Kewenangan, Kesempatan atau Sarana Terkait Jabatan dalam Perspektif Tipikor

LEGAL OPINION
Question: Apa parameter penyalahgunaan yang dapat berisiko dinyatakan pidana seperti dugaan korupsi?
Brief Answer: Undang-undang mengenai tindak pidana korupsi (Tipikor) mengandung suatu ketentuan normatif dengan substansi: “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.”. Sifat dari sub-unsur tersebut bersifat alternatif, dimana untuk rincian makna tiap sub-unsurnya akan tampak jelas dalam contoh kasus sebagaimana pembahasan dibawah ini
PEMBAHASAN:
Terdakwa merupakan Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa. Sebagai ilustrasi tepat kiranya merujuk pada putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan, yang mengadili perkara-perkara tindak pidana korupsi register Nomor 97/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn. tanggal 10 Maret 2014, dimana terhadap tuntutan Jaksa, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena ternyata Terdakwa pada saat tindak pidana dilakukan sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan Penuntut Umum tersebut mempunyai jabatan atau kedudukan, yaitu Terdakwa menjabat sebagai Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa, mempunyai tugas dan kewenangan yang telah ditentukan serta melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh General Manager PT. PLN (Persero) KITSBU dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas kepada General Manager selaku atasan / pimpinan terdakwa, maka ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang mengatur secara umum mengenai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi tersebut tidak tepat diterapkan terhadap diri Terdakwa dalam perkara ini, melainkan yang lebih tepat diterapkan adalah Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
“Menimbang, bahwa Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor : 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rumusannya sebagai berikut :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”;
“Menimbang, bahwa Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, unsur-unsur pokoknya sebagai berikut :
1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5. Sebagai orang yang melakukan atau menyuruh melakukan, atau turut melakukan tindak pidana.
“Menimbang, bahwa pengertian unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan mengandung pengertian yang sifatnya alternatif, artinya unsur menyalahgunakan kewenangan di-alternatifkan dengan menyalahgunakan sarana yang ada pada diri terdakwa karena jabatan atau kedudukannya;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan “ adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana merupakan cara yang ditempuh oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk mencapai tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “kewenangan” adalah serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik. Kewenangan tersebut tercantum dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi, misalnya tercantum dalam Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan lain-lain.
“Adapun “kesempatan” adalah peluang yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi, peluang tersebut tercantum dalam ketentuan-ketentuan tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan.
“Sedangkan “sarana” adalah cara kerja atau metode kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi;
“Menimbang, bahwa pengertian menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan harus menunjukkan adanya hubungan causal antara keberadaan kewenangan, kesempatan atau sarana dengan jabatan atau kedudukan, oleh karena memangku jabatan atau kedudukan konsekwensinya mempunyai kewenangan, kesempatan dan sarana yang timbul dari jabatan atau kedudukan tersebut dan apabila jabatan atau kedudukan tersebut lepas, maka kewenangan, kesempatan atau sarana juga akan lepas atau hilang, dengan demikian tidak mungkin ada menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang sudah tidak dimiliki (Vide : Adami Chazawi, hal. 53);
“Menimbang, bahwa rumusan HR tanggal 14 Januari 1949, dikaitkan dengan pengertian penyalahgunaan wewenang menurut Jean Rivero dan Waline diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu :
1. Penyalahgunaan wewenang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
2. Penyalahgunaan wewenang dalam arti bahwa tindakan pejabat adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum akan tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan lainnya.
3. Penyalahgunaan wewenang dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu tetapi menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
“Menimbang, bahwa menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan ditafsirkan kewenangan yang ada pada diri terdakwa tidak digunakan sesuai dengan tugas dan kewenangan yang telah ditetapkan didalam ketentuan peraturan perundangundangan maupun didalam ketentuan peraturan lainnya. ;
“Menimbang, bahwa PT. PLN (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), berbentuk perusahaan perseroan terbatas yang modalnya sebesar 51% (lima puluh satu persen) adalah milik Negara Republik Indonesia, sedangkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan pengadaan Flame Tube pada pekerjaan Life Time Extention (LTE) Major Overhaul Gas Turbine (GT 1.2) di PT. PLN (Persero) Pembangkitan Sumatera Utara Sektor Pembangkitan Belawan telah dilaksanakan pada tahun 2007,sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2008, tanggal 3 September 2008, tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Badan Usaha Milik Negara, oleh karenanya pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan oleh PT. PLN (Persero) selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN), haruslah mengacu dan berdasarkan pada Keppres Nomor 80 Tahun 2003, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah;
“Menimbang, bahwa ketentuan Pasal 3 Keppres Nomor 80 Tahun 2003, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah, secara tegas merumuskan : Pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip-prinsip efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel, oleh karenanya Majelis Hakim akan memeriksa dan menilai apakah terdakwa didalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya telah melaksanakan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa;
“Menimbang, bahwa Harga Perkiraan Sendiri (HPS) digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rinciannya dan untuk menetapkan besaran tambahan nilai serta merupakan salah satu acuan dalam menentukan tambahan nilai;
“Menimbang, bahwa didalam ketentuan Lampiran I Bab I Keppres Nomor 80 Tahun 2003, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah pada huruf E. Penyusunan Harga Perhitungan Sendiri (HPS) angka 1, secara tegas merumuskan Perhitungan HPS harus dilakukan dengan cermat, dengan menggunakan data dasar dan mempertimbangkan :
a. analisis harga satuan pekerjaan yang bersangkutan.
