ARTIKEL HUKUM
Isu yang relevan untuk kita angkat, bukanlah lagi preseden / yurisprudensi hakim pada putusan sebelumnya mengikat hakim lain ketika dihadapkan pada perkara serupa atau tidaknya, akan tetapi apakah karakter kasus dalam putusan sebelumnya mendekati / menyerupai atau tidak, dengan keunikan kasus serta fakta-fakta hukum yang melingkupi suatu perkara yang saat ini dihadapkan pada sang hakim yang akan memeriksa dan menjatuhkan putusan.
Adalah sebentuk parameter judicial corruption ketika terdapat disparitas atas sebuah putusan hakim dalam putusan berikutnya terhadap perkara serupa yang pernah diputuskan sebelumnya yang telah ditetapkan sebagai preseden / yurisprudensi. Ketika yurisprudensi dikukuhkan, maka menjadi mudah bagi pengawas lembaga peradilan untuk menentukan apakah seorang hakim bertindak korup atau tidak, yakni dengan melihat produk hukum sang hakim, yakni berupa putusan-putusannya, apakah menyimpang dari apa yang sudah digariskan dalam yurisprudensi—alias patuh atau tidaknya pada asas preseden.
Sebagai ilustrasi, seorang pencuri ayam divonis kurungan 3 bulan, namun pencuri ayam yang lain dihukum penjara 1 tahun, maka disparitas putusan ini melahirkan biaya sosial yang amat dilematis—disamping ‘dramatis’. Untuk itulah negara-negara dengan common law legal system seperti Amerika Serikat dan Inggris, menjadikan prinsip preseden sebagai supremasi hukum tertinggi yang mengikat, dimana kepastian hukum tidak menjadikan warga negaranya seorang yang ber-ju-di dengan ketidakpastian.
Bila para litigator negara-negara dengan sistem hukum common law dapat memberi jaminan kasus yang mereka tangani ‘pasti akan menang’, maka hal tersebut bukanlah hisapan jempol belaka, karena kepastian hukum yang terbentuk dengan sangat rapih, secara tidak langsung melahirkan derajat prediktabilitas yang sangat akurat.
Sebaliknya, di Indonesia, yang tidak mengakui daya mengikat suatu putusan hakim sebelumnya (yurisprudensi), maka preseden bukanlah panglima utama dalam hukum, namun undang-undang yang hanya merupakan teks bahasa yang tidak mengenal konteks, tidak pernah utuh, dan tidak pernah sempurna—bahasa tidak akan pernah sempurna, terlebih bahasa hukum. Terlebih kaum pengacara yang pandai ‘bersilat lidah’ kian memperkeruh ketidaksempurnaan tersebut.
Karena sistem hukum Indonesia membolehkan hakim untuk menyimpangi preseden dengan alasan independensi hakim, alhasil, antara putusan hakim yang satu dengan hakim yang lain, terlebih antara putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung, saling tidak konsisten, tumpang-tindih, serta bertolak-belakang. Bahkan—dan sangat ironis—antara putusan para Hakim Agung saling bertolak-belakang meski pada zaman kepemimpinan yang sama.
Alhasil, seorang pencari keadilan seperti ‘ber-ju-di’ dengan ketidakpastian ini, dimana ‘selera’ hakim menjadi ujung tombak taruhannya. Bagai makanan pedas, asin, manis, atau tawar, tiada lidah yang kompak dalam hal ini. Ketika semua nasib keadilan digantungkan pada selera lidah sang hakim, disitulah letak ketidakadilan bermuara.
Lebih menyedihkan lagi, terdapat adagium hukum yang berbunyi: soal selera, tak dapat dipersengketakan. Siapa pula yang menciptakan adagium ‘keparat’ ini ?
Mengapa jumlah gugatan, upaya hukum banding, hingga kasasi, bahkan peninjauan kembali demikian masif di Indonesia? Tidak lain ialah karena sifat ketidakpastian hukum itu sendiri yang mengundang para spekulan untuk beradu nasib dengan mengajukan gugatan dan upaya hukum, dan baru akan berhenti ketika papan rollete menunjuk dirinya sebagai juara.
