Pengadilan Niaga Tidak Tunduk Pada Kontrak Arbitrase

LEGAL OPINION
Ketika Cessie / Subrogasi Menjadi Alat Efektif ‘Penyelundupan’ Hukum Guna Memenuhi Syarat Minimum Jumlah Kreditor Permohonan Pailit
Question: Ada rekanan yang menunggak dan terus mengelak dari tanggung jawab, sampai akhirnya saya bulatkan tekad untuk mempailitkan saja dirinya. Namun setelah mengamati kontrak pembagian hasil kami, ternyata ada aturan di dalamnya yang menyebutkan kalau pengadilan yang berwenang mengadili adalah arbitrase. Memang arbitrase berwenang untuk putuskan gugatan pailit? Apa pengadilan niaga setempat jadinya tidak bisa? Masalah kedua, saya tak tahu apa pihak seberang memiliki hutang pada kreditor lain atau tidak, karena kabarnya untuk mengajukan pailit butuh dua kreditor.
Brief Answer: Pengadilan Niaga yang menaungi yurisdiksi pihak Termohon Pailit, berwenang memeriksa dan memutus sengketa permohonan (gugat) pailit, meski antara pihak Pemohon dan Termohon terikat perjanjian arbitrase, selama tiga syarat berikut terpenuhi secara kumulatif, yakni:
1.) piutang Anda selaku Pemohon telah jatuh tempo;
2.) terdapat dua atau lebih kreditor (termasuk Anda, sementara kreditor lain tak mesti sudah jatuh tempo piutangnya. Ketentuan ini kerap ‘di-selundupkan’ / ‘di-akali’ pihak kreditor dengan cara menjual separuh kecil piutang miliknya lewat cessie / subrogasi kepada afiliasi grub usaha atau anak usahanya); dan
3.) pembuktian adanya hutang-piutang bersifat sederhana—inilah yang paling riskan dihadapi pihak Pemohon Pailit, sebab pemaknaan ‘pembuktian yang sederhana’ demikian multitafsir, disamping persepsi tiap hakim berbeda-beda dalam menyikapi hal ini pada praktiknya. Praktis hingga kini belum terdapat parameter yang dapat disepakati, selain preseden atas berbagai variatif perkara kepailitan. Terdapat beberapa pendirian Hakim Pengadilan Niaga yang berpandangan bahwa sengketa yang belum terang benar berapa sebenarnya beban/jumlah hutang-piutang antara para pihak, maka harus terlebih dahulu dibuktikan dan terdapat vonis sejumlah nominal yang telah pasti oleh Pengadilan Umum—sehingga bukan selalu sederhana dalam pengertian ada utang atau tidaknya.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut dapat mewakili secara konkret, yakni putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat perkara kepailitan register Nomor 09/PDT.SUS-PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 29 Juni 2015, perkara antara:
- PT. Wirana Nusantara Energy, sebagai Pemohon  Pailit; terhadap
- PT. Tangkuban Parahu Geothermal Power, selaku Termohon Pailit.
Terhadap permohonan pailit Pemohon, Termohon mengajukan eksepsi bahwa pokok masalah adalah murni perihal tuduhan wanprestasi, disamping Pengadilan Niaga tidak berwenang mengadili perkara dikarenakan perjanjian yang dibuat antara para pihak telah disepakati: bila terjadi sengketa akan diselesaikan oleh medium arbritase.
