Salah Kaprah SAKIT sebagai Alasan Penghapus Kesalahan Pidana

ARTIKEL HUKUM
Baik berbagai artikel para akademisi hukum maupun praktik peradilan, patut kita prihatin karena telah secara melenceng dari falsafah dasar ‘alasan pemaaf’ pemidanaan. Bila kita kembali pada konsep dasar asas hukum pidana, ‘alasan pemaaf’ maupun ‘alasan pembenar’ baru dapat diakui validitasnya ketika terdapat alasan pembenar ataupun pemaaf tersebut saat suatu tindak pidana terjadi (tempus delicti)—bukan pada saat si pelaku dihadapkan ke persidangan.
Sebagai contoh, seorang algojo mendapat surat perintah dari pengadilan untuk mengeksekusi terpidana mati, maka terdapat alasan pembenar baginya untuk mencabut nyawa tereksekusi. Namun sang eksekutor yang telah terlebih dahulu mengeksekusi, tak dapat dibenarkan bila kemudian baru meminta surat perintah eksekusi, a license to kill.
Berbagai telaah teori hukum maupun praktik peradilan hingga saat ini ternyata mengalami kemunduran dalam segi konsep-konsep sederhana yang paling mendasar. Kini, berbagai Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ‘latah’ terhadap fenomena dilepaskannya Mantan Presiden RI Soeharto dari jerat peradilan pidana, dengan alasan sang pemimpin Orde Baru yang dijungkalkan oleh aksi revolusi rakyat, mengalami penurunan fungsi kognitif.
Alhasil, berbagai tersangka dan terdakwa Tipikor kini menggunakan tren serupa: mendadak jatuh sakit, mendadak pikun, mendadak lupa, mendadak pingsan, dan mendadak demensia, mendadak lumpuh, mendadak suci. Sistem peradilan yang sehat tidak justru ‘didikte’ oleh para terdakwa.
Mindset perlu dibalik: terdakwa itu sendiri yang akan merugi bila mangkir dari jadwal sidang yang telah ditentukan, karena peradilan Tipikor selaku peradilan atas kejahatan luar biasa korupsi (extra-ordinary crime) seperti halnya kejahatan genocide, etnis cleansing, ataupun kejahatan kemanusiaan lainnya, dapat diadili secara in absentia—hadir atau tidak hadirnya terdakwa tidak menghalangi proses pencarian fakta dan penegakan hukum; karena keadilan bukan hanya monopoli hak terdakwa ataupun tersangka, namun juga adalah hak korban dan seluruh rakyat Indonesia.
Pengadilan bukan hanya mengadili dan menghukum terdakwa/terpidana. Pengadilan bukan hanya lembaga penghukum, namun lembaga pemberi dan penegak keadilan. Karena fungsinya sebagai lembaga penegak keadilan, maka ada dua pihak yang menjadi pemangku kepentingan: pihak pelaku dan pihak korban.
Dalam kedudukan kepentingan korban, pengadilan tetap harus digelar dan dibuka serta hukuman harus tetap dijatuhkan, hadir atau tidaknya pelaku, bagi para korban untuk diberikan keadilan. Jadi mengapa konsepnya bahwa pengadilan hanya untuk memberi keadilan bagi tersangka? Bagaimana dengan harkat dan kepentingan hukum para korban? Disinilah bentuk konkret ketidakadilan fungsi peradilan yang masih diadopsi oleh sistem peradilan Indonesia.
Mengapa pengadilan sejak awal diposisikan untuk berpihak pada pelaku? Bila para korban telah hadir dengan cara melaporkan tindak pidana, bersedia dan siap hadir sebagai saksi korban di persidangan, maka hakim menolak mengetuk palu keadilan hanya karena terdakwa menolak untuk hadir dengan alasan ‘mendadak jatuh sakit’?
Para korban telah lama menunggu agar dirinya mendapat keadilan. Namun mendapati dirinya bagai mengemis agar pelaku bersikap jantan untuk mau berbesar hati agar diadili. Mengapa pengadilan kemudian memposisikan diri korban sebagai ‘pengemis’?
Dalam stelsel pembuktian pidana, terdapat setidaknya 6 (enam) jenis alat bukti, yakni alat bukti petunjuk, alat bukti surat, alat bukti keterangan ahli, alat bukti saksi, alat bukti data digital/elektronik, dan sementara itu yang paling rendah derajatnya ialah alat bukti keterangan terdakwa.
Terdakwa dapat diasumsikan akan membantah dakwaan Jaksa, sehingga hakim cukup menopang analisa tuntutan jaksa berdasarkan kelima alat bukti lainnya ditambah circumstantial circumstances. Dengan kata lain, ada atau tidaknya keterangan terdakwa adalah bukan prasyarat mutlak. In absentia-nya Terdakwa dapat diartikan sebagai suatu bantahan dari Terdakwa, dan kerugian bagi pihak Terdakwa itu sendiri.
Kembali pada falsafah alasan pemaaf dalam pemidanaan, pikun / gila / tidak waras / sakit / keadaan mendesak / perintah atasan / gelap mata atau alasan apapun lainnya yang dapat dibuat secara ‘kreatif sekaligus tidak sehat’, hanya dapat diakui validitasnya bila keadaan mental tersebut menguasai jiwa terdakwa saat melakukan tindak pidana kejahatan.
