Hukum Mencegah Kerugian, Bukan Menunggu Kerugian Terjadi

LEGAL OPINION
Question: Pak Hery (dari SHIETRA & PARTNERS) sempat menyinggung perihal diamputasinya frasa “dapat merugikan keuangan negara” pada UU Tipikor oleh MK (Mahkamah Konstitusi), nah lalu bagaimana bila praktik hukum perdata, semisal suatu pihak hendak menggugat pihak lain namun belum ada kerugian yang dapat dibuktikan?
Brief Answer: Pada falsafahnya hukum dibentuk untuk mencegah pelanggaran (preventif) terhadap hak-hak warga negara oleh suatu pihak, bukan bersifat kuratif. Betul bahwa teori klasik hukum perdata dalam kriteria gugatan “Perbuatan Melawan Hukum” mensyaratkan adanya sebentuk kerugian, sebelum dinyatakan berhak mengajukan gugatan—namun menunggu kerugian terjadi barulah hukum menunjukkan supremasinya merupakan konstruksi hukum yang sangat ‘mahal’ bagi kepentingan masyarakat umum.
Dalam konsepsi hukum pidana mengenai ‘kesengajaan’, dikenal tiga jenis derivatifnya, mulai dari kesengajaan dengan maksud sebagai kepastian, kesengajaan dengan maksud sebagai kemungkinan serta kesengajaan dengan maksud sebagai tujuan.
Merujuk pada konsepsi paling mendasar dalam hukum pidana demikian, pada falsafahnya bila suatu perbuatan yang bila tidak dicegah oleh aparat penegak hukum maka kerugian negara dapat dipastikan terjadi, maka percobaan korupsi sudah cukup sebagai sempurnanya delik tindak pidana korupsi (Tipikor) untuk mendapat vonis hukuman, sehingga tidak perlu menunggu keuangan negara benar-benar ‘terluka’ lebih dahulu yang belum tentu dapat dipulihkan dikemudian hari.
Bila konsepsi tersebut dianalogikan ke dalam konstruksi hukum perdata, pada prinsipnya kerugian perdata tidak harus selalu berupa kerugian yang dapat ‘diraba’ (tangible loss), namun perbuatan tergugat yang masuk dalam kategori kesengajaan dengan maksud merugikan sebagai kepastian atau kemungkinan, sudah cukup menjadikan kualifikasi Perbuatan Melawan Hukum secara perdata terpenuhi.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah landmark decision yang sangat terkenal dengan julukan ‘putusan mohon mangga’, yang SHIETRA & PARTNERS nilai sangat tepat untuk dijadikan rujukan serta ilustrasi, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata register Nomor 1022 K/Pdt/2006 tanggal 13 Desember 2006, perkara antara:
- Hi. A. M. THALIB, sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; melawan
- H. PURBA TONDANG, SE., selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Kasus tersebut sederhana, cenderung ‘membumi’ karena mungkin juga pernah kita alami dalam keseharian, disaat bersamaan penuh nuansa yuridis disamping menegangkan untuk disimak. Sekitar tahun 1986, Penggugat membeli sebuah rumah semi permanen di atas tanah garapan (tanah Negara) dari penggarap tanah sebelumnya, sekitar tahun 1974.
Adapun lokasi tanah dan halaman rumah Penggugat, sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Lingkungan dimana tumbuh 2 (dua) buah pohon mangga milik Tergugat. Sewaktu Penggugat menempati tempat tersebut pada tahun 1986, 2 (dua) buah pohon mangga milik Tergugat masih kecil, dan yang satu pohon baru mulai berbuah.
Pada tahun 1993, tanah yang Penggugat tempati telah sah menjadi milik Penggugat, sesuai Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No.637. Oleh sebab pohon mangga milik Tergugat makin tahun semakin besar pertumbuhannya sehingga kian sulit untuk ditebang dan sangat mengganggu, serta dikhawatirkan akan mendatangkan bahaya/kerugian terhadap bangunan rumah Penggugat dan Warga yang ada di sekitarnya, yang dapat diakibatkan oleh angin kencang, sehingga pohon mangga milik Tergugat tiba-tiba rubuh, apalagi pohon dahan dan akar sudah mentiung 75% pada halaman/pekarangan Penggugat, dimana sebagian dahan ranting dan daun sudah menyatu dengan atap seng bangunan rumah Penggugat.
