Tiada Vicarious Liability dalam Tindak Pidana Jabatan

LEGAL OPINION
Ketika Kepatuhan Secara Membuta Berujung Pidana
Question: Di perdata kan, ada yang namanya tanggung jawab majikan. Nah, jika dalam pidana (konteks) jabatan, apa prinsip tanggung jawab atasan ini juga berlaku?
Brief Answer: Tampaknya untuk konteks tindak pidana jabatan, yang berlaku ialah tindak pidana pribadi / individu per individu yang masing-masing berdiri sendiri sebagai subjek hukum pidana yang memiliki kesadaran / menginsafi atas setiap perilaku dan tanggung jawab pribadinya selaku pengemban hukum.
Sehingga, setiap unsur komponen staf, pejabat dalam jabatan atas maupun jabatan papan bawah, diharapkan agar setiap karyawan dan pejabat untuk memerhatikan segala bentuk sikap kepatutan perintah atasan, tidak tunduk pada sifat ‘patuh membuta’.
Dalam konteks pidana yang dilakukan pihak swasta sekalipun, adalah serupa, sebagaimana tercermin dalam kasus suap yang dilakukan oleh pengacara beken OC Kaligis, anak buah yang hanya mengikuti perintah atasannya inipun terjerat UU Tipikor karena patuh ‘secara buta’ pada perintah atasan yang secara akal sehat tidaklah patut (menyuap hakim atas perkara klien yang ditanganinya), dan tanggung jawab pidana tetap saja melekat baik terhadap pihak pemberi kerja dan pekerja yang melakukan tindak pidana.
Asas prudential menjadi kunci utama bekerja secara terlindungi oleh hukum, semisal bila pihak pengusaha mengintimidasi pekerjanya agar terlibat—menjadi alat dalam tindakan kotor, maka pekerja dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial agar hubungan kerja dinyatakan putus disertai kompensasi pesangon.
PEMBAHASAN:
Contoh kasus berikut dapat memberi ilustrasi konkret, yakni putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 2723 K/Pid/2006 tanggal 6 Februari 2007, dimana dalam Dakwaan Primair Jaksa Penuntut, di Kantor DPKD (Dinas Pengelola Kekayaan Daerah) Kabupaten Sukoharjo, Terdakwa telah secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, yaitu keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo sebesar kurang lebih Rp.242.485.000,-.
Pada November 2003 DPKD Kabupaten Sukoharjo mengajukan Rencana Kegiatan Pembelian Tanah Untuk Perluasan dan Penataan Pasar Glondongan dengan anggaran sebesar Rp.500.000.000,- yang akan dipergunakan untuk pembelian tanah sebesar Rp.476.300.000,- sedangkan untuk penataan (pengurugan dan pembuatan talud) sebesar Rp.23.700.000,-.
Pada saat DPKD mengajukan RASKER (Rencana Anggaran Satuan Kerja) untuk pengadaan tanah tersebut, tidak disebutkan siapa yang akan menjual, berapa harga per meter persegi-nya serta berapa luasnya, akan tetapi secara Iisan dijelaskan oleh Terdakwa yang mewakili dari DPKD, mengatakan bahwa harga per m2 hasiI kesepakatan awal dengan pemegang hak adalah Rp.550.000,- dan luas tanah 866 m2, sehingga total untuk pembelian tanah Rp.476.300.000,- dan sudah termasuk untuk biaya pensertifikatannya.
Berdasarkan adanya Rencana Kegiatan Pengadaan Tanah Untuk Perluasan dan Penataan Pasar Glondongan tersebut, selanjutnya saksi Rosyid Subur, B.A. menemui Terdakwa selaku Penanggung Jawab Kegiatan Penataan dan Perluasan Pasar Glodongan, selanjutnya Terdakwa mengahadap kepada Kepala DPKD, Drs. D.T. Siswadi untuk menawarkan bahwa keIuarga saksi Rosyid Subur, B.A. berniat untuk menjual tanah warisan yang terletak di depan Pasar Glondongan.
Tanah yang ditawarkan oleh saksi Rosyid Subur, B.A. tersebut adalah tanah dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 2801/Desa Mranggen dengan luas tanah kurang lebih 866 m2. Setelah saksi Rosyid Subur, B.A. menawarkan tanah tersebut kepada DPKD melalui Terdakwa, selanjutnya saksi Rosyid Subur, B.A. melengkapi persyaratan-persyaratan yang diminta oleh pihak DPKD agar bisa dilaksanakan transaksi pelepasan hak antara pihak DPKD dengan para pemegang hak atas tanah.
