LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya apa undang-undang ada melarang seorang pegawai untuk memiliki pekerjaan lain disaat bersamaan?
Brief Answer: Pihak Pengusaha hendaknya tidak bersikap mau menang sendiri. Banyak SHIETRA & PARTNERS jumpai, seorang Pekerja dibebani tugas dan tanggung jawab atas puluhan badan hukum yang tergabung dalam satu grub, namun hanya diberikan upah oleh satu perseroan. Apakah ini bukan praktik rangkap kerja yang justru dipaksakan oleh pihak Pengusaha?
Mindset klasik perlu diubah, pekerjaan dan bekerja bukan lagi pada faktor berapa jam seorang Pekerja / Buruh menghabiskan waktu di kantor / pabrik. Tapi pekerjaan berbasis kinerja. SHIETRA & PARTNERS merujuk pada kisah perjalanan karir seorang Albert Einstein muda, yang pernah bekerja pada kantor pendaftaran hak kekayaan intelektual, dimana dengan penemuan sistem arsip sang jenius, ia mampu mengefisiensikan fungsi pekerjaannya sehingga 200% lebih efektif dan lebih efesien. Artinya, ketika orang lain bekerja 8 jam sehati, ia cukup menghabiskan waktu 4 jam untuk bobot tugas pekerjaan yang sama.
Selama tidak mengganggu fungsi pekerjaan utama pada perusahaan pemberi kerja, maka apakah rangkap pekerjaan menjadi keliru? Disinilah kita perlu mengubah paradigma lama yang usang, demikian orthodoks dan ketinggalan zaman.
Banyak diantara pekerja yang memiliki berbagai fungsi pekerjaan, semisal pagi hingga siang hari menjadi pekerja kantoran, malam hari sebagai petugas minimarket, sebagai contoh. Apakah hal ini pun harus dilarang?
Kembali pada contoh kisah teladan sang Einstein muda, apakah keliru, bila sisa waktu yang mampu dihemat olehnya digunakan untuk hal produktif lain bagi dirinya sendiri? Ia bekerja secara ‘cerdas’, bukan bekerja sebatas ‘keras’. Maka ia layak untuk menggunakan waktunya secara cerdas, mengelola waktu untuk produktifitas diri, dan menggali potensi yang ada.
Secara falsafah hukum ketenagakerjaan, yang tidak boleh ialah rangkap pekerjaan pada perusahaan kompetitor. Selama seorang Pekerja / Buruh menunaikan tanggung jawab fungsi pekerjaannya dengan baik, tidak ada alasan untuk mem-PHK dirinya dengan alasan terjadi rangkap pekerjaan.
Jika pihak Pengusaha bersikap gentlement dan jujur serta fair, mengapa kemudian kerap terjadi dalam suatu jenis usaha Grup, seorang pekerja dirangkap tugaskan oleh pemilik grub usaha pada belasan bahkan puluhan badan hukum, namun hanya digaji / diupah oleh satu nama badan hukum—meski dirinya dipaksa bekerja untuk kepentingan puluhan badan hukum yang dimiliki sang owner dari Group Usaha? Penulis rasa, pertanyaan itulah yang paling tepat sebagai jawaban atas pertanyaan diatas.
PEMBAHASAN:
Salah satu ilustrasi rangkap pekerjaan yang ilegal, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa pemutusan hubungan kerja (PHK) register Nomor 615 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 23 Agustus 2016, perkara antara:
- PT. ENKA PARAHIYANGAN, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- SUWARNO, selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Penggugat adalah karyawan Tergugat sejak tahun 1997, dengan jabatan terakhir Penggugat adalah Kepala Unit M/E, sampai pada akhirnya hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat berakhir dengan alasan Penggugat mengajukan pengunduran diri.
Penggugat sudah mengabdi pada Tergugat selama 15 tahun 10 bulan sejak berdirinya perusahaan Tergugat. Alasan Penggugat mengajukan pengunduran diri, adalah karena adanya pengumuman tanggal 21 Juni 2013 yang diterbitkan oleh Tergugat, yang berbunyi:
“Karyawan yang mengajukan pengunduran diri dari perusahaan sebelum dikeluarkannya SK Pengesahan Peraturan Perusahaan periode Desember 2012 - Desember 2014 dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta, maka ketentuan mengikuti peraturan perusahaan yang sebelumnya.”
Berdasarkan ketentuan Peraturan Perusahaan Tergugat pada Pasal 62 ayat (2) huruf a disebutkan bahwa permohonan berhenti bekerja harus diajukan secara tertulis paling sedikit 1 (satu) bulan sebelumnya. Maka pada tanggal 24 Juni 2013, Penggugat mengajukan pengunduran diri yang telah disetujui oleh atasan langsung Penggugat selaku Kepala Bagian Teknik dan telah disetujui pula oleh Kepala Bagian Personalia pada tanggal 25 Juni 2013.