Oleh karena itu Penggugat mohon agar dua pohon mangga milik Tergugat yang tumbuh pada halaman/pekarangan Penggugat dan badan Jalan Lingkungan supaya memerintahkan Tergugat untuk segera dimatikan/musnahkan, dengan biaya Tergugat.
Sekitar tahun 1998, Penggugat pernah menghubungi RT setempat agar Tergugat mau merelakan pohon mangga untuk ditebang dan diganti kerugian, namun Tergugat menolak maksud baik Penggugat, akhirnya Penggugat membuat surat tertanggal 14 September 1998, yang merupakan laporan/pengaduan kepada Kapolda Irian Jaya, tapi tidak ada realisasinya—bukti bahwa sikap lalai/abainya aparatur negara menimbulkan berbagai kerugian bagi warga negara.
Pada tanggal 2 Februari 1999, Penggugat membuat surat permohonan kepada Walikotamadya Jayapura, dan setelah Tim Gabungan Walikotamadya mengadakan peninjauan lokasi, dan melaporkan hasil peninjauan kepada Walikotamadya Jayapura dengan surat tertanggal 2 Februari 1999.
Berdasarkan hasil peninjauan Tim Gabungan tersebut, Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Jayapura, lalu membuat surat tertanggal 2 Februari 1999 kepada Tergugat, namun Tergugat dengan suratnya tertanggal 10 Maret 1999 secara tegas menolak.
Selanjutnya, Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Jayapura setelah mempelajari surat tanggapan Tergugat, akhirnya membuat surat kepada Tergugat tanggal 25 Maret 1999 dengan substansi secara tegas terhadap Tergugat, apabila di kemudian hari terjadi suatu kerugian orang lain, adalah merupakan tanggungjawab Saudara Kapten Polisi H. Purba Tondang, SE—rupa-rupanya Tergugat adalah polisi, sehingga merasa kebal hukum.
Dengan demikian Penggugat mohon apabila Tergugat tidak menghendaki agar 2 (dua) pohon mangga ditebang/dimusnahkan, dan ternyata di kemudian hari pohon mangga tersebut rubuh akibat angin kencang, serta merusak bangunan rumah Penggugat dan rumah-rumah Warga yang ada di sekitar, atau kecelakaan terhadap jiwa orang, maka adalah tanggungjawab Tergugat untuk mengganti kerugian sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku.
Penggugat juga mendalilkan, masuknya perkara adalah sebagai akibat perbuatan Tergugat selaku aparat keamanan yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dari pada kepentingan orang banyak. Tugas Polri adalah sebagai Pengayom, Pembimbing dan Pelindung Masyarakat, oleh karena itu harus berjiwa Reformasi dalam penyelesaian permasalahan ini.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Jayapura telah mengambil putusan, yaitu putusannya tanggal 10 Juli 2000 No.19/Pdt.G/1999/PN.Jpr., yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan perbuatan Tergugat yang menolak untuk menebang 2 (dua) pohon mangga yang ditanam di atas tanah Negara/rencana badan jalan yang mengganggu dan membahayakan rumah Penggugat atau perumahan yang ada disekitarnya adalah perbuatan Melawan hukum;
3. Menghukum Tergugat untuk menebang/memusnahkan 2 (dua) pohon mangga yang terletak di badan Jalan Krisno, Kelurahan Angkasapura dengan biaya Tergugat;
4. Menyatakan putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu;
5. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya dalam perkara ini yang diperhitungkan sebesar Rp.397.000,- (tiga ratus sembilan puluh tujuh rupiah);
6. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.”
Putusan Pengadilan Negeri diatas, dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Irian Jaya di Jayapura dengan putusannya tanggal 10 Juli 2001 No.12/Pdt/2001/PT.IRJA., yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
- Menerima permohonan banding dari Tergugat semula Pembanding tersebut di atas;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor 19/Pdt.G/1999/PN.Jpr. tanggal 10 Juli 2000, yang dimohonkan banding tersebut;
MENGADILI SENDIRI :
Dalam Eksepsi :
- Menolak seluruh eksepsi Tergugat/Pembanding;
Dalam Pokok Perkara :
- Menyatakan gugatan Penggugat/Terbanding tidak dapat diterima.”