b. Perkiraan perhitungan biaya oleh konsultan.
c. Harga pasar setempat pada waktu penyusunan HPS.
d. Harga kontrak/Surat Perintah Kerja (SPK) untuk barang/pekerjaan sejenis setempat yang pernah dilaksanakan.
e. Informasi harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS), badan/instansi lainnya dan media cetak yang datanya dapat dipertanggungjawabkan.
f. Harga/tarif barang/jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/agen tunggal atau lembaga independen.
g. Daftar harga standar/tarif biaya yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
h. Informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi : Rakhmadsyah, Effendi Butar-Butar, Ruslan Effendi dan Syarifuddin Damanik dan dihubungkan dengan keterangan terdakwa diperoleh fakta hukum : pada tanggal 20 Maret 2007, terdakwa Ir.ROBERT MANYUZAR,MBA mengeluarkan dokumen Prakualifikasi Pelelangan Umum Nomor: 006.PQ-eA/610/PAT-PBJ/2007 dan mengeluarkan Pengumuman Pelelangan Nomor : 006.PQ-eA/610/PAT-PBJ/2007 Pengadaan Flame Tube PLTGU GT 12 PT PLN (Persero) KITSBU Sektor Pembangkitan Belawan melalui portal e-Procurement PT.PLN, sementara terdakwa Ir.ROBERT MANYUZAR,MBA belum membuat dan menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS);
“Selanjutnyaberdasarkan informasi harga dari PT SIEMENS INDONESIA dan berdasarkan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang dibuat Manager Perencanaan terdakwa menyusun sendiri HPS tanpa melibatkan anggota panitia lainnya; ...  terdakwa tidak secara tegas menjelaskan spesifikasi barang yang diadakan pada saat dilakukan anwyzing pada hari Selasa tanggal 8 Mei 2007, terdakwa tidak melakukan analisis yang mendalam terhadap lingkup pengadaan barang dan jasa yang akan dilakukan sesuai dengan penjelasan surat dari PT Siemens ... , terdakwa tidak ada melakukan survei ke PT. Siemens Indonesia di Jakarta, terdakwa tidak ada menanyakan kepada PT. Siemens apakah flame tube seperti dimaksud dalam rencana pengadaan barang dan jasa masih diproduksi atau tidak;
“Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan menilai dan mempertimbangkan apakah perbuatan terdakwa yang mengusulkan CV. Sri Makmur sebagai calon pemenang lelang telah menyalahgunakan kewenangan terdakwa selaku Ketua Panitia Pengadaan barang dan Jasa;
“Menimbang, bahwa didalam ketentuan Lampiran I Bab II Keppres Nomor 80 Tahun 2003, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah pada Huruf A. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Yang Memerlukan Penyediaan Barang/Jasa angka 1. Pelelangan Umum huruf g. Pembuktian Kualifikasi, merumuskan sebagai berikut : terhadap penyedia barang/jasa yang akan diusulkan sebagai pemenang dan pemenang cadangan, dilakukan verifikasi terhadap semua data dan informasi yang ada dalam formulir isian kualifikasi dengan meminta rekaman atau asli dokumen yang sah dan bila perlu dilakukan konfirmasi dengan instansi terkait;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi ... , diperoleh fakta hukum : bahwa CV. Sri Makmur adalah rekanan PT. PLN (Persero) KITSBU dan terdakwa mengusulkan CV. Sri Makmur sebagai calon pemenang lelang berdasarkan evaluasi harga penawaran terendah, sedangkan faktanya terdakwa tidak ada melakukan pembuktian kualifikasi, tidak ada melakukan pemeriksaan kemampuan dasar perusahaan CV. Sri Makmur dan seharusnya terdakwa memberikan persyaratan tambahan kepada peserta lelang termasuk kepada perusahaan CV. Sri Makmur karena pekerjaan pengadaan flame tube PLTGU GT 1.2 PT.PLN (Persero) KITSBU merupakan pekerjaan khusus/spesifik/teknologi tinggi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian dan fakta hukum tersebut diatas, terdakwa sebagai Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa, memiliki kewenangan untuk melaksanakan pelelangan umum dan mengusulkan calon pemenang lelang sesuai dengan ketentuan yang semestinya, akan tetapi ternyata terdakwa telah melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dengan cara yang bertentangan atau tidak sesuai dengan tujuan dan filosofi dari pengadaan barang dan jasa, oleh karenanya Majelis Hakim berkeyakinan bahwa unsur : “menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan “, telah terbukti dan terpenuhi.