Tergugat mempercepat pengunduran diri Penggugat, dan pada tanggal 5 Juli 2013, Tergugat menerbitkan dokumen tanggal 5 Juli 2013 mengenai Perhitungan Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Uang Penggantian Hak a.n. Penggugat dengan total senilai Rp54.370.400,00.
Ternyata setelah Tergugat menyetujui nilai pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak a.n. Penggugat dengan nilai di atas, namun Tergugat tidak langsung membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak tersebut kepada Tergugat dengan alasan kondisi keuangan. Penggugat mengerti akan keadaan Tergugat tersebut. Namun sudah 3 (tiga) bulan berlalu, Tergugat masih belum membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang menjadi hak Penggugat.
Selanjutnya pada September 2013, Penggugat meminta klarifikasi keterlambatan pembayaran uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak a.n. Penggugat kepada bagian Personalia Tergugat, namun tiba-tiba Penggugat ditawari uang sebesar Rp15.000.000,00 tanpa ada penjelasan. Penggugat menolak tawaran uang tersebut.
Tanggal 4 Oktober 2013, Penggugat menerima surat dari Tergugat yang menyatakan bahwa Tergugat memberikan sanksi indisipliner kepada Penggugat karena menurut Tergugat, Penggugat telah melakukan pelanggaran tata tertib.
Pemberian sanksi indisipliner kepada Penggugat tersebut adalah tidak berdasar karena tanpa didahului dengan surat peringatan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Peraturan Perusahaan. Tergugat terkesan mencari-cari kesalahan Penggugat dengan memberikan sanksi setelah Penggugat mengajukan pengunduran diri.
Sudah hampir 2 tahun berlalu, Tergugat tidak juga merealisasikan dokumen tanggal 5 Juli 2013 mengenai Perhitungan Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dll a.n. Penggugat yang dikeluarkan sendiri oleh Tergugat. Maka pada tanggal 7 Mei 2015, Penggugat menghadap direktur Tergugat, untuk meminta hak Penggugat. Namun Tergugat menyuruh Penggugat untuk menemui Bagian Personalia, dan kemudian Kepala Bagian Personalia hanya bisa menawarkan uang senilai Rp15.000.000,00 kepada Penggugat.
Dikarenakan Tergugat tidak kunjung memenuhi hak-hak Penggugat, maka, Penggugat menempuh upaya mediasi ke hadapan Mediator Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Timur. Terhadapnya, Mediator menerbitkan Anjuran tertulis yang menyatakan agar Tergugat membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak kepada Penggugat secara tunai sesuai dengan Peraturan Perusahaan PT. Enka Parahyangan periode Desember 2012—Desember 2014. Meski demikian pihak Pengusaha menolak anjuran Mediator Disnaker.
Terhadap gugatan sang mantan Pekerja, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat menjatuhkan Putusan Nomor 267/ Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Jkt.Pst., tanggal 31 Maret 2016, dengan amar sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat sejak putusan ini diucapkan;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan uang THR Tahun 2013, yang seluruhnya berjumlah sebesar Rp61.146.860,00 (enam puluh satu juta seratus empat puluh enam ribu delapan ratus enam puluh rupiah);
4. Membebankan biaya perkara kepada Negara sebesar Rp506.000,00 (lima ratus enam ribu rupiah;
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa tindakan Penggugat melakukan double job pada perusahaan competitor Tergugat adalah ‘tidak patut’ dilakukan pada saat Penggugat masih aktif bekerja pada Tergugat.
Tergugat juga merujuk pada aturan hukum perihal ‘pengunduran diri dari pekerjaan atas permintaan sendiri’ yang diatur dalam Pasal 162 Ayat (1) dan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013, yang mengatur:
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atau kemauan sendiri memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Psal 156 ayat (4);
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”
Sehingga, menurut Terggugat, tidak semestinya Pengadilan Hubungan Industrial menggunakan aturan pembayaran berupa konpensasi uang pesangon 1 kali Pasal 156 Ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai Pasal 156 Ayat (3) dan uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan sesuai Pasal 156 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Dimana terhadap argumentasi-argumentasi pihak Pengusaha, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 25 April 2016 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa Termohon Kasasi/Pekerja telah melakukan pelanggaran karena melakukan rangkap pekerjaan (double job) yaitu bekerja pada perusahaan Pemohon Kasasi dan juga di perusahaan competitor;
- Bahwa mengenai surat pengunduran diri tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 162 Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, oleh karenanya patut dan adil Penggugat berhak atas kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja sebagaimana diatur dalam pasal 161 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata bahwa Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. ENKA PARAHIYANGAN tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. ENKA PARAHIYANGAN tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.