ARTIKEL HUKUM
Alfamart, salah satu minimarket yang menjamur bagaikan cendawan di musim
penghujan, menggugat konsumennya sendiri yang mempertanyakan penggunakan dan
alokasi sumbangan yang diberikan para konsumen Alfamart setiap kali membayar
belanjaan. Sebelumnya, Komisi Informasi Pusat (KIP) pada akhir tahun 2016 telah
mengabulkan gugatan sang konsumen, namun management Alfamart ‘kebakaran jenggot’
sehingga menggugat KIP dan sang konsumen yang kritis ke hadapan pengadilan.
Memang apa sukarnya, bersikap transparan dan akuntabel terhadap dana
donasi pihak konsumen yang merupakan stakeholder?
Dengan memberikan donasi pada lembaga pengumpul dana sumbangan, dana yang
terkumpul bukanlah menjadi milik institusi tersebut, tapi hanya sebagai sekadar
medium alias penengah saja antara konsumen yang dijadikan donatur dan pihak penerima
dana yang mendapat saluran bantuan.
Pepatah klasik mengatakan, semakin kaya seorang pengusaha, alih-alih menjadi
dermawan, ia akan kian tamak menjadi-jadi. Pepatah demikian bukan hisapan
jempol, namun telah banyak penulis lihat relevansinya dalam praktik kalangan
pengusaha di Indonesia: kian kaya raya kian lapar, rakus, dan sekaligus kian
kikir—suatu fenomena aneh yang sukar dijelaskan dalam kacamata logika manusia
yang berakal sehat. Bagai mendapat air asin lautan, semakin diminum, kian haus
jadinya.
Penulis menilai, secara falsafah praktik pengumpulan dana donasi oleh
pelaku bisnis atau entitas bisnis, adalah menyalahi etika berniaga. Pernah suatu
waktu penulis berbelanja pada minimarket sebagaimana tersebut diatas, tanpa
mendapat receh uang kembalian, juga tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, struk
belanja menyebutkan sisa uang kembalian masuk dalam dana donasi untuk kanker.
Namun bukan soal rela atau tidaknya dana receh tersedot oleh pihak
pemilik usaha minimarket (coba kalikan dengan jumlah konsumen dalam hitungan
bulan atau tahun, receh menjadi gunung), namun secara falsafah hukum perseroan
terbatas, praktik demikian menyalahi konsep dasar mengenai Corporate Social Responsibility (CSR).
CSR harus
bersumber dari dana keuangan pribadi entitas korporat—alias dari keuntungan bersih yang disisihkan untuk
kegiatan sosial. Dalam kasus Alfamart, yang terjadi sebaliknya, konsumen dibohongi bahwa
uang kembalian menjadi “donasi penderita kanker”, namun realitanya semua
pemasukan dari sumbangan menjadi kas kekayaan pribadi sang entitas bisnis. Artinya,
donasi ke kas sang pebisnis dengan kedok atau mencatut nama para pasien penderita
kanker.
Penulis tidak gentar sekalipun pihak Alfamart hendak menuntut pencemaran
nama baik terhadap pihak penulis. Buktinya telah sempurna: pihak pengusaha
manapun ketika melakukan CSR menjadikan kegiatan sosial tersebut sebagai ajang
promosi brand, dan penulis berani
menantang pihak Alfamart, apakah CSR dilakukan secara terpisah antara CSR murni
dana pribadi Alfamart, dengan CSR yang bersumber dari dana konsumen tanpa
menampilkan brand Alfamart; ataukah
justru mencampuradukkannya?
Jika yang terjadi ialah pencampuradukkan, berarti Alfamart telah
mengakui, bahwa sejatinya telah terjadi penggelapan dana konsumen, karena dana-dana
donasi menjelma ‘kekayaan korporasi’ yang disisihkan untuk kegiatan CSR—dimana pihak
penerima donasi hanya menyetahui bahwa yang berderma ialah Alfamart, meski sejatinya
Alfamart menggugat sang donatur itu sendiri.
