Lembaga Gugatan yang Kerap Disalahgunakan

LEGAL OPINION
Question: Sungguh perbuatan yang tidak menyenangkan, bila seseorang menggugat orang lain seenaknya tanpa dasar. Memangnya apakah seseorang benar-benar berhak untuk menjadikan orang lain sebagai pesakitan di persidangan, sehingga orang lain dibuatnya harus repot-repot menjadi tergugat, meladeni gugatan ngawur itu untuk membatahnya? Emang kurang kerjaan apa orang digugat-gugat?
Brief Answer: Itulah dia, menggugat suatu warga negara lainnya tanpa suatu hak, terlebih tanpa dasar, bagaimana pun merupakan perbuatan yang dapat dikatakan mengganggu / merongrong. Tak ada hak bagi seseorang untuk mengganggu ketenangan hidup warga negara lainnya.
Semua orang berhak untuk menjadi presiden, namun tak semua orang memiliki kualifikasi untuk menjadi seorang presiden. Prinsip tersebut pun pada hakekatnya sama dalam peristiwa hukum dimana warga negara satu menggugat warga negara lain tanpa suatu dasar yang memadai—apapun alsannya, tetap saja mengganggu ketenteraman dan kedamaian hidup orang yang digugat secara tidak patut.
Namun, yang cukup kita sayangkan, praktik peradilan di Indonesia masih kerap membiarkan dirinya dijadikan momen / ajang ‘gagah-gagahan’ serta intimidasi dari suatu kalangan yang memiliki kekuatan finansial untuk mengajukan gugatan, dengan motif utama yakni sekadar untuk mengganggu ketenangan hidup warga lainnya belaka—meski dirinya sadar tidak akan menang dalam gugatan. Fakta ini kerap terjadi secara masif dan vulgar dalam praktik.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut sungguh tepat mewakili problematika diatas, yakni sebagaimana kita jumpai dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur sengketa gugatan perdata register Nomor 299/Pdt.G./2012/PN.Jkt.Tim tanggal 13 Maret 2013, perkara antara:
1. DRS. R.SOEPRIYADI, MM ; 2. H. ST. LUKMAN HAKIM; 3. DRS, H. AMHAR; 4. ANDRI ANTONIO LUKMAN, SE., sebagai Para Penggugat; melawan
- IVAN DOLI GULTOM, dalam kedudukannya sebagai Direktur Utama PT. President Taksi, selaku Tergugat.
Kasus ini merupakan sengketa internal korporasi antar para pemegang saham, dimana beberapa pemegang saham berkeberatan atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang mengangkat Tergugat sebagai Direksi Perseroan. Namun Tergugat merasa semua prosedur pengangkatan dirinya telah sahih, sehingga gugatan Penggugat dinilai sebagai telah merugikan harkat serta martabat disamping pengorbanan waktu dan biaya diri sang Tergugat, oleh karenanya Tergugat mengajukan gugatan balik (rekonpensi) dengan menjadi seorang Penggugat Rekonpensi.
