LEGAL OPINION
Question: Selaku anak, kami hendak mengajukan PK terhadap putusan pengadilan yang mempidana orang tua kami. Tapi orang tua kami yang dipidana itu sendiri menolak untuk mengajukan PK. Pertanyaannya, bisakah kami selaku anak mengajukan PK untuk orang tua kami itu meski tanpa izin dari orang tua kami itu?
Brief Answer: Secara falsafah dan teoretis, disebut “ahli waris” ialah ketika calon pewaris kemudian meninggal dunia, sehingga jika calon pewaris masih hidup, yang ada ialah istilah “calon ahli waris”. Begitupula akta wasiat, baru dapat dibuka dan dibagi saat pewaris telah meninggal dunia.
Memang cukup ganjil, hingga saat ini belum terdapat pengaturan mengenai “hukum interkoneksi”—dalam artian, kaidah yang berfungsi sebagai sinkronisasi terminologi dan definisi suatu istilah-istilah hukum baik secara pidana maupun perdata. Sebagai contoh ialah definisi ‘cakap hukum’, antara pidana dan perdata saling memiliki kriteria yang berbeda dan beragam tanpa unifikasi.
Namun khusus perihal kebolehan bagi “calon” ahli waris untuk mengajukan upaya hukum luar biasa bernama “Peninjauan Kembali” tanpa inisiatif dari terpidana, dalam praktik peradilan pidana hingga saat ini masih memiliki dualitas persepsi diantara para hakim yang memutus. Pendapat yang saling ‘terpecah’ demikian diilustrasikan lewat contoh kasus dibawah ini.
PEMBAHASAN:
Kusutnya konstruksi hukum pidana Indonesia tercermin dalam putusan Mahkamah Agung RI perkara korupsi tingkat Peninjauan Kembali register Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 tanggal 31 Juli 2013, dimana SUDJIONO TIMAN sebagai Terdakwa selaku Mantan Dirut PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia dalam tingkat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hingga tingkat kasasi, dinyatakan terbukti melakukan Tipikor.
Menyikapi putusan kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap, permohonan Peninjauan kembali diajukan oleh istri Terpidana sebagai Ahli Waris, yang memohon agar putusan Mahkamah Agung RI tersebut dapat ditinjau kembali, dimana terhadapnya Mahkamah Agung tingkat PK membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri Terpidana Sudjiono Timan yang dalam kedudukannya sebagai Ahli Waris berhak mengajukan permintaan Peninjauan kembali berdasarkan pertimbangan sebagai berikut :
- Bahwa dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli Warisnya;
- Bahwa Pemohon Peninjauan kembali adalah Isteri sah dari Terpidana Sudjiono Timan yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian (vide Akte Perkawinan No.542/1991 tanggal 28 Desember 1991);
- Bahwa KUHAP tidak memberikan pengertian siapa yang dimaksud “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) tersebut;
- Bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di Negara RI, selain anak yang sah sebagai Ahli Waris dari orang tuanya, Isteri juga merupakan Ahli Waris dari Suaminya;
- Bahwa makna istilah “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda Terpidana, melainkan istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari Terpidana berhak pula untuk mengajukan Peninjauan kembali;
- Bahwa menurut M. Yahya Harahap, SH. dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”, Edisi Kedua, 2012, halaman 617, antara lain menyatakan bahwa hak Ahli Waris untuk mengajukan Peninjauan kembali bukan merupakan “hak substitusi” yang diperoleh setelah Terpidana meninggal dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil” yang diberikan undang-undang kepada mereka demi untuk kepentingan Terpidana;
- Bahwa berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap, SH. tersebut, baik Terpidana maupun Ahli Waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan Peninjauan kembali tanpa mempersoalkan apakah Terpidana masih hidup atau tidak; lagi pula undang-undang tidak menentukan kedudukan prioritas di antara Terpidana dengan Ahli Waris;
- Bahwa Isteri/Ahli Waris Terpidana selaku Pemohon Peninjauan kembali yang didampingi oleh Kuasa Hukumnya telah hadir di sidang pemeriksaan Peninjauan kembali pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sesuai dengan Berita Acara Persidangan;
“Bahwa PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk Persero, dengan demikian operasionalnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Kekayaannya dalam bentuk saham. Penyertaan Negara yang ditanam dalam BUMN tersebut, meskipun merupakan keuangan Negara yang dipisahkan, akan tetapi keuangan Negara tersebut sudah menjadi bagian dari kekayaan Persero, dan Direktur bertanggung jawab atas aktifitas perusahaan dalam pertemuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
“Menimbang, bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim Agung terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perkara ini, yaitu SRI MURWAHYUNI, SH., MH. Yang berpendapat :
“Bahwa permohonan Peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon dalam perkara a quo secara formal tidak dapat diterima, dengan alasan :
- Bahwa permohonan Peninjauan kembali diajukan oleh Isteri Terpidana;
- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali adalah Terpidana atau Ahli Warisnya, artinya Ahli Waris dapat mengajukan permohonan Peninjauan kembali apabila Terpidana sudah meninggal dunia;
- Bahwa dalam perkara a quo tidak ada keterangan yang menyatakan Terpidana sudah meninggal dunia, karena Terpidana tidak meninggal dunia tetapi melarikan diri untuk menghindari kewajibannya melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 yang telah menjatuhkan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun karena terbukti melakukan korupsi, sehingga barang bukti dirampas untuk Negara;
- Bahwa adalah ironis apabila Ahli Waris Terpidana menuntut haknya, sementara kewajiban Terpidana melaksanakan putusan Mahkamah Agung tidak dipenuhi atau dilaksanakan;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai permufakatan, maka berdasarkan Pasal 182 ayat (6) KUHAP, Majelis telah mengambil putusan dengan suara terbanyak;
“M E N G A D I L I :
“Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali/Fanny Barki (Istri) selaku Ahli Waris Terpidana : SUDJIONO TIMAN tersebut;
“Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 434 K/Pid/2003, tanggal 03 Desember 2004 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel., tanggal 25 November 2002;
“MENGADILI KEMBALI :
1. Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepada Terpidana SUDJIONO TIMAN tersebut terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana;
2. Melepaskan Terpidana dari segala tuntutan hukum;
3. Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta Martabatnya.”
Sebagai penutup, tepat kiranya penulis mengutip pesan dari pepatah lama: Satu orang cendekiawan penuh kebijakan yang memutus perkara sudahlah cukup, ketimbang sepuluh orang yang tidak paham apa yang ia sendiri putuskan. Bila hanya terdapat satu atau dua hakim yang benar-benar layak memegang palu pemutus, mengapa harus memaksakan diri dalam bentuk Majelis Hakim?
Sekalipun secara akademis dan falsafah mungkin memang boleh seorang calon ahli waris mengajukan upaya hukum luar biasa bernama PK, namun apa dapat dibenarkan secara moril, bagi hukum berpihak pada mereka yang tidak berani menghadapi hukum namun disaat bersamaan hendak dan merasa berhak untuk menuntut dari hukum?
Siapa yang melarikan diri dari hukum tidak akan pernah benar-benar memiliki hak untuk menghadap dan menuntut dari hukum. Hukum hanya menghormati warga pengemban hukum yang bersikap ksatria.
Apa jadinya bila kita mengandalkan nasib kita di tangan hakim pemutus yang bisa jadi tidak lebih paham hukum atau bahkan tidak lebih arif bijaksana dari masyarakat pencari keadilan?
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.