ARTIKEL HUKUM
Mahkamah
Konstitusi RI Membiarkan Praktik Penyelundupan Hukum Ketenagakerjaan
Untuk dapat mengajukan uji materiil terhadap undang-undang terkait
kepresidenan, apakah artinya pemohon uji materiil harus menjadi seorang
presiden terlebih dahulu baru dinyatakan berhak untuk menguji materiil?
Karena setiap orang berhak untuk mengajukan dirinya menjadi presiden,
maka pada prinsipnya setiap Warga Negara Indoensia berhak untuk mengajukan uji
materiil (judicial review) undang-undang
terkait kepresidenan ke hadapan Mahkamah Konstitusi.
Namun tampaknya telah melakukan abuse
of power ketika MK RI menyatakan penulis tidak berhak mengajukan uji
materiil terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan alasan bahwa penulis selaku
pemohon uji materiil hanyalah seorang konsultan, bukanlah seorang pekerja. Apakah
artinya penulis tidak berhak untuk menjadi seorang pekerja?
Penulis telah memiliki pengalaman kerja sebagai karyawan, yang tentunya
banyak diantara kita pernah memiliki nasib diikat hubungan kerja kontrak alias Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT)—tidak terkecuali penulis. Sebagaimana kita ketahui
bersama dan telah menjadi pengetahuan umum, berbagai kantor hukum besar di Indonesia
mengikat konsultan hukum yang menjadi pegawai kantor mereka dengan hubungan
PKWT, meski bidang usaha utama kantor konsultasi hukum tentunya ialah
konsultasi hukum oleh konsultan hukum—alias jenis pekerjaannya tetap.
Kini, penulis dapat merasakan kemarahan Yusril Izra Mahendra, ketika
dirinya pun mengalami nasib serupa dengan penulis, dimana permohonan uji
materiil beliau terkait undang-undang “Pemilukada serentak” pun dinyatakan “tidak dapat diterima” dengan alasan “Mahkamah Konstitusi tidak berwenang
memeriksa dan memutus permohonan Pemohon”.
Sontak Yusril Izra Mahendra menyatakan: “Lantas, untuk apa mereka menyebut
diri mereka sebagai the sole interpreter
of constitution ?” Jika Mahkamah Konstitusi menyatakan dirinya tak
berwenang memberi penafsiran atas undang-undang ataupun mengujinya, lantas lembaga
mana yang berwenang untuk itu? Lantas untuk apa Mahkamah Konstitusi didirikan?
Sejatinya bukan hanya Yusril yang telah dan pernah menjadi korban dari
kesembilan Hakim Konstitusi RI, begitupula banyak dialami para Pemohon lainnya.
Dalam satu dekade terakhir ini, Mahkamah Agung RI banyak menghasilkan putusan
yang diakui sebagai landmark decision.
Sebaliknya, Mahkamah Konstitusi justru kini menorehkan “prestasi” berupa putusan-putusan
yang kontroversial dan cenderung berpihak pada kekuasaan (lihat bagaimana Mahkamah
Konstitusi mengamputasi frasa “dapat” dalam UU Tipikor pada awal tahun 2017).
Dengan dinyatakan “tidak dapat diterimanya” permohonan uji materiil yang
diajukan oleh penulis, praktis menjadi ajang penyelundupan hukum besar-besaran oleh
kaum pengusaha untuk mengikat seluruh pekerjanya dengan PKWT, apapun jenis
pekerjaannya, berapa lama pun pekerjaan itu berlangsung—seperti halnya fakta
bahwa sebagian besar karyawan Mahkamah Konstitusi RI merupakan pekerja kontrak
meski mereka telah mengabdi di MK RI selama belasan tahun lamanya.
Apa motif dan motivasi bagi pengusaha untuk mengikat pekerjanya dengan
PKWT? Tidak lain, agar tiada resiko Upah Proses saat pengusaha memecat
karyawannya, sekalian pengusaha berada di pihak yang salah karena jenis
pekerjaan pekerjanya ialah pekerjaan tetap atau telah melampaui batas waktu
tiga tahun tanpa terputus.
Inilah praktik penyelundupan hukum yang kemudian dibiarkan dan dilegalkan
oleh Mahkamah Konstitusi RI. Penulis merasakan kepedihan mendalam yang sama
seperti yang dirasakan oleh Yusril Izra Mahendra, merasakan kediktatoriatan
kesembilan Hakim Konstitusi yang memegang monopoli di bangku hakim namun “malas”
untuk memeriksa duduk perkara, dengan mudahnya membuat putusan yang sumir dan
penuh keberpihakan terhadap pihak-pihak tertentu.
