LEGAL OPINION
Question: Apa mungkin, sikap diamnya seorang pejabat dapat berisiko dipidana korupsi karena diamnya itu?
Brief Answer: Dalam konsep dasar hukum pidana, kesalahan memiliki dua jenis derajat, yakni kesalahan dengan bersikap sengaja melawan hukum, atau kesalahan yang terbit karena lalai/abai terhadap apa yang menjadi kewajiban hukumnya. Dalam konteks tindak pidana korupsi (Tipikor), sikap lalai/abai yang menimbulkan kerugian negara, sementara si pelaku yang mengabaikan ini memiliki tanggung jawab untuk memastikan tiada timbul potensi kerugian negara atau terhadap apa berada dibawah tanggung jawab dan fungsi pengawasannya, maka delik kesalahan telah terpenuhi.
Sementara itu secara falsafah, terdapat setidaknya dua kriteria sikap lalai/abai atau absennya suatu tindakan yang diwajibkan oleh hukum (culpa). Pertama, sikap abai karena ‘tidak tahu’—dimana hal ini tetap keliru karena dalam konteks jabatan profesi yang mengedepankan sikap profesional, maka yang berlaku ialah doktrin ‘ought to know’.
Derajat kedua, ialah sikap abai karena sengaja—alias sengaja untuk bersikap diam meski dirinya menyadari ia harus mengambil suatu tindakan konkret guna mencegah kerugian bagi negara; atau justru ia sengaja bersikap pasif demi terwujudnya rencana dan aksi korupsi. Sehingga, dalam konteks Tipikor, tidak ada yang benar-benar dapat dikatakan murni sebagai lalai sebagaimana delik umum.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut akan memberikan gambaran utuh, sebagaimana putusan sengketa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung register Nomor 197/Pid.Sus-TPK/2015/PN.Bdg. tanggal 24 Februari 2016, dimana terhadap dakwaan Jaksa Penuntut, selanjutnya Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Terdakwa dalam jabatannya sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kabuapten Garut serta sebagai Pengguna Anggaran serta pengguna Barang dalam Kegiatan ini, menimbulkan suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu yang timbul dari undang-undang sebagaimana tersebut diatas, maka apabila tidak melakukan apa yang diwajibkan oleh undang-undang dengan sendirinya merupakan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum (wederrechtelijk).
“Apabila tidak melakukan apa yang diwajibkan oleh undang-undang tersebut bertujuan untuk memperbesar kemungkinan timbulnya suatu akibat yang terlarang oleh undang-undang, maka akan menimbulkan suatu hubungan sebab akibat yang adaequat, yaitu membuat pelaku dapat dianggap telah menimbulkan akibat tersebut.
“Kewajiban untuk melakukan sesuatu, akan tetapi tidak melakukan apa yang diwajibkan dapat membuat sesuatu tindakan dianggap sebagai melawan hukum pidana. Tinggal merumuskan apakah tindakan dari pelaku sesuai dengan tindakan seperti yang dimaksud dalam rumusan delik.
“Akan tetapi kewajiban untuk melakukan suatu tindakan tersebut tidak selalu timbul dari undang-undang, melainkan juga dapat timbul dari suatu jabatan atau pekerjaan. Sehingga disebut sebagai melawan hukum dari tindak pidana omision (pengabaian atau pembiaran kewajiban hukum). Tindak pidana omision (pembiaran) tersebut ada yang tertulis sebagai unsur pasal, akan tetapi ada yang tidak tertulis dalam kejahatan dalam jabatan. Jika tertulis maka wajib dibuktikan sebagai terpenuhinya unsur pasal. (PAF. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hlm.382-383);
“Menimbang, bahwa tanggungjawab pidana ini disebut juga sebagai ajaran kausalitas yang berlaku pada tindak pidana pasif murni (eigenlijke ommissie delicten) atau tindak pidana formil, yang tidak tergantung pada akibat yang ditimbulkan dari suatu tindak pidana, misalnya dengan cara membiarkan tidak melaksanakan
kewajiban dalam jabatan atau pekerjaannya. Tindak pidana pasif murni atau tindak pidana formil didasarkan pada kewajiban hukum yang dimiliki seseorang yang pada waktu dan keadaan tertentu diwajibkan oleh hukum harus berbuat, akan tetapi tidak berbuat yang menimbulkan akibat, maka hubungan sebab akibat itu adalah terletak pada dimilikinya kewajiban hukum tersebut. Tidak dapat dianggap menyebabkan suatu akibat, apabila tidak mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat (als de dader de rechtspicht heft om te doen), contoh dalam putusan Hof Amsterdam (23-10-1883).
