Alas Hak Artinya Dasar Keberadaan

LEGAL OPINION
Sebuah Studi “Jungkir-Balik” Logika Hukum
Question: Dalam teks ilmu hukum, dikenal istilah ‘Alas Hak’, maksudnya apa sebenarnya? Dosen saya diperguruan tinggi hukum sering menyebut ‘alas hak’ ‘alas hak’ ‘alas hak’, tapi tak pernah benar-benar mampu menjelaskan pada para mahasiswanya, apa itu ‘alas hak’. Bikin bingung aja. jangan-jangan dosen saya sendiri tidak ngerti.
Brief Answer: Yang dimaksud dengan “alas hak” dalam terminologi hukum, dapat diterjemahkan sebagai “dasar keberadaan”, dengan aturan main logika yang sangat sederhana: karena ada suatu dasar diterbitkannya maka terbitlah itu, sementara bila tanpa suatu dasar penerbitan maka tiada yang dapat diterbitkan.
Ibarat sebuah gedung/bangunan, tanpa pilar maka tiada atap. Pilar yang roboh mengakibatkan atap diatasnya turut runtuh. Pilar, dengan demikian, merupakan “dasar keberadaan” dari atap.
Pada contoh kasus sebagaimana diilustrasikan pada bagian pembahasan, sebetulnya ketika sebuah izin dasar dibatalkan, maka segala akibat serta perbuatan hukum yang bertopang pada izin dasar tersebut turut batal secara sendirinya.
Sekalipun hakim menyatakan dalam vonis putusan bahwa berbagai perbuatan hukum yang dilatari izin tidak valid demikian adalah tidak sah, sifat pernyataan hakim demikian hanyalah “deklaratif” belaka (bukan constitutief), karena sifatnya “batal demi hukum”, bukan batal berkat/sejak ucapan hakim.
Namun, guna menghindari pemahaman dangkal kalangan hakim pemutus, maka dalam litigasi, rumusan petitum (perihal permohonan dalam tuntutan suatu surat gugatan) perlu dirumuskan secara ‘strategis’, umpama bermain catur, berpikir jauh dan meng-cover lima atau enam langkah kedepan sebagai langkah antisipatif.
Ketika seorang warga hendak menggugat suatu perizinan agar dibatalkan, maka perlu pula dipertimbangkan bahwasannya bisa jadi izin tersebut sempat dilaksanakan sehingga telah terbit berbagai perbuatan hukum yang ditopang oleh dasar keberadaan izin tersebut.
Agar segala perbuatan hukum yang dilakukan setelah terbitnya izin dasar tersebut dapat dinyatakan turut batal, pihak penggugat dapat merumuskan dalam petitum, dengan bunyi sebagai berikut: “Menyatakan batal izin ... dan segala perbuatan hukum yang didasari keberadaannya atas izin ... tersebut.”—rumusan ini guna menghindari celah ‘ruang bermain’ hakim pemutus dalam menyalahgunakan penafsiran yang meluas ketika dimajukan dalam perkara lain.
PEMBAHASAN:
Kita patut bercermin pada pengalaman kurang baik dalam praktik litigasi, sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sengketa pemegang saham perseroan terbatas register Nomor 128/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Desember 2012, perkara antara:
1. HUNAWAN WIDJAJANTO, dalam jabatannya selaku Direktur Utama dan Pemegang Saham; dan 2. AGUSSUTANTO, dalam jabatannya selaku Komisaris dan Pemegang Saham, yang bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas Batutama Manikam Nusa, sebagai Penggugat; melawan
1. NYONYA WIWIEK TJOKROSAPUTRO; 2. NYONYA LUSIANA SUTANTO; 3. NYONYA ANNE PATRICIA SUTANTO; 4. NYONYA YENNY SUTANTO; 5. DODDY SUSANTO, selaku Para Tergugat.
Penggugat mengajukan permohonan izin pembentukan RUPS yang sebelumnya selalu gagal terbentuk karena tidak memenuhi kuorum minimum kepada pengadilan, yang selanjutkan Pengadilan Negeri menerbitkan penetapan izin kuorum lebih rendah untuk pemanggilan pemegang saham dalam rangka pembentukan RUPS.
Namun Para Tergugat kemudian mengirim Surat Kepada Mahkamah Agung RI minta Pembatalan terhadap Penetapan Pengadilan Negeri tersebut, dimana selanjutnya Mahkamah Agung RI mengeluarkan Penetapan yang menyatakan Penetapan Pengadilan Negeri tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya Para Tergugt mengajukan Permohonan kepada Kementerian Hukum dan HAM RI, meminta agar pihak otoritas membatalkan Surat Keputusan Menteri yang mengesahkan perubahan Anggaran Dasar Perseroan, dimana selanjutnya pihak otoritas menanggapi dengan membekukan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM-RI (perihal pengesahan Akta Perubahan Anggaran Dasar hasil resolusi RUPS yang izinnya ternyata dibatalkan) dan meminta agar dilaksanakan RUPS ulang.