Telah terhitung belasan putusan MK RI mengabulkan permohonan uji materiil
yang diajukan para dosen dan pengacara atas nama pribadi, namun dikabulkan. Mengapa
permohonan penulis di-“sentuh pun tidak” ? Ini menjadi tanda tanya besar.
Menurut Anda, apabila seorang pekerja yang dikontrak selama 1 (satu) tahun,
dengan jenis pekerjaan tetap, kemudian pada akhir tahun secara seketika dipecat
oleh pengusaha dengan mengatasnamakan masa jangka waktu kerja dalam PKWT sudah
berakhir, apakah worthed untuk
mengajukan gugatan ke PHI hanya untuk mendapat pesangon 1 (satu) kali upah?
Tentu tidak !!!
Pekerja/buruh yang memiliki masa kerja tiga tahun kebawah, memiliki
tujuan utama berupa diberikannya Upah Proses, yang paling tidak dapat diperoleh
6 (enam) bulan. Namun kini Mahkamah Konstitusi telah memupus harapan tersebut,
harapan seluruh tenaga kerja di Indonesia yang berjumlah jutaan tenaga kerja
PKWT.
Mahkamah Konstitusi RI telah menistakan harkat serta martabat para
pekerja/buruh PKWT dengan mengamputasi hak-hak mereka atas Upah Proses. Hal ini
membuka pintu gerbang semakin maraknya pengusaha yang mengikat pekerja tetapnya
dengan PKWT GUNA MENGHINDARI UPAH PROSES.
Meski telah penulis berikan delapan putusan Mahkamah Agung RI yang
berpendirian bahwa PKWT yang meski “demi hukum” dinyatakan sebagai Pekerja
Tetap namun secara bersamaan dinyatakan tidak berhak atas Upah Proses, sebagaimana
terbukti dalam:
- Putusan Mahkamah Agung RI register
perkara Nomor 255 K/Pdt.Sus-PHI/2016
tanggal 18 Mei 2016, dimana Mahkamah Agung menganulir Upah Proses yang
diberikan PHI, dengan pertimbangan hukum:
“Bahwa terbukti Penggugat masih
dipekerjakan oleh Tergugat walaupun sudah habis masa perjanjian sebagaimana
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, oleh karenanya berdasarkan ketentuan Pasal 59
ayat (7) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, demi hukum berubah menjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu;
“Bahwa dengan demikian
Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Penggugat harus disertai dengan kompensasi
hak berupa pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan Uang Penggantian
Hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tanpa upah proses karena berakhirnya hubungan kerja dari Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu berubah demi hukum menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu semata oleh putusan pengadilan.”
- Putusan Mahkamah Agung
register Nomor 598 K/Pdt.Sus-PHI/2015 tanggal 26 Oktober 2015, dimana pertimbangan
hukum Mahkamah Agung sebagai berikut:
“Bahwa menurut Nota Peringatan
dari Disnakertrans ... menyatakan bahwa bidang/jenis pekerjaan yang
diperjanjikan dalam hubungan kerja adalah pekerjaan yang bersifat terus-menerus
atau tetap sehingga hubungan kerjanya tidak boleh dalam Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT);
“Bahwa karena hubungan kerja
antara penggugat dengan Tergugat semula didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (PKWTT) yang sama-sama telah ditanda-tangani oleh kedua belah
pihak, maka sudah seadilnya atas PHK ini Penggugat tidak diberikan Upah
Proses.”
- Penafsiran Mahkamah Agung RI register perkara Nomor 379
K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 31 Mei 2016, dimana Mahkamah Agung menganulir Upah
Proses yang diberikan PHI, dengan interpretasi:
“..., namun adil tidak
berhak atas upah proses karena perubahan status menjadi PKWTT dari Pekerja
harian lepas/PKWT semata berdasarkan putusan Pengadilan, sebagaimana
praktek-praktek putusan Pengadilan yang telah berulang-ulang terhadap kasus
yang sejenis tidak memberikan upah proses.”
- Penafsiran Mahkamah Agung RI register Nomor 501
K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 18 Agustus 2016:
“... harus membayar uang
pesangon sebagaimana telah benar penerapan hukum dan perhitungannya oleh Judex
facti dengan tanpa upah proses sesuai kebiasaan dalam praktek peradilan
memutus perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.”