Selanjutnya Terdakwa selaku penanggung jawab kegiatan melakukan negosiasi dengan saksi Rosyid Subur. Pada tanggal 12 Januari 2004 saksi Rosyid Subur, B.A. datang ke Kantor DPKD Kabupaten Sukoharjo dan diberitahu oleh pihak DPKD (Terdakwa) bahwa Pemerintah Kabupaten Sukoharjo bersedia membayar tanahnya sebesar Rp.300.000.000. Pemberitahuan mana diperkuat dengan Berita Acara yang dibuat oleh Kepala DPKD tanggal 12 Januari 2004.
Pada saat pembahasan mengenai harga tanah tanggal 12 Januari 2004 tersebut, sebenarnya Terdakwa dan saksi Rosyid Subur, B.A. telah sepakat mengenai harga tanah yaitu sebesar Rp.300.000.000,-; namun karena dikemudian hari ada laporan bahwa dalam proses pembebasan tanah tersebut telah terjadi penyimpangan, karena harga tanah seluruhnya sebesar Rp.476.300.000,- sehingga laporan tersebut ditindakIanjuti oleh aparat penegak hukum dari Kejaksaan Negeri Sukoharjo.
Agar terkesan bahwa tidak ada penyimpangan dalam proses jual-beli atau pelepasan hak atas tanah tersebut, kemudian antara Terdakwa Drs. Ishtadi dengan saksi Rosyid Subur, B.A. bekerjasama untuk merekayasa agar seolah-olah proses jual-beli atau pelepasan hak atas tanah tersebut sudah benar, yaitu dengan cara: Untuk menyesuaikan dengan DASKER (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) DPKD Kabupaten Sukoharjo, dalam pembelian tanah guna perluasan Pasar Glondongan adalah sebesar Rp.476.300.000,- maka Terdakwa membuat surat yang seolah-olah dibuat sendiri oleh saksi Rosyid Subur, B.A., yaitu surat tertanggaI 15 Januari 2004 yang isinya menjawab penawaran dari DPKD.
Dalam surat tersebut seolah-olah saksi Rosyid Subur, B.A. telah menjawab bahwa setelah mengadakan musyawarah dengan keluarga, disepakati bahwa harga yang diminta oleh pihak keluarga adalah Rp.550.000,- per meter persegi, sehingga luas tanah seluruhnya seluas 866 m2 dikalikan Rp.550.000,- menjadi sebesar Rp.476.300.000,-. Harga ini baik harga per meter persegi maupun harga totalnya tepat persis sama dengan DASKER yang telah ditetapkan, sebelum surat saksi Rosyid Subur, B.A. tersebut dibuat (DASKER ditetapkan dan ditandatangani tanggal 2 Januari 2004).
Surat tertanggal 15 Januari 2004 tersebut ditandatangani oleh saksi Rosyid Subur, B.A. akan tetapi yang membuat adalah Terdakwa. Hal ini terbukti berdasarkan pengakuan saksi Rosyid Subur, B.A. dan kesalahan Terdakwa dalam penulisan nama saksi Rosyid Subur yang seharusnya bergelar Sarjana Muda (B.A.), sehingga berbunyi Rosyid Subur, B.A., tetapi oleh Terdakwa Drs. Ishtadi ditulis gelar Sarjana (S-1) sehingga berbunyi Drs. Rosyid Subur.
Pembuatan surat dan tandatangannya juga dilakukan setelah selesai kegiatan pembelian/pengadaan tanah, yaitu sekitar bulan Januari 2005 (ketika saksi Rosyid Subur, B.A. akan dimintai keterangan di Kejaksaan Negeri Sukoharjo), namun tanggalnya dibuat seolah-olah sebelum kesepakatan harga tanah telah dicapai antara pihak DPKD dengan wakil keluarga pemilik tanah.
Adapun tujuan dibuatnya surat tersebut adalah untuk melegimitasi, bahwa harga tanah yang disepakati seolah-olah benar sebesar Rp.476.300.000,-. Padahal sebenarnya Terdakwa hanya membayar kepada saksi Rosyid Subur, B.A. hanya sebesar Rp.300.000.000,-. Adapun saksi Rosyid Subur, B.A. bersedia menandatangani surat tersebut karena saksi Rosyid Subur, B.A. juga sudah mendapatkan bagian sebesar Rp.90.000.000,-. Hal ini dikarenakan saksi Rosyid Subur menyampaikan kepada para ahli waris pemilik tanah bahwa harga tanah yang disanggupi oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo (DPKD) hanya sebesar Rp.210.000.000,-.
