Falsafah Hukum Mengembalikan Uang Hasil Korupsi

ARTIKEL HUKUM
Apakah mengembalikan dana hasil perbuatan korup, akan membuat si pelaku atau pihak-pihak yang turut serta menikmati dana hasil korupsi, akan bebas dari jeratan ancaman Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)?
Dalam artikel singkat dan sederhana ini, kita akan meninjaunya dalam konsepsi falsafah, sehingga penulis tidak akan mengutip pasal atau ayat-ayat peraturan yang kadang irasional, motif pembentuk regulasi yang tidak jelas maksud dan tujuannya, disamping (tentunya) membuat jemu.
Keadilan hukum bukan terletak pada ketentuan / kaedah normatif tertulisnya, namun terletak pada falsafah dimana terdapat ‘gudang’ rasio dan pertimbangan yang logis sebagai dasar penentu / keberadaannya.
Karena mulai ketahuan, cepat-cepat dikembalikan. Jika tidak ada indikasi ‘bau busuk’ disinyalir atau terendus oleh aparatur penegak hukum, semua pelaku pura-pura bersikap tiada yang salah, dan dengan kompak menutup rapat-rapat aib mereka.
Selama kebusukan dapat ditutup rapat, tak ada alasan untuk membuka dan mengembalikan. Jika sejak awal ‘komit’ untuk tidak korup, tiada akan pernah pejabat negara menerima dana ‘tidak jelas’ / uang ‘terimakasih’ yang bukan komponen ‘upah’ resmi pejabat negara yang tidak sedikit.
Seorang manusia dewasa patut curiga (ought to), terlebih dirinya adalah pejabat negara pembuat kebijakan, keputusan, dan regulasi, untuk dan atas motif alasan apa dana ‘terimakasih’ tersebut diberikan? Res ipsa loquitor, bukti keberadaan uang ‘tak jelas’ itu sendiri yang telah berbicara banyak membuktikan suatu tindak pidana—disinilah salah satu kemajuan canggih ilmu hukum pidana kontemporer.
Sejatinya, terdapat dua skenario yang dapat terjadi, dalam konteks pengembalian dana hasil korupsi oleh mereka yang menerima dan menikmatinya:
1. Ketika menerima / diberikan dana ‘terimakasih’, ‘suap’, ‘uang gelap’, atau sejenisnya, seketika itu juga pejabat si penerima menyerahkan kepada aparatur penegak hukum, sekalipun modus Tipikor yang terjadi tertutup rapat, tidak tercium, dan laporan / pengembalian tersebut menjadi titik awal trace / clue / jejak awal bagi penegak hukum untuk mengendus adanya unsur-unsur / sinyalir dugaan Tipikor atas dana yang dilaporkan dan diserahkan tersebut—jadilah ia resmi sebagai seorang whistle blower;
2. Ketika menerima / diberikan dana ‘tidak jelas’, sempat telah menikmatinya selama bertahun-tahun, meski aparatur penyidik tidak pernah menyangka adanya suatu pelanggaran hukum pidana yang telah terjadi, dengan kesadaran pribadi pelaku pada akhirnya berubah pikiran, dan bergegas mengembalikan kerugian terhadap apa yang merupakan hak-hak rakyat;
3. Ketika menerima / diberikan dana ‘tidak jelas’, menunggu hitungan tahun selama disimpan dan dinikmati, dan ketika seorang whistle blower atau aparat penegak hukum berhasil ‘mengendus’ suatu dugaan kebocoran Keuangan Rakyat (Note: hindari penggunaan istilah Uang Negara), maka secara berjemaah para pelaku ramai-ramai mengembalikan dana tersebut sebagai ajang ‘cuci tangan’;
4. Ketika menerima / diberikan dana ‘tidak jelas’, penyidik sama sekali tidak menduga adanya kerugiaan ‘keuangan rakyat’, karena aksi / modus kejahatan ditutup secara rapat oleh para pelaku, maka pelaku menyimpan dan terus menikmati uang hasil korupsi tanpa pernah berniat mengembalikan;
5. Ketika menerima / diberikan dana ‘tidak jelas’, penyidik telah mencium sinyalir terjadinya Tipikor, pelaku masih duduk diam tenang, seakan tidak pernah ada hal yang keliru pernah terjadi;
6. Ketika menerima / diberikan dana ‘tidak jelas’, penyidik mulai menjadikan status pelaku sebagai saksi atau bahkan sebagai tersidik, pelaku masih memungkiri dan tidak kooperatif;
7. Ketika menerima / diberikan dana ‘tidak jelas’, bahkan hingga terdakwa di majukan ke muka persidangan, pelaku masih memungkiri dan berkilah, sampai pada akhirnya pihak penyidik dan kejaksaan bekerja keras membongkar modus dan kebohongan tersebut.