Menjadi pikun / gila / rabiesnya Terdakwa saat Terdakwa baru dijadikan pesakitan di ‘meja hijau’, tidak menghapus kesalahan pidana dan tidak menjadi alasan pemaaf atas perbuatan yang telah dilakukannya. Peradilan bukan merupakan fasilitas pencuci noda dosa. Sejarah tidak bisa dihapus hanya karena dipungkiri keberadaannya.
Seseorang yang bertobat, tetap akan menanggung buah karma buruk yang telah dibuatnya saat dirinya masih dikuasai berbagai perilaku buruk. Tobatnya seseorang ialah tidak lain untuk menolong dirinya sendiri agar tidak semakin banyak rentetan buah karma buruk yang akan dipetiknya dikemudian hari.
Seorang pelaku korupsi yang menghabiskan kekayaan hasil dari ‘jirih payah’ aksi korupsi dengan mengkonsumsi dan menyantap makanan serta minuman yang tidak sehat bahkan merusak sehingga jatuh sakit dan mengalami infeksi selaput otak, sebagai contoh, adalah urusan sang pelaku itu sendiri. Tidak bisa menjadi alasan penghapus kesalahan saat dirinya kemudian ditangkap dan dihadapkan ke persidangan untuk diadili.
Sama seperti seorang pelaku kejahatan, tak pernah bertanya pada korbannya, apakah korbannya itu siap dieksekusi oleh dirinya.
Baiklah, kita anggap saja penulis yang keliru dan praktik peradilan saat ini telah benar sesuai dengan teori-teori canggih yang penulis tidak pahami makna dan kegunaan teori-teori yang kian tinggi teknikalisasinya tersebut.
Tapi bila kita mau berbicara jujur, peribahasa tua mengajarkan kita bahkan sejak bangku Sekolah Dasar: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian—bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Adalah lebih kekanakan dari kanak-kanak bila pelaku kejahatan tidak mau bersikap dewasa dan sadar hingga menjelang masa senja hidupnya. Semua orang tahu, harta tidak dibawa selepas kematian.
Lebih baik dirinya menebus kesalahan selagi masih ada kesempatan, mengikuti teladan Nazaruddin yang kemudian memilih menjadi justice collaborator, alih-alih berlagak pikun, dirinya justru membantu para penegak hukum dengan memberikan dan membuka seluruh keran informasi yang membuat Anas Urbaningrum terbukti hanya sesumbar ketika berkata lantang: “Saya akan gantung diri di Monas bila terbukti korupsi !
Penulis yakin, dalam kehidupan berikutnya, Nazaruddin tidaklah akan masuk ke dalam neraka. Ia sudah menebus kesalahannya di muka Bumi, dengan tulus dan sepenuh hati membantu penegak hukum pada akhirnya, dan bahkan kita patut mendoakannya agar beliau masuk surga nantinya. Berbagai upaya Nazaruddin sungguh menyentuh hati para penegak hukum, dimana KPK pastinya sangat mengapresiasi dirinya sebagai man of the year kala itu.
Terhadap Anas Urbaningrum, berhubung dirinya telah ingkar janji untuk gantung diri di Monas, biarlah ia membayar rangkaian kebohongannya di alam baka. Di dua alam dirinya akan mati membusuk di sel—kecuali dirinya mampu membeli ruang VIP di lapas Indonesia yang ‘serba ada’.
Para pebisnis kotor beramai-ramai menggunakan fasilitas tax amnesty. Sebenarnya peradilan menyerupai tax amnesty, yakni: kau masuk penjara dan bayar uang pengganti serta denda, maka dosamu bisa dipangkas / di-‘korting’ dikehidupan ini juga.
Sayangnya, fenomena antusiasme warga atas fasilitas tax amnesty ini tidak berbanding lurus dengan para pelaku kejahatan, terutama pelaku Tipikor, yang diharapkan agar berbondong-bondong menampilkan dirinya sebagai terdakwa agar mendapat hukuman.
Hidup senang bebas dari pidana sembari menikmati uang kotor hasil perbuatan korup, kebal hukum, imun, dikelilingi para suporter pendukung penjilat bayaran, terpilih kembali sebagai pejabat oleh rakyat lewat Pilkada (yang anehnya dipilih kembali oleh para warga pemilih yang demokratis), memiliki banyak isteri dan tidur dengan perut dalam keadaan kenyang, sementara dikehidupan selanjutnya akan membayar semua kelakuan busuk dirinya sendiri.
Sialnya bagi para pelaku korupsi, penyesalan selalu datang terlambat. Semua orang tahu itu, tapi semua orang hampir-hampir melanggar kesadarannya itu sendiri. Tiada yang lebih ironis daripada ketamakan seorang makhluk mamalia bernama ‘homo sapiens’.
Terkadang, orang dewasa adalah lebih dungu dari seorang anak kelas Sekolah Dasar yang lugu. Seperti halnya diri kita sewaktu masih di Taman Kanak-Kanak, akan menghabiskan dahulu makanan kita yang ada, sementara coklat dan gula-gula akan disantap di penghujung acara makan siang.
Orang dewasa justru sebaliknya: merusak kesehatan dikala muda, menderita penyakit dikala tua dengan menjadi benalu bagi anggaran negara untuk membiayai kesehatan warga dari pajak yang ditanggung oleh rakyat yang susah payah membangun pola hidup sehat.
Entah, kita ini layak disebut pintar atau bodoh. Atau, pintar sekaligus bodoh. Pintar-pintar tapi bodoh. Pin-pin-bo. Alam batin pelaku kebusukan memang membingungkan. Bahkan seorang manusia dapat dengan teganya menumbalkan hidup anaknya sendiri demi kepentingan pribadi.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.