Syarat Minimum Kriteria Pemberli Tanah yang Beritikad Baik

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya apa syarat paling minimum agar membeli tanah dapat tenang tanpa ada perasaan khawatir ada terjadi apa-apa di kemudian hari dengan tanah yang dibeli?
Brief Answer: Banyak SHIETRA & PARTNERS jumpai dalam praktik, jual-beli tanah terjadi bukan di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT), juga dalam bentuk akta dibawah tangan. Praktik demikian sangat tinggi menghadapi sengketa di kemudian hari.
Terbitnya sertifikat hak atas tanah sebagai tanda pendaftaran hak atas tanah yang memiliki kekuatan pembuktian di mata hukum sebagai akta otentik kepemilikan hak atas tanah, merupakan bentuk jaminan dan perlindungan hukum oleh negara.
Oleh karenanya dalam hubungan hukum jual-beli hak atas tanah, bila pihak penjual belum memiliki sertifikat hak atas tanah, seyogianya pihak penjual terlebih dahulu mengajukan sertifikasi hak atas tanah (semisal dengan disepakati bahwa biaya pengajuan sertifikat dibiayai oleh calon pembeli bila penjual merasa keberatan mengeluarkan biaya), sebelum kemudian pihak pembeli bersama-sama pihak penjual menandatangani Akta Jual Beli di hadapan PPAT dengan objek jual-beli ialah sertifikat hak atas tanah tersebut—inilah syarat paling minimum agar pihak pembeli dapat dinyatakan sebagai pembeli yang beritikad baik.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut masih cukup relevan untuk SHIETRA & PARTNERS angkat, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 2318 K/Pdt/2009 tanggal 22 September 2010, perkara antara:
- AWALLUDDIN, Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- M. SENTOSA S. MELIALA,CN., MM., Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Pada tahun 2005, Tergugat menimbun tanah objek sengketa yang diklaim sebagai hak milik Penggugat, dan membuat pondasi untuk membangun ruko (rumah toko) tanpa persetujuan dan izin dari Penggugat.
Penggugat mengajukan somasi terhadap Tergugat agar menghentikan kegia tannya membangun ruko diatas tanah terperkara milik Penggugat te tapi dijawab oleh Tergugat tanah terperkara adalah haknya dan tidak menghentikan pembangunan ruko.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Medan kemudian mengambil putusan, yaitu putusan No. 434/Pdt.G/2005/PN.Mdn. tanggal 18 Juli 2007 yang amarnya sebagai berikut:
DALAM POKOK PERKARA :
“Menyatakan menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dengan putusan No. 121/PDT/2008/PT.MDN tanggal 28 Oktober 2008.
Penggugat selanjutnya mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex facti tidak salah menerapkan hukum, karena Tergugat membeli obyek sengketa yang sudah bersertifikat yang dilakukan di muka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), karena itu Tergugat adalah pembeli yang beritikad baik. Yurisprudensi tetap menyatakan pembeli terakhir yang beritikad baik harus dilindungi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagipula ternyata bahwa putusan Judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan / atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : AWALLUDDIN tersebut harus ditolak;
 “M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : AWALLUDDIN tersebut.”
Fenomena sosial dalam ilustrasi diatas menjadi contoh unik yang kerap tampil di tengah masyarakat: sudah salah, justru menggugat, dan bahkan bersikap ‘ngotot’. Sama seperti fenomena para terdakwa di muka persidangan menampilkan sosok berpenampilan bersih, suci, agamais, dan sopan meski perbuatan yang telah dilakukannya terbukti secara sah dan meyakinkan dinyatakan Majelis Hakim sebagai perbuatan pidana yang keji.
Pelaku mungkin meminta ampun dan maaf, memohon pada hakim agar diberi keringanan hukuman, atau bahkan menyewa pengacara mahal agar dapat bebas dari hukuman—namun pelaku tidak pernah menanyakan hal yang sama kepada korbannya. Masyarakat kita adalah masyarakat yang sakit, hanya saja sukar disembuhkan karena masyarakat kita itu sendiri merasa tidak ada yang keliru dengan perilaku mereka di keseharian. Inilah permasalahan utama dalam hukum: menghadapi irasionalitas warga masyarakatnya sendiri.
Lebih jauh, bahkan aparatur penegak hukum itu sendiri yang perlu ditindak dan dihukum. Sama mengherankannya mengapa Kementerian Tenaga Kerja yang faktanya penulis temukan ialah hanya pro terhadap pihak pengusaha, tidak diberikan nama Kementerian Pengusaha, dengan maksud untuk mengecoh dan mengelabui pihak Pekerja seakan-akan instansi tersebut berpihak kepada nasib Buruh.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.