Potential Loss dalam Konteks Korupsi

ARTIKEL HUKUM
Meski secara kontradiktif, konsepsi penindakan terhadap “potential loss” telah diamputasi oleh putusan Mahkamah Konstitusi RI pada awal tahun 2017, sebagaimana MK RI telah mengeliminir pula konsepsi “perbuatan melawan hukum secara materiil fungsi positif” sebagaimana Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006—kedua putusan mana menjadi cermin ketidakberpihakan MK RI terhadap upaya dan itikad baik KPK bersama pembentuk undang-undang dalam memberantas Tipikor. Namun mendiskusikan perihal “potential loss” tidaklah lekang oleh waktu.
Dalam tingkat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hingga Mahkamah Agung tingkat kasasi, Sudjiono Timan selaku Mantan Dirut PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, telah dijatuhi pidana karena dinilai secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, namun putusan tersebut dianulir dan Terpidana dibebaskan dari segala vonis hukuman lewat putusan Mahkamah Agung RI tingkat Peninjauan Kembali (PK) register Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 tanggal 31 Juli 2013, dimana Majelis Hakim tingkat PK membebaskan Terpidana dari segala tuntutan, dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, ... Bahwa fakta yang terungkap di persidangan, PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia sejak berdiri tahun 1973 sampai dengan tahun 1992 dalam kondisi merugi. Tetapi sejak Terdakwa ditunjuk sebagai Direktur, tahun 1993 sampai dengan tahun 1997 berdasarkan audit BPKP meraih keuntungan sebagai berikut :
Tahun 1994 untung sebesar Rp.2.000.000.000,- ;
Tahun 1995 untung sebesar Rp.11.000.000.000,- ;
Tahun 1996 untung sebesar Rp.22.000.000.000,- ;
Tahun 1997 untung sebesar Rp.23.000.000.000,- ;
“Sedangkan tahun 1998 mengalami kerugian sebesar Rp.231.000.000.000,- disebabkan oleh selisih nilai kurs rupiah terhadap dollar US akibat krisis moneter, dan kerugian tahun 1999 dan tahun 2000 juga disebabkan oleh krisis moneter.”
Tanpa bermaksud untuk memberi komentar ataupun bersikap ‘sok tahu’ akan perkara yang menjerat sang mantan Terdakwa tersebut diatas, penulis hendak mengangkat postulasi sederhana berikut: Apakah bila suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami keuntungan, praktis dapat diasumsikan tidak telah terjadi korupsi di dalamnya oleh pihak manajemen BUMN ?
Kita dapat pula mengemukakan pertanyaan lanjutan: Bila tidak terjadi korupsi oleh pihak manajemen BUMN, mungkinkah keuntungan BUMN akan jauh lebih besar lagi ?
Apakah aset-aset dan fasilitas serta sumber daya manusia pada BUMN telah dioptimalkan secara prima dan optimal ?
Lantas dimana korelasinya dengan konsepsi “potential loss” ?
Potential loss” memiliki sebuah konsep berpikir mendasar yang menyatakan:
- bahwa tiadanya terdapat kerugian, bukan diartikan otomatis sebagai bersih dari korupsi (presumption of clean and clear);
- bahwa dapat dicegahnya kerugian dengan menangkap-tangan pelaku sehingga mencegah aksi spekulan yang dipastikan akan merugikan keuangan negara, dimana kerugian negara dapat diantisipasi lewat gerak cepat aparat penegak hukum, bukan berarti korupsi tidak telah terjadi secara sempurna;
- bahwa meski mengalami keuntungan, namun keuntungan nyata-nyata telah diamputasi oleh aksi spekulan pihak manajemen/pejabat yang memberi resiko secara tidak proporsional terhadap kekayaan negara, sehingga keuntungan menjadi tidak optimal, maka bukan dimaknai tidak telah terjadi korupsi;
- bahwa meski mencetak keuntungan, namun bukan berarti dapat diasumsikan tiada aksi korupsi yang telah mengecilkan angka keuntungan dengan melakukan aksi semacam mark-up biaya pengeluaran disaat bersamaan, sebagai contohnya;
- bahwa proses tender yang meski tidak merugikan negara, namun nyata-nyata telah dengan sengaja memenangkan peserta tender tertentu, berdasarkan suatu ‘pesan sponsor’, maka bukan diartikan tiada terjadi kerugian negara karena bisa jadi kualitas pengerjaan pemenang tender dibawah kualifikasi peserta tender lainnya.