Terhadap permohonan Pemohon maupun berbagai bantahan Termohon, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa eksepsi yang pertama yang diajukan oleh Termohon Pailit tersebut adalah berkaitan dengan eksepsi kompetensi absolut;
“Menimbang, bahwa untuk menentukan Pengadilan mana, yang berwenang mengadili perkara Pemohon merupakan kewenangan Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Niaga, maka majelis haruslah meneliti dengan seksama bukti-bukti yang diajukan di persidangan karena bila permasalahan yang disengketakan merupakan masalah wanprestasi maka merupakan kewenangan pengadilan Negeri dan karenanya harus diajukan dalam bentuk gugatan perdata, namun bila materi perkaranya berkaitan dengan tagihan hutang dari dua Kreditur atau lebih yang sudah jatuh tempo dan belum dibayar, maka merupakan materi kepailitan dan menjadi kewenangan Pengadilan Niaga;
“Menimbang, bahwa karena untuk memeriksa materi eksepsi tersebut saling berkaitan dengan materi pokok perkara maka mengenai materi eksepsi tersebut akan dipertimbangkan bersama-sama dengan materi pokok perkara dalam artian bila setelah dipertimbangkan ternyata sengketanya adalah mengenai wanprestasi maka permohonan pailit akan ditolak dan dianjurkan untuk diajukan gugatan wanprestasi dalam perkara perdata;
“Menimbang, bahwa selanjutnya mengenai materi eksepsi yang kedua yang menyatakan bahwa yang berwenang menyelesaikan perkara Aquo adalah Lembaga Arbitrase dan bukan Pengadilan Niaga, akan dipertimbangkan sebagai berikut;
“Menimbang, bahwa didalam Pasal 303 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, telah diatur:
“Pengadilan (Niaga) tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausul arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan peernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1.”
“Menimbang, bahwa di dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.45 K/Pdt-Sus/2013 dalam perkara Pupuk Indonesia Holding Company (Persero) dan PT. Pupuk Sriwijaya Palembang terhadap PT. Sri Melamin Rejeki disebutkan dalam salah satu pertimbangannya bahwa klausul arbitrase yang terdapat dalam perjanjian antara Pemohon dan Termohon tidak menghalangi suatu permohonan pailit yaitu dengan merujuk Pasal 303 Undang-Undang 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut maka majelis berpendapat bahwa kesepakatan penyelesaian arbitrase yang disepakati antara Pemohon dengan Termohon tidak menghalangi diajukannya permohonan pailit dari Pemohon;
“Menimbang, bahwa permohonan pailit oleh Pemohon pada pokoknya adalah bahwa Pemohon telah memohonkan agar Termohon dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya, karena Termohon memiliki 2 (dua) Kreditor dan tidak terbayar lunas hutangnya sedikitnya 1 (satu) hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dimana Pemohon telah mendalilkan pada pokoknya sebagai berikut:
“Termohon telah menggunakan jasa Pemohon untuk melaksanakan pekerjaan pemboran panas bumi di Sumur Kancah 3 Jawa Barat yaitu berdasarkan Perjanjian Jasa Pemboran bertanggal 15 April 2014;
“Bahwa karena Jasa Pemboran tersebut telah dilaksanakan oleh Pemohon Pailit sebagaimana dalam Perjanjian Pemboran No.001.PJ/060/TPGP/2014 bertanggal 15 April 2014, maka Termohon haruslah membayar imbalan yang telah diperjanjikan;
“Menimbang, bahwa dalil-dalil permohonan Pemohon tersebut disangkal oleh Termohon, dimana Termohon menyatakan:
“Menolak membayar tagihan-tagihan yang diajukan Pemohon dikarenakan Pemohon tidak dapat melaksanakan kewajiban pemboran sesuai kontrak yaitu 28 hari yang disebabkan oleh terjadinya kegagalan (malfunction) pada peralatan Drilling Rig secara berulang-ulang;
“Bahwa telah ada perjanjian antara Pemohon dengan Termohon berkaitan dengan pemboran yaitu bertanggal 15 April 2014 dan amandemen perjanjian bertanggal 16 Juni 2014;
“Bahwa kesepakatan antara Pemohon dengan Termohon bahwa penggantian Rig yang baru biaya-biayanya adalah tanggung jawab Pemohon;
“Menimbang, bahwa di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya.”
“Menimbang, bahwa disamping itu didalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 disebutkan:
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyalakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”
“Menimbang, bahwa yang harus dipertimbangkan lebih dahulu adalah apakah benar dalam hal ini Pemohon adalah Kreditor atas diri Termohon dan apakah benar Termohon adalah Debitor yang memiliki hutang kepada Pemohon (Kreditor);
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan:
Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.”
“Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan:
Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.”
“Menimbang, bahwa dari bukti P - 55/TP - 1 (Perjanjian Pekerjaan Pemboran Research Well dan Coring di WKP Tangkuban Perahu Jawa Barat Indonesia) serta bukti TP - 2 Amandemen Surat Perjanjian antara Pemohon dengan Termohon terbukti bahwa antara Pemohon (PT. Wirana Nusantara Energy) dengan Termohon (PT. Tangkuban Perahu Geothermal Power) telah mengadakan perjanjian pelaksanaan pemboran panas bumi di Sumur Kancah 3 Jawa Barat dimana Termohon adalah sebagai pemberi kerja sedangkan Pemohon adalah sebagai pelaksana kerja;
“Menimbang, bahwa didalam perjanjian tersebut telah disepakati lingkup pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan oleh Pemohon dan ketentuan-ketentuan pembayarannya;
“Menimbang, bahwa pada saat pelaksanaan pengeboran sempat terjadi kemacetan dikarenakan adanya kerusakan terhadap Rig BSA # 1 sehingga pelaksanaan pemboran terhenti dan selanjutnya diadakan kesepakatan antara Pemohon dengan Termohon yaitu berkaitan dengan penggantian Rig baru dan disepakati akan diganti dengan biaya Pemohon (dituangkan dalam Minute of Emergency Meeting);
“Menimbang, bahwa dari bukti-bukti P-45, P-46, P-47 didapatkan fakta bahwa setelah diadakan perbaikan terhadap Rig yang rusak tersebut selanjutnya dengan persetujuan Termohon (dalam hal ini disetujui petugas lapangan Sigid D. Nugroho selaku Kepala Teknik Panas Bumi Sementara/Surat bertanggal 25 Agustus 2014 maka dilanjutkan pemboran dengan menggunakan Rig lama (yang telah diperbaiki);
“Menimbang, bahwa setelah dilakukan pengeboran lanjutan ternyata akhirnya pelaksanaannya kurang lancar dan telah dibicarakan antara Pemohon Pailit dengan Termohon pailit sebagaimana bukti P-50, P-51 dan P-52 dan dipandang perlu adanya: a). Pekerjaan finishing; b). Penyemenan c). Pelumasan peralatan pemboran supaya pipa tidak macet; d) Penyediaan bahan bakar solar; e) Stanby Rate; f). Cementing unit standby; dan g) Pemasangan tutup sumur yang semuanya telah dilakukan Pemohon dan membutuhkan biaya yang harus dibayar sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Perjanjian yang telah disepakati antara Pemohon dan Termohon;
“Menimbang, bahwa setelah mempelajari serta mencermati Perjanjian bertanggal 15 April 2014 serta Amandemen Surat Perjanjian tanggai 16 Juni 2014 yang dibuat antara Pemohon dan Termohon dimana di dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa pembayaran terhadap pekerjaan dibayar secara lumpsum;
“Menimbang, bahwa dari pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan Pemohon berkaitan dengan Perjanjian, Pemohon mengajukan tagihan-tagihan yang harus dibayar Termohon;
“Menimbang, bahwa mengenai Invoice/tagihan-tagihan tersebut di dalam perjanjian disepakati harus diajukan 5 (lima) hari sebelumnya dan setelah majelis mencermati tagihan-tagihan tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Perjanjian dan telah disampaikan kepada Termohon serta telah diadakan somasi yang pertama dan Somasi kedua tidak ada pembayaran oleh Termohon maka menurut hemat Majelis Hakim tagihan-tagihan yang dibuat Pemohon tersebut telah jatuh tempo untuk dibayarkan;
“Menimbang, bahwa memperhatikan fakta-fakta dari bukti-bukti sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa antara Pemohon dengan Termohon telah terdapat tagihan yang harus dibayar oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit, sehingga dalam hal ini Pemohon Pailit sebagai yang berhak menerima pembayaran yaitu sebagai Kreditor yang memiliki piutang kepada Termohon yang dalam hal ini disebut sebagai Debitor yang memiliki hutang;