Dalam negara dengan sistem hukum seperti Indonesia, derajat prediktabilitas hukum menjadi nomor terakhir untuk diberi sentuhan perhatian. Sebaliknya, dalam negara dengan sistem hukum Anglo Saxon ala common law, prediktabilitas ialah “harga mati” !!!
Dalam bangku pendidikan tinggi hukum di Indonesia, berbagai ‘pakar’ mengemukakan definisi hukum demikian kental nuansa ‘tetek-bengek’ teknikalisasi dan penjabarannya yang penuh omong-kosong. Ada yang memberikan segudang definisi mengenai apa yang disebut dengan hukum, bahkan ada yang menyebutkan bahwa hukum tak dapat didefinisikan.
Tahukah Anda, apa definisi hukum dalam teks-teks ilmu hukum negara dengan sistem hukum common law ?
Jawabannya akan membuat Anda terkejut, yakni mereka memberinya definisi cukup dengan tiga patah kata: Hukum adalah ‘ilmu tentang prediksi’.
Sebetulnya para pembaca publikasi hukum-hukum.com yang diasuh oleh penulis, bila mendalami dengan saksama metode penulisan dalam setiap publikasi artikel yang diangkat, tidak lain menggunakan pendekatan metode pembelajaran kurikulum negara-negara dengan sistem keluarga hukum common law. Begitupula ketika penulis memberi sesi konsultasi kepada klien, pendekatan serupa menjadi ciri khas penulis yang dapat dikatakan sebagai satu-satunya konsultan hukum yang menggunakan pendekatan ilmu prediksi.
Dengan demikian, pembaca setia publikasi hukum-hukum.com sejatinya lebih ‘siap pakai’ dalam dunia kerja hukum ketimbang seorang fresh graduate sarjana hukum pendidikan tinggi fakultas hukum paling bergengsi di Indonesia.
Penulis yang juga pernah mengenyam pengalaman pada bangku pendidikan tinggi hukum di Indonesia, mendapatkan rasa jemu yang luar biasa, dimana hanya sekadar membaca dan menghafal undang-undang yang sejatinya dapat dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh masyarakat umum non sarjana hukum, disamping undang-undang tidak bercerita dalam konteks apakah ia dapat diterapkan, sehingga seringkali kesan dan pesan yang dapat diserap menjadi demikian tidak efektif bagi seorang pembelajar hukum.
Ketika penulis baru menyelesaikan studi hukum pada fakultas hukum di Indonesia, jangankan siap pakai, bahkan ibarat orang buta, masih harus meraba-raba hukum dalam praktik dan realita, bagaimana aturan pasal-pasal itu dapat diterapkan dan diimplementasi dalam kasus konkret, bagaimana cara menafsirkannya, bagaimana ia dapat diimplementasi, apakah aturan hukum tersebut mengandung motif merusak, celah hukum bahkan benturan norma yang dapat terjadi, serta apakah sebenarnya fungsi dan makna pengaturan-pengaturan yang melatarbelakanginya?
Faktanya, tiada satupun pertanyaan sederhana diatas mampu penulis jawab, meski lulus dengan predikat cum laude IPK 3,97 dari perguruan tinggi hukum bergengsi di pusat kota Jakarta.
Pepatah mengatakan, bahwa pengalaman adalah ilmu terbaik. Namun apakah kita harus mengalami sendiri terlebih dahulu praktik tabrak-menabrak ini untuk baru dapat memahami hukum?
Pepatah tandingan menyatakan, buat apa mengalami bila kita bisa belajar dari pengalaman orang lain? Itulah tepatnya yang dilakukan para sarjana hukum negara dengan sistem hukum common law. Para litigator di Indonesia, bahkan menjadikan kasus sengketa klien yang diwakilinya sendiri sebagai ajang eksperimen dan uji coba di ruang peradilan—inilah fakta yang mau tidak mau harus kita akui dan perlu untuk penulis kemukakan karena publik berhak untuk mengetahui dan menyadari di tangan siapakah mereka akan menaruh kepercayaan untuk mengadu nasib di peradilan.