Untuk memberi kesan bahwa proses negosiasi antara pihak DPKD dengan pemegang hak sudah berjalan sesuai dengan prosedur, lalu Terdakwa membuat surat undangan Nomor tertanggal 17 Januari 2004 yang ditujukan kepada saksi Rosyid Subur,B.A. untuk membahas surat penawaran dari saksi Rosyid Subur, B.A. yang akan dilaksanakan tanggal 20 Januari 2004. Surat undangan juga ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU), Kabag Pemerintahan, Kabag Perlengkapan, Kabag Hukum, Camat Polokarto, Lurah Desa Mranggen, dan undangan mana sebenarnya tidak pernah disampaikan kepada alamat sesuai surat yang dibuat.
 Dalam rapat tanggal 20 Januari 2004 di Kantor DPKD (yang sebenarnya rapatnya adalah fiktif) digambarkan hanya dihadiri pihak DPKD (Terdakwa) dan saksi Rosyid Subur, B.A. saja. Rapat fiktif tersebut seolah-olah menyepakati bahwa pihak DPKD setuju membeli tanah Hak Milik 2801 atas nama Drs. H. Harun Al Rosyid dengan harga sebesar Rp.550.000,- per meter persegi, sehingga jumlah seluruhnya yaitu luas tanah 866 m2 dikalikan Rp.550.000,- sama dengan jumlah sebesar Rp.476.300.000,-.
Dalam pelaksanaan pembayaran tanah, Terdakwa menyerahkan uang pembayaran tanah kepada saksi Rosyid Subur, B.A. sebesar Rp.300.000.000,- dan sisanya sebesar Rp.176.300.000,- digunakan untuk membayar pajak sebesar Rp.23.815.000,- dan sisanya sebesar Rp.152.485.000,- digunakan sendiri oleh Terdakwa tanpa ada pertanggungjawabannya.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 17 jo. Pasal 18 ayat (1) sub a, b jo. Pasal 18 ayat (2), ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara dalam Dakwaan Subsidair, Terdakwa dinilai telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 jo. Pasal 17 jo. Pasal 18 ayat (1) sub a, b jo. Pasal 18 ayat (2), ayat (3) Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo No. 16/Pid.B/2006/PN.Skh tanggal 22 Mei 2006 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa Drs. Ishtadi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA”;
2. Memidana Terdakwa Drs. Ishtadi tersebut di atas oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun, dan denda sebesar Rp.200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah), subsidair 2 (dua) bulan kurungan;
3. Menghukum Terdakwa Drs. Ishtadi untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.140.385.000,- (Seratus empat puluh juta tiga ratus delapan puluh lima ribu rupiah), jika Terdakwa Drs. Ishtadi tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara selama 6 (enam) bulan;
4. Menetapkan bahwa lamanya Terdakwa ditahan akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
5. Menetapkan agar Terdakwa tetap ditahan.”
Selanjutnya dalam tingkat banding, yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 157/Pid/2006/PT.Smg tanggal 27 Juli 2006, yakni dengan amar selengkapnya sebagai berikut :
1. Menerima permintaan banding dari KuasaTerdakwa;
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sukoharjo tanggal 22 Mei 2006 Nomor 16/Pid.B/2006/PN.Skh, yang dimintakan banding tersebut;
3. Menetapkan agar Terdakwa tetap dalam tahanan.”
Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi, dengan mendalilkan beberapa poin argumentasi, yakni:
1. Bila suatu dakwaan telah dikaitkan dengan masalah kewenangan ataupun jabatan dan kedudukan, maka hal tersebut tidak terlepas dari aspek hukum administrasi negara, dimana pada dasarnya berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan) yang harus dibedakan dan dipisahkan dari prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu atau pribadi (liability pribadi);
2. Tindakan sebagaimana yang dilakukan oleh Terdakwa secara hukum administrasi negara menindaklanjuti disposisi Kepala Dinas Pengelola Kekayaan Daerah Pemkab Sukoharjo, sehingga tidaklah keliru dan tidak dapat dituntut secara hukum, karena tanggung jawab sepenuhnya ada pada atasan Terdakwa selaku pembuat disposisi;
3. Terdakwa dalam hal ini hanya menjalankan perintah atasan oleh karena itu pertanggungjawaban yang berlaku adalah tanggung jawab jabatan, dimana diterapkan asas "vicarious liability”, yang intinya atasanlah yang harus bertanggungjawab.
Dimana terhadap argumentasi-argumentasi tersebut, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan ini tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti telah tepat dalam pertimbangan dan putusannya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa : Drs. ISHTADI tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.