Karena mindset atau
paradigmanya ialah sumbangan customers
menjadi kas kekayaan korporat (sebagaimana dalil pihak Alfamart sendiri ketika
mengajukan gugatan terhadap konsumennya), maka ketika sekalipun benar dana
donasi disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan, kemasan dan pesan sponsor
yang kemudian terjadi: promosi tanpa mengeluarkan biaya pribadi sepeser pun !
Bagaimana tidak, pihak pebisnis tidak mengeluarkan dana sepeserpun dari
keuntungan usaha mereka, namun menggelar acara pembagian sembako atau kegiatan
sosial lain secara gegap gempita, bila perlu dengan liputan pers, dengan merek
bisnis mereka terpampang besar-besar di depan kamera, dimana masyarakat menjadi
merasa berterimakasih pada sang pebisnis, mendapat nama baik, meng-‘genjot’ brand merek usaha, disaat bersamaan
pebisnis merasa telah beramal meski sejatinya semua dana CSR tersebut bersumber
dari dana para konsumen.
Riset membuktikan, separuh kekayaan entitas bisnis habis hanya untuk
anggaran promosi merek usaha mereka. Produk sepatu yang sangat teerkenal, NIKE,
menjadi terkenal karena aksi promosi mereka yang memakan anggaran 70% dari
total kekayaan bersih mereka pada awal-awal pemasaran produk NIKE.
Karena budget promosi demikian tinggi,
maka ditempuhlah jalan pintas berupa ‘jualan terselubung pengumpulan dana amal’.
Dana donasi yang terkumpul, sekalipun besar kemudian disalurkan pada penerima
dana, maka pesan sponsor menjadi modus/motif/agenda utama sang pengusaha.
Secara etika usaha ke-Timur-an, sangat tidak etis, dan sangat tidak
patut, bila kita melakukan kegiatan komersil, dengan embel-embel kemasan “Anda beli
produk saya, maka disaat bersamaan Anda menyumbang’.
Jika niat hendak menyumbang secara tulus, maka pelaku usaha itu sendiri
yang semestinya menyisihkan sebagian keuntungannya untuk CSR, bukan dari
konsumen.
Konsumen yang mau berdana, dapat disumbangkan sendiri pada para pengemis
yang kelaparan, atau pada medium lain yang benar-benar murni kegiatan / wadah
sosial tanpa pesan sponsor komersiel jual-beli produk. Mencari untung dengan
cara mengecoh konsumen, seakan-akan sang pebisnis memiliki sifat mulia untuk
menjadi dermawan, meski sejatinya tujuan utamanya ialah: untuk meng-‘genjot’
laba dengan peningkatan tingkat penjualan lewat teknik marketing yang tidak
etis demikian—fakta yang tidak dapat lagi dibantah.
Bisnis ya bisnis, kegiatan derma ya kegiatan derma, jangan dicampur aduk.
Ketika seorang pengusaha menjual produk dengan embel-embel berdana bagi korban
ini atau korban itu, sejatinya sang pengusaha tengah mencatut kemalangan nasib
orang lain sebagai alat marketing untuk menarik laba. Konsumen perlu ‘melek’
terhadap modus demikian.
Kejahatan kedua, ialah sebagai ajang mengumpulkan biaya promosi brand/merek secara gratis. Ketika dana
hasil donasi terkumpul seiring peningkatan penjualan produk dagangan, maka
donasi yang terkumpul justru menjadi anggaran promosi sang pelaku usaha itu
sendiri. Disinilah letak jahatnya pelaku usaha—fenomena yang terjadi segala
global, dimana tradisi kotor demikian baru melanda Indonesia pada awal dekade
tahun 2000-an, seiring masuknya budaya tren niaga Negara Barat.
Patut kita sayangkan, pengaturan perihal CSR dalam Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas di Indonesia (saat artikel ini disusun masih menganut UU No.
40 Tahun 2007) tidak mengatur secara rinci perihal mekanisme anggaran CSR. Celah
hukum inilah yang kemudian digunakan dengan sangat ‘lihai’ oleh para kalangan
pengusaha kaya-raya yang tamaknya ‘bukan kepalang’ untuk menjadikan seluruh
pemasukan dari dana donasi sebagai seolah-olah / seakan-akan dana pribadi
korporasi yang disisihkan untuk program CSR—meski senyatanya merupakan dana
promosi gratis terselubung (suatu fakta yang sengaja penulis cantumkan secara
berulang).