Berbagai publikasi karya tulis penulis lewat publikasi hukum-hukum.com, disamping sebagai sarana profesi konsultasi penulis, ternyata mendapat apresiasi yang luar biasa dari berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang masyarakat di Indonesia, dan sebagaian besar ialah pengunjung tetap yang selalu kembali melirik publikasi hukum-hukum.com, dikarenakan sifat pemaparannya yang tidak dimiliki oleh pendekatan publikasi hukum lainnya di Indonesia, oleh sebab penulis menerapkan metode ilmiah menyerupai metode sistem keluarga hukum common law, sehingga tidak membosankan dan mudah dicerna serta dipahami karena sifatnya yang ‘ramah’ bagi memori jangka panjang—kisah yang memiliki alur konteks selalu melahirkan kesan yang mudah melekat pada alam bawah sadar tempat gudang memori jangka panjang bersemayam.
Bila di Indonesia para Sarjana Hukum merupakan para mahasiswa ‘buangan’ yang tidak berhasil diterima pada fakultas lain, maka berbeda bila di negara-negara Anglo Saxon yang berbasiskan common law. Karena sifatnya case law, maka case study menjadi prasyarat mutlak—itulah sebabnya, para sarjana hukum di negara-negara tersebut bukanlah para mahasiswa ‘kelas terbelakang’, karena kemampuan daya riset menjadi kunci utama sarjana hukum common law; dan itulah sebabnya juga di Amerika Serikat gelar sarjana hukum baru dapat Anda sandang, bila Anda telah mendapat gelar sarjana dari bidang disiplin ilmu lainnya. itulah juga sebabnya mereka menjadi demikian ‘elite’ dan penuh kebanggaan.
Siapa yang akan menyangka bahwa OC Kaligis, pengacara yang kondang penuh fenomenal nan termasyur, memiliki firma hukum dengan ratusan karyawan, ternyata membangun reputasi bukan dengan kemampuan riset dan daya seni argumentasi, namun: kekuatan uang.
Seorang sarjana hukum di negara-negara Anglo Saxon, tidak membutuhkan uang sogokan untuk memenangkan kasus. Cukup berpegang pada preseden: bila hakim menjatuhkan putusan diluar dari apa yang sudah digariskan oleh preseden, maka hakim itu sendiri yang mencari mati. Your verdict are corrupt !
Atau, dapatkah juga kita sebutkan, bahwa OC Kaligis, sang pengacara senior, telah menjadi korban dari sistem hukum Indonesia yang tidak menawarkan sebentuk kepastian hukum bahkan untuk derajat yang paling minimun?
Entahlah, penulis tidak dalam posisi untuk memberi penilaian atas nasib yang menimpa sang pengacara senior tersebut. Namun artikel ini tidak lain merupakan ungkapan dan curahan hati terdalam seorang sarjana hukum Indonesia yang merasa frustasi melihat praktik berhukum peradilan yang sama sekali tidak memandang penting, bahkan memandang remeh, peran preseden dan kepastian hukum.
Mungkin, pada suatu waktu nanti, akan jatuh korban-korban baru lainnya, OC Kaligis OC Kaligis lainnya. Mungkin, saya, atau juga Anda, menjadi korban selanjutnya akibat sistem hukum yang tidak memiliki daya prediktabilitas ini.
Singkat kata, praktik berhukum di Indonesia menyerupai ‘telur di ujung tanduk’, ketika hakim dapat seenaknya memilih dua yurisprudensi yang saling bertolak-belakang satu sama lain, mengikuti ‘mood’ sang hakim. Bila Anda sedang mujur, maka sang hakim akan mengutip yurisprudensi yang menguntungkan Anda. Sementara bila Anda sedang dirudung awan gelap, maka Anda tahu sendiri bagaimana bila Anda menggantungkan nasib di tangan selera lidah seorang hakim.
Di negara dengan sistem hukum common law, nasib Anda bukan ditentukan di tangan hakim, tapi di tangan preseden. Itulah kemewahan yang tidak dimiliki hukum di Indonesia. Sampai kapan pun tidak akan pernah selama kita masih terkungkung dalam sistem hukum yang menyepelekan kedudukan daya prediktabilitas yang menjadi pilar dari kepastian hukum.
Tidak ada istilah lain bagi sistem hukum di Indonesia dan juga negara-negara dengan sistem hukum Civil Law ala keluarga hukum Eropa Kontinental seperti Perancis dan Belanda yang menjadi Pewaris sistem hukum Indonesia saat ini, yakni: Menakutkan dan mengecilkan hati !
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.