“Menimbang, bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor : 1/1955/M/ Pid, tanggal 22 Desember 1955, menguraikan tentang pengertian turut serta sebagai berikut :
- Bahwa terdakwa adalah medepleger (kawan peserta) dari kejahatan yang didakwakan, dapat disimpulkan dari peristiwa yang menggambarkan bahwa terdakwa dengan saksi-saksi bekerja bersama-sama dengan sadar dan erat untuk melaksanakan tindak pidana yang didakwakan kepadanya;
- Bahwa terdakwa adalah medepleger (kawan peserta) dalam tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa tidak perlu terdakwa sendiri yang melakukan perbuatan tindak pidana;
- Bahwa seorang kawanan peserta yang turut melakukan tindak pidana tidak usah memenuhi segala unsur yang oleh undang-undang dirumuskan untuk tindak pidana itu dan denda;
“Menimbang, bahwa oleh karena dalam perkara Tindak Pidana Korupsi sifat Penghukuman secara “double track system”, terhadap Terdakwa selain dijatuhi Pidana Penjara turut pula dijatuhi pidana denda yang besarnya akan ditentukan dalam amar putusan ini.
“Menimbang, bahwa dalam mempertimbangkan masalah pemidanaan, maka seorang Hakim biasanya akan mempergunakan beberapa pendekatan yang salah satunya adalah ”Pendekatan Keseimbangan”. dan yang dimaksud dengan pendekatan keseimbangan disini adalah adanya sebuah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh sebuah undang-undang atau peraturan dan kepentingan pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara yang diantaranya, kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban;
“Menimbang bahwa Korban (victims) dari kejahatan korupsi adalah negara dan rakyat, karena dengan adanya kejahatan korupsi maka “keuangan” dan perekonomian negara menjadi berkurang dan terganggu, lebih dari itu, korbannya adalah masyarakat yang lemah secara ekonomis serta rentan secara politis. Rakyat miskin menjadi tidak dapat berkehidupan secara layak dan anaknya tidak dapat mendapat pendidikan yang wajar, para koruptor menjadikan negara sebagai korban (Victim State). Untuk itu, diperlukan adanya perangkat hukum yang kuat untuk menanggulangi korupsi. Dengan mengutip filosof Plato, Amartya Sen dalam bukunya Development As Freedom) (1999;127-127) mengatakan Plato suggested in the Laws that a strong sense of duty would help to prevent corruption, maka diperlukan adanya rasa tanggung jawab bersama yang kuat untuk mencegah timbulnya korupsi;
“Menimbang selanjutnya mengenai keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa, dalam praktek kepentingan masyarakat umumnya dirumuskan dalam pertimbangan memberatkan sedangkan kepentingan terdakwa dirumuskan dalam pertimbangan meringankan;
“Menimbang, bahwa Hakim didalam membuat pertimbangan memberatkan dan meringankan tidaklah sekedar memenuhi syarat pemidanaan yang diatur dalam Hukum Acara, melainkan harus bersifat substantif dan materiil, karena pertimbangan yang memberatkan dan meringankan merupakan faktor penentu berat ringannya pidana (straafmaat) yang akan dijatuhkan.;
“Menimbang, bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk mengembalikan atau memulihkan pelaku kejahatan menjadi warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab, dengan tujuan tidak terbatas sebagai kewajiban Lembaga Pemasyarakatan, akan tetapi sudah seharusnya diperhitungkan pula pada saat penjatuhan pidana oleh seorang Hakim;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim berpendirian bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa haruslah dipidana yang sesuai dengan tujuan pemidanaan yang mana tujuan pemidanaan bukanlah semata-mata merupakan tindakan pembalasan atau balas dendam maupun penjeraan melainkan pemidanaan kepada terdakwa sebagai usaha preventif dan represif agar terdakwa dapat merenungkan perbuatan selanjutnya dikemudian hari, lebih tegas pidana yang dijatuhkan ini bukan untuk menurunkan derajat terdakwa sebagai manusia, akan tetapi lebih bersifat edukatif dan motivatif agar terdakwa tidak akan mengulangi untuk melakukan perbuatan tersebut lagi.
“Bahwa pemidanaan terhadap terdakwa ini sebagai upaya perbaikan terdakwa dan reintegrasi sosial dimana diharapkan agar terdakwa dapat memperbaiki dirinya dan menjadi manusia yang baik dan berguna ketika kembali berbaur ke masyarakat serta pemidanaan ini sebagai usaha prevensi umum bagi masyarakat lainnya agar masyarakat tidak untuk ikut melakukan perbuatan tersebut dan sekaligus sebagai bentuk perlindungan bagi masyarakat.
“Selain itu pemidanaan kepada terdakwa selaras dengan sistem pemasyarakatan dimana pemidanaan ini sebagai upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik;
M E N G A D I L I
1. Menyatakan Terdakwa Ir. ROBERT MANYUZAR, MBA tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Primair;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari Dakwaan Primair:
3. Menyatakan Terdakwa Ir. ROBERT MANYUZAR, MBA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”Korupsi secara bersama-sama”;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama : 8 (delapan) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar harus diganti dengan hukuman kurungan selama 6 (enam) bulan;
5. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.