ARTIKEL HUKUM
Tak ada yang perlu dibanggakan dengan menjadi seorang penindas. Menindas itu
nikmat, namun disaat bersamaan membodohi diri sendiri seakan dirinya tak akan
dapat menjadi objek penindasan dikemudian hari. Seakan, dirinya sendiri bahagia
ditindas sehingga hanya paham untuk memberi penindasan. Tampaknya, warga masyarakat
di Indonesia berkeberatan disebut sebagai bangsa “penindas”.
Baiklah, jika demikian kita juluki saja sebagai bangsa “tukang bully”—julukan ini tak dapat lagi dipungkiri,
dimana berbagai pemberitaan surat kabar kian mengukuhkan asumsi tersebut—fakta mana
dapat kita afirmasi lewat kehidupan sehari-hari yang kita rasakan sendiri.
Jangan salahkan seekor anjing yang menyalak dan menggigit Anda ketika Anda
menginjak ekornya. Dalam kesempatan artikel singkat ini, penulis tidak akan
menyinggung perihal hukum, namun kita akan membahas bersama secara sederhana
dalam kajian sosiologi dan psikologi sosial konteks fenomena masyarakat penggemar
“bully” ini.
Ketika seseorang menyakiti anggota masyarakat lainnya, yang tersakiti
adalah wajar jika menjerit dan memekik, atau bahkan akan memaki Anda. Menjadi mengherankan,
sang pelaku justru balik berkomentar: “Dasar tidak sopan. Jika mau marah,
marahnya yang sopan dong! Akan saya gugat pencemaran nama baik !”
Kok jadi pelaku, yang protes?
Ketika pelaku pencopetan gagal mencuri dompet dari saku calon korbannya,
dan sang korban marah serta melawan, justru sang penjahat bersikap lebih garang
dan lebih marah dari sang pelaku—marah karena akal bulusnya tak berhasil merampok
hak-hak dari sang korban.
Kok pencopet lebih galak dari korbannya?
Ketika seorang tetangga membangun rumah dengan merusak properti rumah
tetangganya, bahkan menyerobot lahan sang tetangga, tetangga yang merasa
dirugikan marah dan melapor pada pihak berwajib. Para ibu-ibu yang satu ‘geng’
dengan pemilik tanah yang sedang membangun rumah baru, kemudian bergosip dan
dengan percaya dirinya berseru lantang, “Itu yang lapor-lapor, biasalah, iri dengan
yang punya rumah baru.”
Pelaku justru menghakimi korban, kok bisa?
Kejadian sehari-hari seperti contoh diatas terjadi secara masif, terselubung
maupun secara vulgar, baik dalam lingkungan kantor tempat kerja, sekolah dasar,
perkuliahan, instansi swasta maupun pemerintahan, pengadilan, hingga sekaliber
mahkamah konstitusi dan lingkungan rumah tangga tanpa terkecuali. Secara internal
dan eksternal, maupun secara makro dan mikro, perilaku tidak senonoh
dipertontonkan tanpa adanya rambu pembatas bernama “rasa malu” ataupun
introspeksi diri—suatu fenomena sosial yang sangat disayangkan meski tingkat
pendidikan masyarakat dan kecanggihan teknologi maju secara pesatnya.
Pelaku yang berbalik menyalahkan pihak korban, merupakan suatu defence mechanism, bila kita
mengamatinya dari kacamata ilmu psikologi. Masalah mulai timbul, ketika masyarakat
mulai terlampau sering bahkan menjadikan mekanisme pertahanan diri ini sebagai
karakter karena kerap secara ‘boros’ dipergunakan di keseharian, sehingga secara
tidak langsung menjadi bagian dari jati dirinya. Hal ini bagai mengukir batu
membentuk sosok diri kita sendiri.