- Penafsiran Mahkamah Agung RI register perkara Nomor 404
K/Pdt.Sus-PHI/2014 tanggal 29 September 2014:
“Bahwa putusan PHI yang tidak
mengabulkan tuntutan Penggugat atas upah proses PHK dalam perkara a quo telah
benar dan memenuhi rasa keadilan sebagaimana dimaksud ketentuan dalam
Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, karena berbeda dengan tindakan PHK
yang dilakukan terhadap Pekerja yang jika semula hubungan kerjanya memang telah
didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, dimana dalam perkara a
quo tindakan PHK yang dilakukan oleh Tergugat kepada Penggugat a quo didasarkan
pada asumsi bahwa hubungan kerja antara Penggugat dengan Tergugat a quo
berakhir demi hukum karena berakhirnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian
kerja waktu tertentu, dan oleh karenanya sudah patut dan seadilnya Tergugat
tidak dihukum untuk membayar upah proses pasca tindakan PHK a quo.”
- Penafsiran Mahkamah Agung RI register Nomor 39 K/Pdt.Sus-PHI/2016
tanggal 08 Maret 2016:
“Bahwa namun demikian putusan
Judex Facti harus diperbaiki sepanjang upah proses karena hubungan kerja semula
dalam PKWT berdasarkan putusan pengadilan menyatakan PKWTT, sehingga terhadap
fakta hukum alasan PHK demikian berdasarkan keadilan dan praktek-praktek
peradilan dalam memutus perkara tidak berhak atas upah proses.”
- Penafsiran Mahkamah Agung RI register Nomor 196 K/Pdt.Sus-PHI/2016
tanggal 25 April 2016:
“Bahwa pemutusan hubungan kerja
(PHK) dengan membayar upah proses selama 6 (enam) bulan upah adil tidak
diberikan, menimbang PHK dalam hubungan kerja PKWTT semata-mata berdasarkan
putusan pengadilan, lagi pula para pihak telah menandatangani PKWT a quo
sehingga berdasarkan praktek-praktek peradilan dalam putusan-putusan
Mahkamah Agung terhadap PHK perkara sejenis tidak berhak atas upah proses.”
- Penafsiran Mahkamah Agung RI
register Nomor 788 K/Pdt.Sus-PHI/2015 yang memberi pesangon namun menganulir
Upah Proses:
“Bahwa namun demikian putusan
Pengadilan Hubungan Industrial yang juga menghukum Tergugat membayar upah
proses kurang memberikan rasa keadilan sebagaimana dimaksud ketentuan dalam
Pasal 100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, sehingga harus dihilangkan karena
pengakhiran hubungan kerja oleh Tergugat a quo semula didasarkan karena
berakhirnya masa kerja yang diperjanjikan.”
Tidak satupun dalil penulis yang mampu dijawab oleh kesembilan Hakim
Konstitusi, namun secara sumir seketika menyatakan permohonan “tidak dapat
diterima”. Salah satu bukti argumentasi penulis, ialah fakta hukum berupa:
- Pasal 6 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan): “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
Sumber kerugian yang dialami
oleh penulis, ialah terkecoh oleh rumusan yang tampak “sudah jelas”, namun
senyatanya membuka ruang interpretasi sebagaimana diadopsi oleh Mahkamah Agung
RI, yakni menafsirkan “tanpa diskriminasi” dengan sudut pandang apple to apple
pareto principle, yakni:
1. Memperlakukan pekerja “PKWTT sejak semula” sama dengan “PKWTT sejak
semula” lainnya;
2. Memperlakukan pekerja “PKWTT demi hukum” sama dengan “PKWTT demi
hukum” lainnya;
3. Memperlakukan pekerja “PKWT sejak semula” sama dengan “PKWT sejak
semula” lainnya; dan
4. Memperlakukan standar yang berbeda terhadap masing-masing jenis
pekerja yang berbeda tersebut diatas. Antara Pekerja Borongan diperlakukan
secara berbeda dengan Pekerja Harian. Antara Pekerja Harian diperlakukan secara
berbeda dengan Pekerja Tetap. Sehingga antara Pekerja Tetap dengan Pekerja
“PKWTT demi hukum” maupun dengan Pekerja “PKWT sejak semula”-pun diperlakukan
secara berbeda.
5. PHK terhadap PKWTT mensyaratkan penetapan pengadilan
penyelesaian hubungan industrial, sementara PHK terhadap PKWT tidak
mensyaratkan penetapan.
Dimanakah letak “sudah
jelas”-nya frasa “tanpa diskriminasi” bila disaat bersamaan terjadi antinomi
(ambiguitas) yang disebabkan oleh standar ganda yang dianut UU Ketenagakerjaan?
- Pasal 59 Ayat (7) UU
Ketenagakerjaan: “Perjanjian kerja untuk
waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi
perjanjian kerja waktu tidak tertentu.”
