KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Satu Orang Saksi Bukanlah Alat Bukti

LEGAL OPINION
Question: Apa mungkin kita dapat dikriminalisasi oleh satu orang yang mengaku sebagai saksi dan menuduh kita melakukan kejahatan?
Brief Answer: Untuk dapat masuk sampai tahap penuntutan perkara pidana, minimum terdapat dua alat bukti. Untuk sampai pada tahap putusan pengadilan, pada prinsipnya juga berlaku norma yang serupa: minimum dua alat bukti sebagai dasar bagi hakim untuk merasa yakin bahwa terdakwa adalah pelaku tindak pidana.
Dalam stelsel pembuktian hukum pidana, alat bukti terdiri dari: saksi, keterangan ahli, petunjuk, surat, keterangan terdakwa (pengakuan dalam persidangan maupun dalam BAP dihadapan Penyidik Kepolisian), serta alat bukti data digital/elektronik (UU ITE).
Secara teoretis, dua saksi sekalipun tetap termasuk dalam kategori “satu” jenis alat bukti, yakni alat bukti “Keterangan Saksi”. Namun, dalam praktik peradilan, guna rasionalisasi, adanya dua saksi yang memberi keterangan saling kongruen, melahirkan alat bukti petunjuk bagi hakim bahwa sejatinya Terdakwa memang benar melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut.
PEMBAHASAN:
Selain keenam jenis alat bukti sebagaimana tersebut diatas, sejatinya masih terdapat satu jenis alat bukti yang disebut “circumtial evidences” dan “aksioma”, yang mana diatur secara implisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk selengkapnya perhatikan kutipan norma KUHAP berikut:
Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” [Note SHIETRA & PARTNERS: Adanya dua alat bukti sekalipun, tidak otomatis menjadi vonis pidana bagi terdakwa. Dipersyaratkan adanya keyakinan pada hakim bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah pelakunya berdasarkan dua alat bukti yang dihadapkan oleh Jaksa di persidangan.]
Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa. [Note SHIETRA & PARTNERS: Sifat keterangan terdakwa adalah ‘bersyarat’, dalam arti berlaku sepanjang keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan tidak dicabut terdakwa di persidangan—meski tidak semudah itu hakim mengizinkan terdakwa mencabut pengakuannya dalam BAP.]
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. [Note SHIETRA & PARTNERS: inilah yang SHIETRA & PARTNERS sebut sebagai kriteria alat bukti implisit, yakni “circumstantial evidences” dan “aksioma”. Sehingga secara normatif-teoretis, sejatinya satu alat bukti berdasarkan Pasal 184 Ayat (1) diatas ditambah satu alat bukti implisit Ayat (2) ini, sudah cukup menjadi dasar penjatuhan hukuman pidana—namun sangat amat jarang diterapkan hakim, bila tidak dapat disebut “tidak pernah diakui sebagai alat bukti tersendiri dalam praktik peradilan”.]
Penjelasan Resmi KUHAP memberi keterangan sebagai berikut:
Pasal 183
“Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang.”
Pasal 184
“Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.” [Note SHIETRA & PARTNERS: Lingkup ketentuan tersebut sangat limitatif, semisal hanya dapat diberlakukan pada persidangan tilang kendaraan bermotor.]
Pasal 185
Ayat (1) : “Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.”
Perihal satu saksi yang memberi keterangan memberatkan kedudukan Terdakwa tanpa didasari keterangan saksi lainnya, dapat diilustrasikan dalam putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana tingkat kasasi register Nomor tanggal 08 Juli 2014, dimana terdakwa didakwakan telah dengan sengaja mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.
