemesanan via daring, dimana para driver taxi konvensional dapat dipesan oleh penumpang dengan menggunakan mekanisme tarif dan kupon diskon operator penyelenggara pemesanan transportasi via online yang kini menjamur. Terbukti sudah, taxi konvensional pun bisa hidup beroperasi dengan menerapkan standar tarif transportasi pemesanan via daring. Berarti, selama ini konsumen yang telah dibohongi karena dikenakan tarif yang terbilang sangat tinggi untuk ukuran taxi konvensional.
Kini, pilihannya ialah ikut bersama arus kemajuan teknologi, atau tetap bersikap orthodoks dan seakan hendak menantang kemajuan teknologi dengan bersikap keras kepala atau bahkan memasang badan, seakan kemajuan teknologi ialah akhir dari dunia. Bukankah sikap demikian juga termasuk dalam kategori arogansi paradigma usang yang sudah saatnya dilepaskan?
Bahkan para pengemudi transportasi konvensional tidak akan sudi menjadi penumpang mobil atau motor yang bobrok, penuh asap, sikap pengemudi yang arogan dan tidak user friendly.
Jadi, siapa yang sebenarnya sedang menuntut siapa? Berbagai bentuk konflik antara driver transportasi konvensional terhadap pengemudi transportasi via pemesanan daring, bisa jadi merupakan wujud sikap inferioritas para penyelenggara transporatasi konvensional yang gagal atau bahkan tidak memiliki kemauan untuk trasnformasi dan pembenahan diri.
Faktanya, sekalipun tanpa driver taxi / ojek online, tetap saja mereka ditinggalkan konsumen. Janganlah kita bandingkan dengan negara-negara lain, dimana transportasi umum publik mereka memiliki kondisi yang ramah terhadap penumpang, pelayanan yang baik, dan nyaman serta terjangkau bagi penumpang.
Pelayanan buruk, kondisi kendaraan buruk, jelas akan ditinggalkan. Mengapa hal sederhana ini masih perlu diperdebatkan, selain lebih banyak mengundang antipati kalangan konsumen dan hanya menguras emosi yang mubazir seakan tiada hal lain untuk dikerjakan. Konsumen adalah raja, bukan driver konvensional yang merasa dirinya seperti raja yang berhak membudaki penumpang lewat sikap dan kondisi kendaraan mereka yang tidak manusiawi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.