Perilaku demikian tidaklah sehat, karena untuk mengobati suatu penyakit,
kita harus menyadari bahwa diri kita sedang sakit dan memiliki penyakit. Seseorang
dengan asumsi bahwa dirinya baik-baik saja, cenderung akan melanjutkan hidup
seperti kebiasaan sehari-hari tanpa merasa ada yang keliru dengan dirinya. Mengakui
suatu penyakit diri, itulah langkah pertama penyembuhan dan perbaikan diri.
Orang yang hidup dengan pedang, akan mati karena pedang sebagaimana
pepatah klasik berpesan dan masih tetap relevan sepanjang masa. Orang yang
mencari kesenangan dengan menindas orang lain—OK, saya koreksi menjadi ‘mem-bully’ orang lain—akan tewas oleh cara-cara
serupa. Memfitnah akan difitnah. Melecehkan akan dilecehkan. Demikian
seterusnya dan selanjutnya.
Kita semua pernah mengalami hal serupa, atau mungkin diri kitalah salah
satu pelaku bullying demikian. Bagi pelaku,
carilah cara-cara lain yang lebih kreatif dalam mencari penghiburan ataupun
untuk membuat diri tampak berkuasa. Praktik-praktik bully sejatinya merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan.
Lebih membingungkan, kita sadar disakiti tidaklah menyenangkan perasaan
diri kita. Gaibnya, rata-rata pelaku bully
ialah para mantan korban bully. Dalam
kacamata psikoanalisis, kemarahan terpendam yang tidak dapat dikenali oleh
dirinya sendiri, mengakibatkan disorientasi mental sehingga mengakibatkan
karakternya justru pada gilirannya menyerupai sosok sang pelaku. Oleh karenanya,
mengakui adanya luka batin ini adalah penting sebagai langkah awal penyembuhan mental.
Manusia satu yang tidak bisa menghormati martabat manusia lain, sejatinya
tidak akan mampu menghormati martabat dirinya sendiri. Segala bentuk output diri, adalah cerminan apa yang
ada di dalam diri seseorang. Seseorang dengan tabiat/kegemaran untuk berkata
buruk, memiliki alam batin yang sama buruk bahkan terhadap diri dan keluarganya
sendiri. Seseorang tanpa welas asih, bahkan takkan mampu bersikap welas asih
terhadap dirinya sendiri, sejatinya adalah tipe orang yang patut dikasihani.
Merendahkan harkat martabat manusia lain, sama artinya merendahkan harkat
martabat dirinya sendiri. Untuk itu mari kita buktikan dengan permainan logika
berikut. Anda tahu ada seekor anjing berdiri di samping Anda. Anda berniat iseng
dan merasa berhak untuk menindas (baca: bully)
anjing tersebut sesuka hati Anda—asumsi bodoh dimana Anda merasa berhak untuk
menyakiti dan merugikan pihak lain, meski sejatinya Anda tak pernah memiliki
hak untuk itu.
Dengan merasa kebal hukum, atau merasa berkuasa, Anda kemudian benar-benar
menginjak ekor anjing tersebut yang sama sekali tidak mengganggu Anda selama
ini.
Apa yang kemudian terjadi?
Jelas dan wajar, bila anjing tersebut memekik, menggonggong, atau bahkan
menggigit bokong Anda dengan begitu marahnya.
Apakah Anda hendak mengatakan bahwa anjing tersebut “tidak sopan”? Apakah
Anda hendak berkata bahwa anjing tersebut merasa iri, bahwa dirinya hanya
seekor anjing bertampang bodoh sementara Anda seorang pria tampan atau wanita
cantik jelita, sehingga menggigit bokong Anda?
Waspadalah terhadap justifikasi diri. Pembenaran diri membuat Anda takkan
mampu melihat kesalahan diri Anda sendiri. Ketika seseorang tidak mampu melihat
kesalahan dirinya sendiri, selamanya ia tidak akan mampu memperbaiki diri, dan
akan selalu menyalahkan pihak lain meski sumber masalah terletak pada dirinya
sendiri.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.