Terkejut mendapati putusan Pengadilan Tinggi, Penggugat tidak punya pilihan lain selain mengajukan upaya hukum kasasi, dengan menyampaikan bahwa perasaan kecemasan, ketakutan akan bahaya yang mengancam tiap saat adalah bentuk-bentuk kerugian yang saat ini telah dan sedang dialami Pemohon Kasasi/Penggugat selama dan sepanjang kedua pohon mangga tetap berdiri di depan rumah Pemohon Penggugat.
 Dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“bahwa keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan, karena Pengadilan Tinggi Irian Jaya di Jayapura telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut :
- Bahwa Pengadilan Tinggi Irian Jaya di Jayapura membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jayapura karena menganggap bahwa Negara harus digugat, hal ini tidak dapat dibenarkan, oleh karena sesuai dengan Yurisprudensi bahwa Penggugatlah yang berwenang untuk menentukan siapa-siapa yang digugat (putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 16 Juni 1971 No.305 K/Sip/1971);
- Bahwa selain dari pada itu Negara tidak merugikan kepentingan Pemohon Kasasi/Penggugat, karena yang dianggap merugikan dari Pemohon Kasasi/Penggugat adalah Termohon Kasasi/Tergugat, yang menanam pohon di pinggir jalan raya, dan ternyata telah mengganggu hak dan kepentingan Pemohon Kasasi/Penggugat;
- Bahwa pertimbangan Pengadilan Tinggi Irian Jaya di Jayapura yang menganggap bahwa kerugian dari Pemohon Kasasi/Penggugat belum nyata, tidak dapat dibenarkan, oleh karena kerugian tidak selalu harus diartikan adanya kerugian materiil, tetapi kerugian dapat juga diartikan apabila kerugian itu mengancam hak dan kepentingan Pemohon Kasasi/Penggugat;
- Bahwa dalam perkara a quo, pohon yang ditanam oleh Termohon Kasasi/Tergugat telah besar dan mengganggu bangunan di pekarangan milik Pemohon Kasasi/Penggugat, dan dikhawatirkan apabila ada angin kencang dapat membahayakan keselamatan orang lain dan bangunan Pemohon Kasasi/Penggugat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi : Hi. A. M. Thalib tersebut dan untuk membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Irian Jaya di Jayapura tanggal 10 Juli 2001 No.12/Pdt/2001/PT.IRJA. tersebut, sehingga Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jayapura tanggal 10 Juli 2000 No.19/Pdt.G/1999/PN.Jpr. yang dianggapnya telah tepat dan benar yang pertimbangannya diambil alih oleh Mahkamah Agung sebagai pertimbangannya sendiri dan seluruh amarnya berbunyi seperti yang akan disebutkan dibawah ini;
M E N G A D I L I
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Hi. A. M. THALIB tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Irian Jaya di Jayapura tanggal 10 Juli 2001 No.12/Pdt/2001/PT.IRJA.;
DAN MENGADILI SENDIRI :
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian ;
2. Menyatakan perbuatan Tergugat yang menolak untuk menebang 2 (dua) pohon mangga yang ditanam di atas tanah Negara/rencana badan jalan yang mengganggu dan membahayakan rumah Penggugat atau perumahan yang ada disekitarnya adalah perbuatan Melawan hukum;
3. Menghukum Tergugat untuk menebang/memusnahkan 2 (dua) pohon mangga yang terletak di badan Jalan Krisno, Kelurahan Angkasapura dengan biaya Tergugat;
4. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.”
Penulis memiliki sebuah perumpamaan yang dapat merepresentasi kejadian bila gugatan perdata seorang warga ditolak hakim pengadilan hanya karena kerugian belum terjadi, yakni ibarat seseorang warga mengunjungi gedung pengadilan untuk meminta keadilan, lantas sang pencari keadilan berteriak ketika tiada seorang pun petugas pengadilan menampakkan batang hidung mereka ataupun membuka akses menuju keadilan: “Haloo, Pak Hakim dan Ibu Hakim sekalian, apa ada hakim pengadil di pengadilan ini?”
Dengan maksud untuk bersembunyi, justru sang hakim yang duduk manis di dalam gedung pengadilan yang sejuk kemudian memberi jawaban lewat berseru: “Maaf Pak, tidak ada orang di gedung ini.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.