Adapun ruang penafsiran yang
berkembang, antara lain:
1. “Demi hukum” terjadi oleh
sebab amar putusan hakim berjenis amar putusan constitutif, sehingga dihitung
sejak hakim menjatuhkan amar putusan—sehingga berkonsekuensi logis tak mendapat
Upah Proses;
2. “Demi hukum” terjadi sejak
pelanggaran kaedah hukum terjadi, dimana amar putusan hakim hanya bersifat
jenis amar declaratif semata—sehingga menjadi jelas mendapat Upah Proses;
ataukah
3. ”Demi hukum” terhitung sejak
saat pekerja/buruh mulai bekerja.
- Pasal 155 Ayat (2) UU
Ketenagakerjaan: “Selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha
maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”
Adapun ruang penafsiran yang
berkembang, antara lain:
1. Selama belum terdapat
putusan pengadilan yang membatalkan pemutusan hubungan kerja (PHK) atas dasar
masa berlaku dalam PKWT, maka PHK dapat dibenarkan sehingga tiada konsekuensi
yuridis berupa Upah Proses;
2. Pasal 61 Ayat (1) UU
Ketenagakerjaan menyatakan: “Perjanjian
kerja berakhir apabila: b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c. adanya
putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”—Pekerja
PKWT menggunakan mekanisme Butir (b), sementara koridor Butir (c) berlaku
terhadap “PKWTT sejak semula”.
3. Selama PKWT belum
dibatalkan pengadilan, maka jangka waktu perjanjian kerja diasumsikan benar
adanya. Bila PKWT harus dibatalkan buruh/pekerja selama dirinya masih
bekerja agar dapat dinyatakan sebagai pekerja tetap, sama artinya MK RI mengadu
domba antara pihak buruh/pekerja terhadap pengusaha yang belum memecat sang
pekerja.
4. Hanya pekerja tetap (PKWTT
sejak semula) yang mensyaratkan penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial untuk memutus hubungan kerja, sementara PKWT tidak
mensyaratkan adanya penetapan/putusan demikian.
Pasal 155 UU Ketenagakerjaan tak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal
151 UU Ketenagakerjaan, dimana Pasal 151 UU Ketenagakerjaan tidak berlaku dalam
konteks pengusaha mem-PHK dengan dalil masa kerja telah berakhir (vide Pasal 61
Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan). Merujuk pada kaedah Pasal 155 UU
Ketenagakerjaan:
(1) Pemutusan hubungan kerja
tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi
hukum.
(2) Selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha
maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan
penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa
tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan
hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa
diterima pekerja/buruh.
Yang bila dikaitkan terhadap Pasal 151 UU Ketenagakerjaan:
(1) Pengusaha, pekerja/buruh,
serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus
mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya
telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka
maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat
pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Menjadi pertanyaan besar, apakah Upah Proses Pasal 155 dapat diberlakukan
terhadap PHK berdasarkan Pasal 61 Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan?
Pasal 155 Ayat (2) dan Ayat (3) menyatakan berhak atas Upah Proses, namun
tidak menyatakan secara tegas, jenis perjanjian kerja apakah yang berhak atas
Upah Proses, mengingat UU Ketenagakerjaan tidak menganut standar tunggal—namun
mengadopsi standar ganda antara Pekerja Tetap, Pekerja Kontrak, Pekerja Alih
Daya, Pekerja Harian, Pekerja Borongan, dsb. Seperti apapun MK RI akan
berkilah, diskriminatif tetaplah diskriminatif. Kecuali seorang hakim yang
tidak jujur sembari menutup mata menyatakan perlakuan terhadap standar ganda
ketenagakerjaan ialah tiada diskriminatif.
Mengingat PHK terhadap PKWT tidak membutuhkan penetapan PHI sebagaimana
dimaksud Pasal 61 Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan, maka dalam persepsi MA
RI, Upah Proses menjadi tidak relevan dalam kasus PKWT. Terlepas apakah PKWT
akan dinyatakan demi hukum sebagai PKWTT oleh pengadilan, hal tersebut
merupakan spekulasi belaka, hal mana ruang multi-interpretasi dibuka sendiri
oleh Objek Permohonan.
Pekerja PKWT (yang meski akan dinyatakan sebagai PKWTT oleh pengadilan),
tidak memiliki hak perlindungan/kepastian hukum yang sama dengan pekerja “PKWTT
sejak semula” berupa PHK efektif sejak penetapan/putusan PHI. Inilah standar
ganda yang harus kita akui keberadaannya dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga membaca
sebuah Undang-Undang tidaklah dapat dibaca secara parsial pasal per pasal.