- bahwa pejabat negara / manajemen badan usaha milik negara yang tidak memanfaatkan secara optimal anggaran belanja, seperti aksi ‘makan gaji buta’, tidak responsifnya pelayanan publik, antara biaya proses tidak sebanding dengan output, adalah wajah lain dari kerugian negara akibat produktivitas yang tidak optimal dengan biaya negara yang telah dikeluarkan.
Membuat asumsi bahwa suatu Badan Usaha Milik Negara ataupun Badan Usaha Milik Daerah mencetak kenaikan laba, tanpa memeriksa pula angka pembukuan pada kolom pengeluaran (liability) yang bisa jadi juga turut meningkat secara tidak wajar dari tahun buku sebelumnya, adalah suatu pengalihan isu yang patut diwaspadai oleh aparat penegak hukum.
Sekalipun aktiva bersih/netto masih jauh lebih besar dari passiva, bukan berarti aksi penyalahgunaan pengelolaan suatu kekayaan negara menjadi bentuk bukti absolut tidak terjadinya suatu tindak pidana korupsi.
Mungkin untuk menyederhanakan ulasan dalam topik artikel ini, dapatlah kita sebutkan, bahwa dengan tidak optimalnya pendapatan negara, meski terjadi keuntungan, namun margin pendapatan tersebut menjadi rendah akibat aksi yang diwarnai modus-modus korupsi, penyalahgunaan wewenang (kolusi), ataupun kolusi, maka keuntungan yang hilang dan yang semestinya dapat diperoleh negara atau diselamatkan oleh aparat penegak hukum itulah yang disebut sebagai “actual potential loss”.
Patut kita sayangkan, Komisi Pemberantasan Korupsi maupun rakyat meradang, karena frasa “dapat” dalam rumusan pasal dalam UU Tipikor telah diamputasi keberlakuannya oleh lembaga sekaliber Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) yang semestinya pro terhadap upaya pemberantasan korupsi.
UU Tipikor dibentuk oleh parlemen (DPR RI) bersama pihak Lembaga Eksekutif (Pemerintah RI), dan MK RI sejatinya dibentuk untuk mengawal produk hukum yang diterbitkan bersama oleh kedua lembaga tersebut.
Menjadi mengherankan—bahkan patut dipertanyakan motif di baliknya—apa kemudian yang menjadi fungsi MK RI bila hanya untuk menjegal itikad baik parlemen bersama pemerintah yang telah sangat “berbaik hati” rela menerbitkan UU Tipikor yang monumental.
Fungsi MK RI semestinya ialah untuk mengamputasi produk yuridis yang cacat hukum dan tidak berpihak pada rakyat umum. Namun, bagai penyakit autoimun “Lupus”, MK RI justru ‘mengebiri’ produk hukum yang sejatinya bersifat pro rakyat, dan meloloskan berbagai produk hukum yang tidak pro terhadap rakyat. Antara “menjegal” dengan “meluruskan” tidak pernah sejalan, meski dalam putusannya dilekatkan embel-embel bernama “konstitusi RI”—pasal-pasal konstitusi mana kerap digunakan untuk mengalihkan isu dan menutupi pertimbangan hukum yang sumir sang hakim.
Bila di Indonesia terdapat sarjana hukum yang dengan tegas menyatakan pendiriannya untuk membubarkan MK RI, karena telah memasuki babak kelam putusan MK RI yang jauh dari telaah akademis maupun kualitas putusan, disamping pemborosan anggaran negara, disamping pula kian memperkeruh upaya negara memberantas korupsi, maka penulislah satu-satunya yang dengan lantang menyerukan kepada pihak parlemen bersama pemerintah, untuk meninjau ulang berdirinya lembaga bernama Mahkamah Konstitusi.
Sebagai bukti, bahkan kesembilan orang hakim MK RI tidak dapat membedakan apa parameter dan kriteria putusan “ditolak” dengan “tidak diterima”. Putusan yang sebelumnya telah dinyatakan “ditolak”, tidak dapat lagi diputus “ditolak” untuk kedua-kalinya, namun harus dinyatakan “tidak dapat diterima”.
Namun cobalah para pembaca menyimak putusan MK RI ketika membatalkan frasa “dapat” dalam UU Tipikor: 5 orang Hakim Konstitusi menyatakan “dikabulkan atas putusan sebelumnya yang ditolak”, dan 4 orang Hakim Konstitusi memutuskan “menolak atas putusan yang sebelumnya telah ditolak”.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI perkara pengujian undang-undang (judicial review) register Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 8 September 2016, perihal frasa “dapat” dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, salah satu hakim pemutusnya ialah Patrialis Akbar—hakim yang menjadi hakim untuk kasus yang menjeratnya sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.