Selanjutnya Para Tergugat mengirim surat kepada Penggugat perihal permintaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ulang. Dimana terhadap problema pelik korporasi demikian, Majelis Hakim membuat pertimbangan secara sempit ‘ter-cluster’ serta amar putusan yang menyerupai sebentuk ‘kecelakaan hukum’, sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Penetapan Mahkamah Agung RI No.12/MA-RI/TUADA/PERD/IV/2011 tanggal 27 April 2011 menyatakan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.088/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Bar tertanggal 6 Juni 2007 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dimana didalam Penetapan tersebut tidak membatalkan Akta No. 13 tanggal 15 Juli 2007 yang telah disetujui oleh Menteri Hukum dan HAM dalam Surat Keputusan No.AHU-64651,AH.01.02. tahun 2008 tanggal 17 September 2008 (Bukti P-20);
“Menimbang, bahwa oleh karena Penetapan Mahkamah agung RI tersebut tidak pernah membatalkan Akta sebagaimana diuraikan diatas, maka para Tergugat tidak mempunyai alasan untuk meminta Direktur AHU-RI pada Kementerian Hukum dan HAM RI membatalkan SK Menteri No.AHU-64651.AH.01.02. tahun 2008 tanggal 17 September 2008 dan juga para Tergugat tidak mempunyai kewenangan untuk meminta kepada Penggugat untuk meminta Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (ulang) PT. Batutama Manikam Nusa;
“Menimbang, bahwa terhadap keberatan dari para Tergugat tersebut Mahkamah Agung telah mengeluarkan Penetapan No.12/MA-RI/TUADA-PERD/IV/2011 (bukti P-20 dan T-12) yang menetapkan “Menyatakan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No.088/Pdt.P/2007/PN Jkt.Bar tanggal 06 Juni 2007, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”;
“Menimbang, bahwa setelah Majelis membaca dan meneliti Penetapan dari Mahkamah Agung RI No. 12/MA-RI/TUADA-PERD/IV/2011 tersebut tidak ada petitum yang menyatakan Pembatalan Akta No.13 tanggal 15 Juli 2007 yang telah disetujui oleh Menteri Hukum dan HAM dengan SK No.AHU-64651.AH.01.02 tahun 2008 tanggal 17 September 2008, maka Majelis berpendapat bahwa Akta No.13 tanggal 15 Juli 2007 dengan keluarnya Penetapan Mahkamah Agung RI tersebut masih tetap berlaku oleh karena tidak pernah dibatalkan dan Majelis berpendapat bahwa untuk membatalkan Akta tersebut haruslah terlebih dahulu melalui gugatan ke Pengadilan dan baru dinyatakan batal setelah adanya putusan dari Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
“Hal ini sejalan dengan pendapat Ahli Eliyana Tanuja, SH di persidangan yang menyatakan bahwa Pengertian Penetapan yang tidak mempunyai Kekuatan Hukum mengikat tidak sama artinya dengan pembatalan (dibatalkan), Pembatalan berarti secara hukum suatu peristiwa dianggap tidak pernah ada; sedangkan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berarti suatu peristiwa hukum tetap berlaku sampai pada waktu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat, apabila setelah pada waktu Penetapan dikeluarkan telah dibuat akta otentik, maka pada saat penetapan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka tidak secara otomatis akta-akta tersebut menjadi batal, dimana Mahkamah Agung RI sendiri berpendapat bahwa terhadap akta-akta tersebut pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan Pembatalan ke Pengadilan, bahwa pembatalan suatu akta harus dilakukan melalui suatu putusan yang telah berkuatan hukum tetap, hal ini juga sejalan dengan pendirian Mahkamah Agung RI berupa Surat dari Ketua Muda Mahkamah Agung RI tanggal 3 Maret 2006 No.01/TUADA.Pdt/III/2006 (bukti P-27), yang pada pokoknya mengatakan bahwa walaupun Penetapan Pengadilan Negeri dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi tidak serta merta membawa akibat hukum (rechtgevolg) yang timbul dari peristiwa/fakta hukum (rechtfeit) atau perbuatan hukum (rechtszandeling) yang terjadi sebelum Penetapan Pengadilan Negeri dibatalkan, karena Penetapan Pengadilan Tinggi tidak menentukan akibat hukum dari Penetapan Pengadilan Negeri, hal ini berarti bahwa pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan adanya akibat penetapan Pengadilan Negeri dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang bersangkutan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas dimana terhadap akta No.13 tanggal 16 Juli 2007 dan akta No.42 tanggal 15 Agustus 2008 yang telah disetujui oleh Menteri Hukum dan HAM RI melalui SK No. AHU.64651.AH.01.02 tahun 2008 tanggal 17 September 2008, belum pernah dibatalkan oleh suatu Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap maka Majelis berpendapat bahwa perbuatan para Tergugat yang melakukan panggilan terhadap Komisaris dan Pemegang Saham PT. Batutama Manikam Nusa untuk menghadiri RUPS-LB yang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 29 Februari 2012 dan menerbitkan akta No.03 tanggal 13 Maret 2012 (bukti T-30), menurut pendapat Majelis telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana diuraikan diatas dimana adanya Perbuatan dari para Tergugat yang telah melakukan RUPSLB yang merupakan Perbuatan yang bertentangan dengan hukum oleh karena pada waktu melakukan RUPS-LB tersebut akta No.13 tanggal 16 juli 2007 dan akta No.42 tanggal 15 Agustus 2008 masih tetap sah dan berlaku oleh karena belum pernah dibatalkan oleh suatu putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian bagi Penggugat oleh karena tidak dapat menjalankan usahanya dengan baik yaitu berupa kerugian materiil berupa nilai investasi yang telah dilaksanakan oleh Penggugat sebesar 67,5 % X Rp.2.000.000.000.- = Rp.1.350.000.000.-;
“Menimbang, oleh karena terhadap akta-akta tersebut tidak pernah ada pembatalan dari Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat maka dapat dikabulkan (untuk dinyatakan tetap sah);
M E N G A D I L I :