Dengan kata lain, konstruksi yang berkembang dalam praktik, ialah
penafsiran atas Objek Permohonan yang dikaitkan dengan keberlakuan Pasal 61
Ayat (1) Butir (b) UU Ketenagakerjaan—penafsiran mana justru menimbulkan
ambiguitas nilai, ketimbang penafsiran secara ter-cluster pada Objek Permohonan
semata.
Mahkamah Agung telah salah kaprah menafsirkan “demi hukum” berubah
menjadi PKWTT / pekerja tetap berdasarkan putusan hakim (judges heavy), sementara falsafah “demi hukum” ialah legislative heavy, dimana peran hakim
hanya sebagai penerbit amar putusan “deklaratif” belaka, bukan “konstitutif”. Alias,
dengan kata lain, yang meng-konstitutifkan pekerja kontrak menjadi pekerja
tetap ialah undang-undang, bukan putusan hakim—dimana putusan hakim hanya
berfungsi sebagai deklarasi dari hukum yang telah dikonstitutifkan
oleh undang-undang, sehingga pekerja yang “demi hukum” menjelma pekerja
tetap berhak atas upah proses.
Apakah salah, bila penulis memohon agar Mahkamah tidak sedemikian “pelitnya”
untuk membuat putusan sebagai berikut:
- Menyatakan frasa “tanpa
diskriminasi” dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang
tidak dimaknai baik “PKWTT sejak semula” maupun “PKWTT demi hukum”;
- Menyatakan frasa “demi hukum”
dalam Pasal 50 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang
tidak dimaknai status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu berubah menjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu terhitung sejak hari saat pelanggaran
ketentuan hukum terjadi;
- Menyatakan frasa “belum
ditetapkan” dalam Pasal 155 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang
tidak dimaknai termasuk sengketa pemutusan hubungan kerja yang disertai
perselisihan hak/kepentingan, ketika Perjanjian Kerja Waktu Tertentu demi hukum
dikonstitutifkan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
Mahkamah Konstitusi telah bersikap diskriminasi, karena selama ini
kalangan dosen maupun pengacara boleh mengajukan uji materiil atas nama pribadi
dan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi RI, sementara dengan sumirnya Mahkamah
Konstitusi menyatakan tidak dapat diterima permohonan penulis ataupun Yusril.
Bagaimana lagi, adalah mustahil meminta agar UU Ketenagakerjaan diberi
sentuhan konstitusi agar tidak lagi berlaku diskriminasi, sementara itu Mahkamah
Konstitusi RI sendiri ternyata bersikap diskriminatif dan terbukti korup dengan
bersikap diskriminatif terhadap penulis maupun terhadap korban seperti “Yusril-Yusril”
lainnya. Lihat pula akibat putusan ultra
petitum MK RI dengan menyatakan Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi
MK RI, hasilnya: Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Lembaga korup, produk hukum
yang diterbitkannya pun tidak kalah korup.
Mahkamah Konstitusi RI telah bersikap pengecut dengan tidak memeriksa pokok
perkara yang dimohon Yusril maupun penulis. Mahkamah Konstitusi RI telah
menistakan hak-hak para pekerja di SELURUH INDONESIA. Inilah fakta yang
tidak dapat lagi ditutupi ataupun ditolerir. Praktis, seluruh lembaga di Indonesia,
mulai dari legislatif, eksekutif, hingga yudikatif Mahkamah Konstitusi RI,
telah bobrok dan demikian membuat sedih dan mengecewakan.
Tiada yang lebih menyedihkan ketimbang harus mengandalkan para hakim-hakim
yang pemalas namun memegang kekuasaan monopoli atas konstitusi. Suatu kediktatoran
yang mengatasnamakan konstitusi. Sama sukarnya bila kita mengandalkan orang
yang “buta” dan “tuli” meski mereka mampu melihat dan mendengar—alias hakim-hakim
yang berpura-pura buta dan tuli.
Dan tidaklah lagi bagi penulis untuk mampu menjawab pertanyaan pengguna
jasa: “Bila pekerjaan tetap namun diikat PKWT, lantas di-PHK perusahaan, apa
saya berhak atas upah proses?”
Menurut Anda, apakah jawaban yang harus saya
berikan sebagai seorang konsultan hukum? Apakah saya harus mengakhiri profesi
saya sebagai seorang konsultan hanya karena hakim-hakim konstitusi yang “pemalas”
tersebut?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.