Ketika seorang pejabat pertama kali menerima dana ‘tidak jelas’, apa yang menjadi isi pikiran (dalam terminologi hukum disebut sebagai ‘niat batin’ / mens rea), dari si penerima dana?
Hendaknya kita arif dan bijaksana dalam menyikapi konstruksi hukum yang terjadi, dan secara jujur mengakui dengan rasio sehat manusia dewasa. Niat batin dapat terjadi dalam beberapa segmental momen, dan antara segmental moment satu dengan segmental moment lainnya dapat saling berbeda karena unsur pergerakan dan perubahan seiring perjalanan waktu. Dalam suatu kasus Tipikor, tempus delicti dapat menjadi bersifat sangat majemuk: dilihat pergerakannya dari momen ke momen.
Dalam skenario kasus pertama diatas, jelas bahwa mens rea pelaku sejak awal menerima dan seketika itu juga melaporkan kepada pihak berwajib, sebagai suatu bentuk itikad baik guna membela dan mempertahankan hak-hak publik. Tiada kesalahan apapun yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap dirinya. Ia berhak divonis bebas, kecuali ada unsur perbuatan (delik formil) yang memang telah merugikan negara seperti telah memenangkan peserta tender yang tidak layak.
Dalam skenario kasus kedua, antara momen pertama saat pertama kali menerima dana ‘tidak jelas’, sikap batin pelaku adalah buruk. Maka ketika dirinya kemudian melaporkan beberapa tahun kemudian, meski tiada indikasi modus yang tercium oleh aparat penegak hukum, maka sikap batin si pelaku yang melaporkan dan mengembalikan uang ‘tidak jelas’ demikian sebagai suatu alasan pemaaf karena dirinya menjadi quasi whistle blower karena secara langsung maupun tidak langsung dirinya telah menjadi ‘pintu gerbang’ atau titik mula sentrifugal bagi para penegak hukum untuk mulai bergerak menyidik.
Sementara itu dalam skenario kasus ketiga, adapun sikap batin pelaku saat menerima dana ‘tidak jelas’ ialah buruk, dan ketika dirinya mulai teracam akan tersentuh hukum, dirinya baru merasa takut dan terdorong untuk mengembalikan, sebagai suatu petunjuk ‘tidak murninya itikad baik’ si pelaku, sehingga tidak masuk dalam kategori whistle blower.
Ingat, whistle blower selalulah merupakan momen krusial yang sifatnya sebagai pioneer, dimana ialah yang telah dengan berjiwa ksatria mendobrak kotak pandora yang ditutup rapat agar dapat terang-benderang sementara pelaku lainnya memilih untuk ‘bungkam’.
Kesempatan mana tidaklah datang untuk kedua-kalinya, dan mereka yang terlambat untuk melapor, kehilangan hak untuk menjadi whistle blower sebagaimana dalam skenario ketiga diatas. Dikembalikannya uang hasil kejahatan hanya sebatas menjadi unsur peringan vonis hukuman, bukan sebagai alasan pemaaf.
Mereka yang lalai untuk segera menampilkan diri, sejatinya menyiapkan luka infeksi yang menjelma borok bila tidak segera ditangani dan dibenahi. Bagai menyimpan dan menumpuk sampah selama berhari-hari, maka bau pastilah akan menyeruak keluar bila terdapat celah tembus meski hanya setitik.
Semua pelaku Tipikor, sejak semula berpikir modus mereka tidak akan terendus dan tidak akan terbongkar, sebagaimana dengan percaya dirinya Anas Urbaningrum melontarkan sesumbar: “Gantung saya di Monas bila saya terbukti korupsi !!!
Paradigmatik berpikir inilah yang disebut sebagai falsafah hukum. Hukum sejatinya tidak berbeda dengan ilmu filsafat, yakni ilmu tentang cara berpikir dan memandang sesuatu. Ketika kaedah normatif tertulis bertentangan dengan falsafah, maka dapatlah kita berkata, bahwa motif pembentuk peraturan perundang-undangan adalah diragukan memang berniat mendukung pemberantasan aksi korupsi.
Hakim yang korup, menghasilkan produk hukum putusan yang korup. Parlemen yang korup, menghasilkan produk hukum norma tertulis yang juga korup. Selama belum tercium bau busuknya, tentu saja mereka menyebut diri mereka hakim yang adil dan dipanggil sebagai hakim yang berwibawa, atau wakil rakyat yang pro rakyat dan dicintai rakyat.
Tapi toh, ketika dewa kematian mengunjungi dirinya, apakah dirinya masih bisa berbohong?
Kabar baiknya (atau entah kabar buruknya), dewa kematian tidak suka uang manusia sehingga tidak akan tertarik menerima suap. Jadi untuk apa semua harta kekayaan tersebut ? Bukankah itu, yang menjadi pertanyaan besarnya ?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.