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
2. Menyatakan para Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
3. Menyatakan (tetap) sah akta-akta : ... .”
Adapun yang menjadi pandangan SHIETRA & PARTNERS terhadap putusan pengadilan diatas, ialah kurangnya kebijaksanaan ketika memutus, atau dikarenakan tumpulnya logika hukum. Kementerian Hukum dan HAM selaku lembaga pengesah perubahan Anggaran Dasar suatu badan hukum, mendasarkan keputusannya pada ‘asumsi’ bahwa penetapan pengadilan yang mengizinkan pembentukan RUPS merupakan ‘dasar keberadaan’ akta perubahan Anggaran Dasar. Ketika izin dasar kemudian diamputasi validitasnya, maka ‘asumsi’ diatas tidak lagi relevan—oleh karenanya kita wajib membuat asumsi baru: bila saja otoritas mengetahui izin dasar telah dinyatakan tidak sah, maka keputusan pengesahan Anggaran Dasar takkan pernah ada.
Antara ‘tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat’ dengan ‘dibatalkan’ dalam pandangan penulis adalah sama saja, karena tidak ada ‘pembatalan’ yang tidak mengakibatkan tiadanya ‘kekuatan hukum mengikat’. Sesuatu yang tidak sah / tidak valid, bila merupakan dasar keberadaan sesuatu aksi hukum setelahnya, maka bagaikan merobohkan lantai satu sebuah gedung bertingkat dan disaat bersamaan mengharapkan gedung lantai dua tetap berdiri.
Apa yang disampaikan oleh keterangan pihak ahli sebagaimana dikutip oleh Majelis Hakim perkara diatas, adalah memang benar demikian adanya secara teori doktrinal hukum. Namun hingga saat ini penulis masih belum mampu mencerna logika dibalik embarkasi yang membedakan antara “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” dengan “dibatalkan”—karena setiap hal yang dibatalkan, berarti tidak sah. Dan yang tidak sah, pastilah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kecuali, bila kita bicara dalam ranah teori hukum kontrak perdata, dimana terdapat perbedaan antara “pemutusan” (termination) dengan “pembatalan” (annulment / cancellation).
Dalam konsep hukum kontrak perdata, kebatalan mengakibatkan segala kondisi kembali seperti keadaan semula seperti ketika sebelum terjadinya perikatan perdata antara para pihak (dikembalikan seperti keadaan sedia kala). Sementara pemutusan ialah terputusnya perikatan tanpa perlu mewajibkan para pihak mengembalikan kondisi seperti sedia kala.
Namun, pernahkan kita pertanyakan secara logika sederhana: sekalipun telah ‘terputus’ atau ‘tidak berkekuatan hukum mengikat’, namun bila suatu perbuatan hukum masih saja tetap dilakukan berdasarkan “alas hak’ yang telah dinyatakan ‘tidak berkekuatan hukum mengikat’ tersebut, bukankah artinya sama saja semua aksi hukum tersebut harus dibatalkan? Artinya, ‘kebatalan’ berdiri diatas ‘terputusnya’ / ‘tiadanya lagi kekuatan hukum’.
Dan apakah sesuatu dapat tetap dinyatakan sahih bila berdiri diatas landasan rapuh yang ternyata kemudian dinyatakan tidak sah? Pertanyaannya sederhana: jika berbagai akta tersebut memang tetap patut dinyatakan sah, maka apa yang menjadi ‘dasar keberadaan’ dari mereka? Apakah mungkin bergantung diatas ‘ruang yang kosong’?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.