LEGAL OPINION
Question: Sertifikat tanah saya dibatalkan oleh pengadilan, karena digugat oleh pihak lain dengan alasan adanya sengketa harta gono-gini. Padahal tanah saya beli dari penjual berupa tanah inbreng yang dimiliki suatu PT, jadi tak ada kaitan dengan harta gono-gini. Sertifikat itu kini sudah gugur statusnya di BPN.
Nah, pertanyaannya, kebetulan yang dibatalkan oleh pengadilan hanyalah sertifikat tanahnya saja, kan AJB (akta jual-beli) tetap sah berlaku karena tak turut dibatalkan pengadilan. Artinya, saya selaku pembeli dapat dong, kembali mengajukan sertifikat baru atas dasar AJB itu? Toh, yang dibatalkan hanya sertifikat lama, dan AJB masih sah sehingga dapat kembali minta diterbitkan sertifikat baru.
Brief Answer: Bila benar konstruksi hukum yang ada adalah demikian, maka pada dasarnya masih dimungkinkan mengajukan permohonan pendaftaran / peralihan hak atas tanah dengan diterbitkan sertifikat hak atas tanah baru, karena bagaimana pun alas hak peralihan berdasarkan Akta Jual-Beli masih valid dan sahih. Selama masih eksis alas hak yang sah, maka dapat ditindaklanjuti dengan penerbitan sertifikat hak atas tanah, dan wajib diproses oleh Kantor Pertanahan berdasarkan permohonan pihak pembeli hak atas tanah sepanjang asas ‘terang dan tunai’ terpenuhi.
Masalah akan timbul, karena biasanya dalam sengketa hak atas tanah, pihak lawan akan mengajukan pula ‘sita jaminan’ hak atas tanah. Dalam berita acara sita jaminan dari penetapan Ketua Pengadilan Negeri, sebenarnya yang disita ialah nomor sertifikat hak atas tanah, sehingga sejatinya hanya melekat pada sertifikat—bukan melekat pada persil atau bidang tanah.
Ketika sertifikat tanah dihapus, dicoret, dibatalkan, atau dilepaskan haknya kembali berstatus sebagai ‘tanah yang dikuasai negara’, maka sejatinya semua beban yang melekat diatasnya menjadi ‘bersih’—karena pada prinsipnya segala beban sita melekat pada sertifikat hak atas tanah, bukan melekat pada persil bidang tanah.
Maka dari itu adalah putusan pengadilan yang rancu, bila pada satu sisi menyatakan batal sertifikat hak atas tanah, namun disisi lain menyatakan dalam keadaan di-sita jaminan-kan sertifikat tanah yang dibatalkan olehnya. Apa yang telah dibatalkan tidak mungkin dapat disita—karena sama artinya menyita sesuatu yang tidak lagi ada keberadaannya.
Karena sertifikat yang diletakkan sita jaminan telah hapus karena dihapus, dicoret, dibatalkan, atau dilepaskan haknya, maka yang ada hanyalah murni ‘tanah yang dikuasai oleh negara’ dan sifatnya ialah murni / bersih dari segala beban. Maka, disaat bersamaan sita jaminan tidak lagi memiliki pijakan eksistensi ketika sertifikat hak atas tanah tidak lagi eksis.
Oleh sebab yang kemudian ada ialah AJB dan ‘tanah yang dikuasai oleh negara’, maka berdasarkan alas hak AJB, terhadap ‘tanah yang dikuasai oleh negara’ dapat diajukan pendaftaran hak atas tanah oleh pihak pemohon, untuk diterbitkan sertifikat hak atas tanah baru, sekalipun sita jaminan belum dicabut, karena sita jaminan demikian telah hapus ketika sertifikat lama tidak lagi eksis.
Contoh sekaligus bukti paling sederhana yang tidak lagi dapat terbantahkan, ialah ketika menarik analogi ketentuan pertanahan terkait Hak Tanggungan, dimana Undang-Undang tentang Hak tanggungan mengatur dan menyebutkan secara eksplisit, ketika hak atas tanah hapus/gugur dan menjadi ‘tanah yang dikuasai oleh negara’, maka Hak Tanggungan turut hapus.
Hak tanggungan merupakan salah satu bentuk beban terhadap hak atas tanah, disamping sita jaminan. Perlu juga kita pahami, dalam konstruksi hukum agraria, terdapat perbedaan konstruksi antara ‘bidang tanah’ dengan ‘hak atas tanah’. Sita jaminan maupun hak tanggungan tidak membebani ‘bidang tanah’, namun membebani ‘hak atas tanah’ yang berwujud sertifikat hak atas tanah.
PEMBAHASAN:
Meski demikian salah kaprah masih berlangsung dalam praktik, sebagaimana SHIETRA & PARTNERS jumpai kasus serupa dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa pertanahan register Nomor 155 K/TUN/2016 tanggal 16 Mei 2016, perkara antara:
- TJITRO TEDJO, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- KEPALA KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN TANGERANG, selaku Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat memohon Tergugat menerbitkan kembali sertipikat baru dahulu atas tanah yang dahulu menjadi objek Sertipikat HGB Nomor 01509 yang tercatat atas nama Penggugat yang dinyatakan tidak berlaku lagi, namun tidak dikabulkan oleh Tergugat.