“Lain halnya dengan tindak pidana pasif yang tidak murni (oneigenlijke omissie delicten atau comisionis per ommisionem commisa), berupa tindak pidana pasif yang terjadi pada tindak pidana materiil. (Adami Chazawi, Bagian 2 Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 227-231);
“Menimbang, bahwa perbuatan pidana omissie berarti mengabaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu, dengan membiarkan terjadinya sesuatu perbuatan yang dilarang oleh hukum yang wajib dilindunginya, seusai dengan maksud dan tujuan diberikannya kewajiban hukum. Sehingga Terdakwa mengetahui akan kewajiban hukumnya, akan tetapi tidak mengerjakannya atau mengabaikannya karena menghendaki secara tidak langsung akibat hukumnya (witens en willens). Sebaliknya berbeda dengan commissie delict, yaitu tindak pidana yang berupa melakukan suatu perbuatan (commissie) yang memenuhi unsur pasal (positif) yang hampir ada pada semua tindak pidana (Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Ketiga, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 40);
“Menimbang, bahwa pertanggungjawaban tersebut juga dikenal dalam bentuk lain dengan vicarious liability, yaitu suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatan. Dengan demikian vicarious liability, mengandung pengertian walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana, tapi masih tetap dapat dipertanggungjawabkan, karena terjadinya kesalahan yang dilakukan orang lain bawahannya terjadi dalam ruang lingkup pengendalian dan pengawasan, yang dapat dicegah atau dihindari oleh atasan karena hukum memberikan kekuasaan untuk melakukan pengendalian dan pengawasan tersebut kepada atasan. Sehingga pertanggungjawaban pidananya bersifat tidak langsung (non strict liabillity) (Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2013, hlm. 113-114);
“Menimbang, bahwa dalam Kegiatan Pengadaan Buku Pengayaan, Referensi dan Panduan Pendidik Tahun Anggaran 2010, Terdakwa tidak hanya melakukan perbuatan pidana omissie, akan tetapi juga commissie delict, yaitu tindak pidana yang berupa melakukan suatu perbuatan (commissie) yang memenuhi unsur pasal (positif) yang hampir ada pada semua tindak pidana, dengan menetapkan penyedia barang/jasa yang tidak memenuhi ketentutan undang-undang, sebagaimana fakta-fakta hukum tersebut diatas. Sebagai perbuatan yang dilakukan Terdakwa yang bertujuan untuk memperbesar kemungkinan timbulnya suatu akibat yang terlarang oleh undang-undang, yaitu menguntungkan atau memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi, yang merugikan negara. Tujuan tersebut dikehendaki oleh Terdakwa secara langsung maupun tidak langsung, yang dapat dinilai oleh orang lain dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan Terdakwa tersebut’
“Menimbang, bahwa dalam hal terjadi permintaan dari atasan Terdakwa, maka dalam hubungan antara atasan dan bawahan hukum pidana mengenal perintah jabatan sebagaimana diatur dalam pasal 51 ayat (1) KUHP yaitu menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang (sah). Serta sebagaimana diatur dalam pasal 51 ayat (2) KUHP, yaitu menjalankan perintah yang tidak sah dengan itikad baik.