Adapun kemudian yang menjadi putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung No. 841/PID.B/2013/PN.BB tanggal 26 November 2013 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa ... tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum;
2. Membebaskan Para Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut;
3. Mengembalikan kedudukan Para Terdakwa dalam harkat serta martabatnya;
4. Memerintahkan agar supaya Para Terdakwa dikeluarkan dari tahanan.”
Jaksa Penuntut mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri dengan alasan bahwa Terdakwa di persidangan telah mencabut semua keterangan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diberikannya di hadapan penyidik dengan alasan dipaksa dan ditekan untuk mengakui perbuatannya. Sementara Terdakwa ketika diserahkan ke Kejaksaan Terdakwa tetap mengakui semua perbuatan yang telah dilakukan tanpa ada tekanan dari manapun, akan tetapi di persidangan lagi-lagi saksi dan Para Terdakwa mencabut keterangannya dengan alasan yang sama.
Pencabutan di persidangan terhadap keterangan di BAP oleh Terdakwa sangat tidak beralasan, karena Terdakwa sebelumnya telah menandatangani BAP di penyidikan di mana hal tersebut secara tanggung jawab hukum Terdakwa telah mengakui kebenaran dari keterangannya tersebut sehingga dapat merupakan acuan bagi pemeriksaan di persidangan, karena kalau semua pencabutan keterangan saksi dalam BAP penyidikan dipertimbangkan secara mentah-mentah tanpa alasan yang dapat diterima dan tanpa mempertimbangkan keterangan para saksi lainnya maka akan menjadi suatu preseden buruk bagi peradilan (semua saksi dan Tersangka dapat mencabut keterangannya begitu saja di persidangan tanpa alasan yang patut).
Keterangan Para Terdakwa di persidangan yang mencabut BAP dianggap tidak berdasar. Dari penyangkalan/pencabutan keterangan Para Terdakwa dalam BAP tersebut yang tidak beralasan / tidak logis dapat merupakan petunjuk atas kesalahannya dan menunjukkan bahwa Para Terdakwa adalah benar pelaku tindak pidana serta mempunyai nilai sebagai bukti petunjuk.
Pengakuan-pengakuan Terdakwa di luar sidang yang kemudian di sidang dicabut tanpa alasan yang berdasar merupakan petunjuk tentang kesalahan Terdakwa (Vide putusan MA Reg.No. 229 K/Kr/1959 tanggal 23 Februari 1960). Dalam putusan Mahkamah Agung Reg. No. 117 K/Kr/1965 tanggal 20 September 1967 yang menyatakan bahwa pengakuan pengakuan tertuduh di muka Polisi dan Jaksa ditinjau dalam hubungannya satu sama lain dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk menetapkan kesalahan tertuduh.
Setelah berlakunya KUHAP Mahkamah Agung menyatakan Pencabutan keterangan Terdakwa di persidangan tidak dapat diterima karena pencabutan keterangan tersebut tidak beralasan (Vide Putusan MA Reg No. 414/K/Pid/1984 tanggal 11 Desember 1984). Senada dengan itu, Putusan MA No. 1043 K/Pid/1987 tanggal 19 Agustus 1987 menyatakan bahwa pencabutan keterangan Terdakwa yang tidak beralasan merupakan bukti petunjuk atas kesalahannya.
Dimana terhadap alasan-alasan kasasi yang diajukan Jaksa, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum dalam mengadili Para Terdakwa, dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
- Bahwa dalam perkara a quo tidak terdapat 1 (satu) saksipun yang mengetahui bahwa Para Terdakwa telah melakukan pencurian 1 (satu) unit sepeda motor;
- Bahwa perkara in casu adalah hasil pengembangan dari pemeriksaan atas nama Rahmat tertanggal 28 Juni 2013 yang telah terbukti melakukan pencurian celana dalam di rumah Lilis dan setelah diperiksa mengaku telah melakukan pencurian 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Jupiter MX bersama-sama dengan Para Terdakwa, namun tidak didukung oleh kesaksian / petunjuk-petunjuk lainnya, sehingga hal tersebut keterangannya bukanlah saksi yang sesuai dengan ketentuannya, yaitu minimal harus ada 2 (dua) orang saksi, karena 1 (satu) saksi bukanlah sebagai satu alat bukti (unus testis nullus testis);
 “M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI BALE BANDUNG tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.