Dimana terhadap gugatan Penggugat maupun gugatan balik Tergugat (gugatan rekonpensi), Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Para Penggugat tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat, bahwa Tergugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya, bahwa kepengurusan Tergugat selaku Direktur Umum PT. Presiden Taxi dari periode 2003 s/d 2008 yang kemudian dilanjutkan pada periode 2012 s/d 2015, adalah tidak sah, dan oleh karena itu petitum point 3 sepatutnya ditolak;
“Menimbang, bahwa karena para Penggugat tidak dapat membuktikan dalil pokok gugatannya sebagaimana dipertimbangkan diatas, sehingga petitum point 2 dan point 3 ditolak, maka petitum-petitum selebihnya juga harus ditolak ;
“Menimbang, bahwa karena seluruh petitum gugatan para Penggugat ditolak, maka gugatan para Penggugat dinyatakan ditolak seluruhnya;
DALAM REKONPENSI:
“Menimbang, bahwa Penggugat Rekonpensi dalam gugatannya mendalilkan, bahwa adanya gugatan Kopensi yang diajukan oleh para Penggugat Konpensi/Tergugat Rekonpensi, menimbulkan kerugian yang diderita oleh Penggugat Rekonpensi/Tergugat Konpensi baik materil maupun immateril, karena telah menyerang kehormatan Penggugat Rekonpensi / Tergugat Konpensi sebagai seorang pengusaha yang dapat menimbulkan pemikiran negatif dikalangan pengusaha. Kerugian materil yang diminta oleh Penggugat Rekonpensi / Tergugat Konpensi sebesar Rp. 2.000.000.000,- sedangkan kerugian immateril sebesar Rp. 1.000.000.000,-;
“Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim, adalah hak seseorang untuk mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri dengan dalil apapun, hal tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang, hanya saja apakah seseorang tersebut dapat membuktikan dalilnya tersebut atau tidak, tergantung pembuktian dipersidangan, bila dapat dibuktikan, gugatannya dikabulkan, bila sebaliknya, gugatannya ditolak. Dalam hal ini tidak ada sanksi bagi seseorang mengajukan gugatan ke Pengadilan, apapun dalil gugatanya, meskipun nantinya gugatannya di tolak dikarenakan bukti tidak cukup atau tidak mempunyai dasar hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tesebut diatas, Majelis Hakim berpendapat, bahwa formalitas gugatan Rekonpensi tidak terpenuhi;
“Menimbang bahwa karena formalitas gugatan Rekonpensi tidak terpenuhi, maka gugatan Rekonpensi dinyatakan tidak dapat diterima;
M E N G A D I L I :
I. DALAM KONPENSI:
DALAM POKOK PERKARA:
- Menolak gugatan Penggugat seluruhnya ;
II. DALAM REKONPENSI:
- Menyatakan gugatan Penggugat dalam Rekonpensi tidak dapat diterima (Niet Onvankelijke Verklaard).”
‘Mental & Sosial Cost’ suatu ajang gugat-menggugat, tidak hanya berimbas kepada pihak Penggugat, namun juga berdampak pada pihak Tergugat (terkena ‘getahnya’). Sekalipun gugatan Penggugat dinyatakan ditolak, namun bila Tergugat tidak berupaya tampil di persidangan guna membela diri atau sekedar untuk membuktikan ketikdabenaran dalil-dalil pihak Penggugat, maka hakim dapat memutus secara verstek dimana bisa saja pihak Penggugat menampilkan segala bentuk alat bukti penuh rekayasa yang tidak disadari pihak Tergugat saat proses pembuktian di persidangan.
Kerap terlontar dalam putusan verstek, Majelis Hakim pemutus menyatakan dalam pertimbangan hukumnya, bahwa:
“Tidak hadirnya pihak Tergugat, diartikan melepaskan hak-haknya untuk membantah atau membela diri ataupun untuk mengajukan alat-alat bukti guna membantah alat-alat bukti pihak Penggugat. Maka oleh karenanya Majelis Hakim akan menilai kebenaran dalil gugatan Penggugat, berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh pihak Penggugat semata.”
Proses persidangan dalam acara gugatan sangat memakan waktu dan menguras energi. Penggugat yang memiliki kecukupan materi, dapat ‘membeli’ kuasa hukum, seorang pengacara, untuk mewakili dirinya maju ke persidangan, sementara sang Penggugat sibuk mencetak laba di perusahaannya tanpa memusingkan perihal gugatan yang dimajukannya. Bagaimana bila Tergugat ialah kaum kecil yang waktu kerjanya untuk mencari sesuap nasi habis hanya untuk meladeni gugatan Pengusaha?
Secara sosio-politis, gugatan ialah fasilitas penuh kemewahan yang dibuka lebar-lebar bagi mereka yang mampu secara ekonomi. Bagi mereka si miskin, tiada akan pernah dijumpai keadilan pada lembaga bernama peradilan. Sekalipun gugatan Penggugat dikalahkan oleh hakim, tetap saja, siapa yang suka dijadikan pesakitan serta di-emblem-namakan sebagai ‘Tergugat’. Tetap saja Tergugat harus mengeluarkan biaya ongkos, waktu, serta pikiran dan perhatian yang menjadi mubazir alias terbuang percuma dari ‘kantung saku’ sendiri akibat dipermainkan oleh gugatan absurb yang kerap dijumpai dalam praktik.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.