Penulis bukan bermaksud mengajak masyarakat untuk tidak rela berdana pada
entitas bisnis. Para pengusaha tersebut sudah sangat kaya, Anda tidak perlu
lagi harus menyumbang pada para entitas bisnis demikian, kecuali Anda adalah
konsumen yang saking bodohnya rela menyumbang untuk pebisnis tamak.
Bila pelaku usaha tersebut hendak melakukan kegiatan charity, sudah mereka lakukan dari dahulu kala lewat CSR yang benar-benar
CSR dari ‘kantung’ mereka sendiri dengan menyisihkan hasil keuntungan bersih
mereka, bukan mengutip dari konsumen—cara melakukan kegiatan ‘sosial’
terselubung yang sudah jelas tidak tulus.
Bila kita benar-benar mau mengumbangkan sebagian dari kekayaan kita,
masih banyak lembaga sosial yang benar-benar memfokuskan diri mereka untuk
kegiatan amal, dan itulah lembaga yang lebih patut mendapat dana Anda. Jadilah konsumen
yang cerdas.
Atau, lihatlah gelandangan dan orang-orang yang benar-benar membutuhkan
pertolongan, dapat kita temukan dengan mudah tak jauh dari lingkungan kediaman
kita sendiri. Pengumpul botol bekas dengan menggunakan gerobak yang seringkali
sudah tua renta, itulah subjek tepat untuk kita berikan dana, meski hanya mampu
berderma ‘recehan’ atau sekadar menyumbangkan botol-botol bekas dan barang
tidak terpakai.
Ketamakan seorang pengusaha tiada kenal puasnya. Meski telah memiliki
ribuan cabang minimarket di seluruh penjuru kota di Indonesia, laba bersih setiap
tahunnya tercatat triliunan Rupiah (coba bayangkan, berapa bungkus nasi padang
dapat dibeli dengan kekayaan sedemikian besar), tetap membuktikan pemilik
waralaba minimarket demikian tidak juga kenal puas, sebanyak apapun donasi
telah diberikan konsumen untuk dana promosi gratis sang pengusaha. Dan pernyataan
ini tidak hanya penulis tujukan bagi Alfamart, tetapi mulai dari produk minuman
penyegar panas dalam Cap Badak, lembaga asuransi ternama sekaliber Prudential, bahkan
hingga ritel swalayan besar, pada dasarnya tiada pengusaha yang benar-benar puas
menghisap konsumen dan keringat darah tenaga kerjanya sendiri.
Bila ada yang mengatakan bahwa kaum politisi, polisi, dan sarjana hukum
sebagai kaum ‘hitam’ yang gelap, maka Anda keliru. Anda harus sangat berhati-hati
ketika menghadapi kalangan pengusaha. Semakin kaya pengusaha tersebut, semakin Anda
perlu melipat gandakan kehati-hatian.
Bila terdapa kalangan pengusaha yang hendak penulis dengan tuduhan menggugat
pencemaran nama ‘busuk’ mereka atas artikel jujur ini, silahkan—artinya disaat
bersamaan Anda telah mengakui bahwa Anda mengumpulkan materi kekayaan dengan cara-cara
kotor demikian: promosi brand gratis
dengan cara membodohi konsumen sendiri.
Kejujuran tak pernah dapat digugat ataupun dipersengketakan. Bila Anda mencoba
menggugat saya, berarti Anda mengaku telah menggelapkan dana
donasi masyarakat ataupun konsumen. Artikel sederhana ini bukan penulis
susun dan tujukan bagi para kaum pengusaha yang telah ‘gelap’ matanya. Namun penulis
tujukan bagi para masyarakat, agar hendaknya berani berkata ‘TIDAK’ bagi agen
asuransi yang hendak mengutip dana sumbangan, minimarket yang hendak
menggelapkan recehan, atau penjual produk dan jasa lainnya. Lebih baik Anda sumbangkan
dana Anda meski hanya senilai beberapa ribu Rupiah pada Palang Merah Indonesia.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.