“Oleh karena itu berkaitan dengan perintah jabatan yang sah dalam praktek bawahan dapat mengambil bersikap : Terhadap perintah jabatan yang sah : Siap. Laksanakan. Akan tetapi dalam hal perintah jabatan tidak sah, diamkan dan tidak dilaksanakan sebagai itikad baik, disampaikan dengan nalar yang baik serta dengan cara yang baik, dengan membuat timbang saran yang berisi keberatannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2009 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Daerah pasal 1 angka 45 jo. pasal 15 huruf q jo pasal 32 huruf c : Telaahan staf adalah naskah dinas dari bawahan kepada atasan antara lain berisi analisis pertimbangan, pendapat dan saran-saran secara sistematis;
“Menimbang, bahwa menurut Satochid Kartanegara : dikategorikan sebagai suatu perintah jabatan (ambtlijk bevel) yang sah apabila pelaksanaan perintah itu harus seimbang, patut, dan tidak boleh melampui batas-batas kepatutan pemerintah. Ukuran hal tersebut harus ditinjau dari undang-undang. Saat ini menjadi suatu yang wajar jika setiap pegawai harus mengetahui bahkan wajib memahami tugas dan kewajibannya. Organisasi telah disusun, kewenangan telah diatur, dan struktur organisasi telah dibuat. Jika pegawai atau bawahan ragu-ragu, sebaiknya berpegangan pada semboyan : “Perintah dilaksanakan, aba-aba yang keliru atau salah didiamkan” (Leaden, Marpaung : 2005).
“Artinya apabila atasan mengeluarkan kebijakan berupa perintah jabatan kepada bawahannya, apabila perintah tersebut dinilai keliru atau salah dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku sehingga berpotensi menghasilkan hal yang buruk apabila dikerjakan, baik bagi pelaksana kebijakan ataupun bagi objek kebijakan tersebut. Maka seorang bawahan berhak untuk tidak melaksanakannya atau menolak.
“J.M van Bemmelen berpendapat, antara lain : ‘Baik terhadap perintah jabatan maupun terhadap peraturan perundang-undangan itu, seorang bawahan itu harus bersikap kritis. Akan tetapi sikap kritis tersebut harus lebih banyak ia tujukan kepada perintah jabatannya yang dianggap tidak sah, dari pada kritis kepada peraturan perundang-undangannya, sehingga peraturan perundangan ditafsirkan secara salah atau mencari-cari kelemahan atau kekosongan peraturan perundang-undangan yang sudah jelas dan terang sebagai alasan pembenar atau alasan pemaaf dalam membenarkan atau memaafkan perbuatannya.’
“Sikap kritis dari seorang bawahan atas kebijakan yang keluar oleh atasannya dapat dilakukan apabila keputusan yang dikeluarkan terindikasi menyimpang dari mekanisme yang berlaku, dan berakibat buruk pada pelaksanaannya. Seorang bawahan tidak dilarang untuk mengeluarkan sikap tersebut karena dilindungi oleh hukum. Hazewingkel-Suringa, berpendapat tentang perintah jabatan (ambtlijk bevel) menyatakan : “Ketaatan yang membabi-buta itu tidak meniadakan : dapat dipersalahkannya suatu kesalahan”. Jadi merujuk pada beberapa teori perintah jabatan di atas, selain perintah jabatan (ambtlijk bevel) itu harus memiliki payung hukum atau berdasarkan undang-undang dalam pelaksanaannya.
“Seorang bawahan pun harus bersikap kritis terhadap perintah tersebut. Apakah sudah sesuai dengan tupoksinya. Apakah layak jika dikerjakan dan tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun, terlebih bagi negara. Karena apabila hal tersebut tidak diindahkan oleh bawahan yang menerima perintah jabatan (ambtlijk bevel), apabila terdapat persoalan hukum terutama pidana, tidak akan menghilangkan pertanggungjawaban pidana karena tidak sesuai dengan apa yang yang dimaksud dari pasal 51 ayat (1) KUHP;
“Menimbang, bahwa dengan demikian, sesuai ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP, unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dalam pasal ini, telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa dengan demikian kesalahan adalah unsur subyektif yang melekat pada bathin Terdakwa, yang menentukan arah dari perbuatan Terdakwa. Sesuai azas hukum, perbuatan jahat dimulai dari pikiran yang jahat. Unsur batin tersebut berupa pengetahuan Terdakwa tentang perbuatannya dilarang oleh hukum.
“M E N G A D I L I
1. Menyatakan Terdakwa Drs. KOMAR M.,M.MPd, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan primer;
2. Membebaskan Terdakwa dari dakwaan primer tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa Drs. KOMAR M., M.MPd, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsider;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun serta denda sejumlah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.