“Menimbang, bahwa di samping Pemohon Pailit, di persidangan dari bukti-bukti KL-1 sampai dengan KL-12b didapatkan fakta bahwa terdapat Kreditur lain yaitu PT. Tridaya Sakti Mandiri, yaitu selaku pihak yang membeli sebagian tagihan Pemohon Pailit kepada Termohon Pailit sebesar US $ 3,451,787,77 dan Rp 618.926.875, yang dibeli oleh PT. Tridaya Sakti Mandiri dengan sekurang-kurangnya atau setara dengan uang sebesar Rp. 15.000.000.000,- dan Rp. 5.000.000.000,-, yaitu didapatkan berdasarkan;
- Perjanjian Pengikatan Jual Beli Piutang bertanggal 27 Maret 2015 (bukti KL - 2 /P - 66);
- Perjanjian Jual Beli piutang bertanggal 09 April 2015 (bukti KL - 4/P - 67);
- Akta Jual Beli Piutang (Hak Tagih) nomor 16 tertanggal 16 April 2015 yang dibuat oleh dan dihadapan notaris Emmyra Fauzia Kariana,SH.Mkn (bukti KL - 6 /P - 68);
- Akta Pemindahan Pengalihan Sebagian Hak Tagih (Cessie) tertanggal 16 April 2015 (bukti KL-7/P-69);
“Menimbang, bahwa terhadap tagihan-tagihan sebagaimana tersebut dari bukti-bukti yang diajukan Kreditur Lain tersebut Termohon menolaknya dengan alasan tidak ada hak tagih apapun dari Pemohon Pailit terhadap Termohon Pailit (bukti TP - 40);
“Menimbang, bahwa meskipun dibantah oleh Termohon, namun berdasarkan bukti-bukti yang diajukan Kreditor Lain, Majelis Hakim berpendapat dari bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa Termohon terbukti memiliki utang kepada Pemohon dan Kreditur lain yaitu PT. Tridaya Sakti Mandiri dan atas hutang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih di muka pengadilan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh fakta yang diperoleh dari alat bukti yang telah diajukan oleh Pemohon sebagaimana telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat fakta atau keadaan yang secara sederhana dapat membuktikan Termohon telah memiliki 2 (dua) Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, sehingga memenuhi persyaratan untuk Termohon dinyatakan pailit;
“Menimbang, bahwa sehubungan dengan materi eksepsi Termohon berkaitan dengan Wanprestasi, dikarenakan kesepakatan untuk menyelesaikan pengeboran dalam waktu 28 hari kalender telah disepakati untuk diperpanjang antara Pemohon dengan Termohon, sebagaimana bukti TP - 2, sedangkan ternyata Termohon mempunyai hutang kepada 2 (dua) kreditor yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka perkara a quo menurut hemat Majelis Hakim adalah perkara yang berkaitan dengan kepailitan, sehingga Pengadilan Niaga berwenang untuk mengadilinya:
M E N G A D I L I
DALAM EKSEPSI
Menolak Eksepsi Termohon;
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya:
2. Menyatakan Termohon PT. Tangkuban Parahu Geothermal Power, yang beralamat di ... dalam keadaan Pailit dengan segala akibat hukumnya;
3. Mengangkat ... , Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas;
4. Mengangkat ... sebagai Kurator.”
Meski sejatinya proses pembuktian adanya utang dan proses pembuktian besaran piutang tidaklah sederhana pada contoh kasus diatas, namun bila dipandang dari perspektif utilitarianisme, putusan Pengadilan Niaga tersebut lebih berfaedah, ketimbang yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI yang menyatakan bahwa kaum buruh/pekerja yang hendak menuntut pembayaran upahnya tak dapat serta-merta mengajukan pailit pihak pengusaha sebelum adanya putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Bila bisa satu proses berjalan dan selesai, mengapa juga harus dua kali proses perjalanan yang meletihkan dan tidak efesien? Memang sudah sepatutnya hukum menawarkan solusi, bukan memperkeruh.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.