Awal mulanya Penggugat membeli sebidang tanah dari pecahan sertifikat Induk HGB Nomor 1284/Jatimulya (tercatat atas nama PT Angkasa Pancabersaudara) berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) tanggal 23 September 2003, kemudian dilakukan peralihan hak atas tanah menjadi SHGB Nomor 01509/Jatimulya sehingga menjadi tercatat atas nama Penggugat.
Setelah itu, muncul seseorang yang bernama Kho Sioe Moy mengajukan gugatan dengan melibatkan Penggugat (Tjitro Tedjo) ke hadapan Pengadilan Negeri Tangerang register perkara Nomor 241/Pdt.G/2003/PN/TNG, dengan alasan sebagai harta dalam perkawinan tersebut merupakan harta bersama antara Kho Sioe Moy dengan Suwandi Suyatna. Padahal proses jual beli tanah tidak ada sangkut paut dengan Kho Sioe Moy, di mana di dalam perkara tersebut Penggugat dijadikan sebagai pihak Tergugat I, sedangkan Tergugat (BPN) dijadikan sebagai turut Tergugat II.
Dalam proses persidangan gugatan Kho Sioe may, pihak Kantor Pertanahan memberikan keterangan;
a. Sertipikat HGB Nomor 01509/Jatimulya merupakan asal hak pemisahan dari sertipikat HGB Nomor 1284/Jatimulya yang diterbitkan tanggal 8 April 1998 tercatat atas nama PT. Angkasa Pancabersaudara;
b. Bahwa sertipikat HGB Nomor 01509/Jatimulya pada tanggal 01 Oktober 2003 telah dibalik nama keatas nama Tjitro Tedjo berdasarkan akta Jual beli tanggal 23 September 2003 Nomor 386/2003 yang dibuat oleh dan di hadapan Martianis, S.H., selaku PPAT wilayah Kabupaten Tangerang;
c. Bahwa proses penerbitan sertipikat HGB Nomor 01509/Jatimulya poin 3 dan 4 di atas secara prosedur dan secara yuridis formal sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 juncto Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997, dan jika benar Akta Jual Beli dimaksud yang dibuat oleh dan Turut Tergugat I tanpa ada persetujuan dari Penggugat maka dalam hal ini Turut Tergugat II tidak mempunyai wewenang untuk meneliti dan menguji kebenaran materi.
Adapun kemudian yang menjadi Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 241/Pdt.G/2003/PN.TNG, dinyatakan sertipikat HGB Nomor 01509/Desa Jatimulya adalah cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum, akan tetapi Pengadilan tidak pernah menyatakan bahwa akta jual-beli yang merupakan ‘alas hak’ adalah turut batal.
Mengingat fakta konstruksi hukum demikian, melekatnya hak Penggugat terhadap AJB, selanjutnya Tergugat memberikan saran agar Penggugat membatalkan sertipikat hak atas tanah tersebut, dan ketika status tanah telah bersih karena telah kembali pada keadaan ‘tanah negara’, Penggugat dikatakan dapat kembali mengajukan permohonan sertifikasi tanah.
Permasalahan utama timbul, ketika saat Penggugat mengajukan permohonan peningkatan status tanah Ex. HGB menjadi hak milik di atas tanah milik Penggugat yang masih dalam penguasaan fisik, ternyata Tergugat memberikan jawaban bahwa ada Berita Acara Sita Jaminan Nomor 241.BA/PEN.CB/Pdt.G/2003/PN.TNG, tanggal 04 Maret 2004, yang melekat dengan Putusan Nomor 241/Pdt.G/2003/PN.TNG tanggal 26 April 2004.
Sikap Tergugat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam mengambil suatu keputusan, di mana disatu sisi Tergugat membuat keputusan dalam bentuk Nota Dinas yang merekomendasikan agar Penggugat menghapus hak Penggugat dengan agar Penggugat dapat mengajukan permohonan hak baru. Namun pada saat Penggugat mengajukan pendaftaran hak, di sisi lain Tergugat memberikan jawaban berdasarkan hasil penelitian yuridis tidak dapat menindaklanjuti permohonan hak yang diajukan Penggugat.
Untuk itu Penggugat memohon agar Majelis Hakim memerintahkan Tergugat untuk melanjutkan proses menerbitkan setifikat hak milik atas nama Penggugat. Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Tata Usaha Negara Serang telah mengambil putusan, sebagaimana Putusan Nomor 09/G/2015/PTUN.SRG, tanggal 13 Juli 2015, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI
DALAM POKOK SENGKETA:
“Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan kasasi tidak dapat dibenarkan, putusan Judex Facti sudah tepat dan benar serta tidak terdapat kesalahan dalam penerapan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa terhadap pokok sengketanya masih melekat adanya sita jaminan berdasarkan putusan pengadilan, sehingga permohonan penerbitan sertifikat oleh Penggugat perlu ditunda terlebih dahulu. Dengan demikian penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa telah sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juncto Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, lagi pula ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi: TJITRO TEDJO tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: TJITRO TEDJO Tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.