Fenomena Penipu yang Tidak Bersedia Tertipu

ARTIKEL HUKUM
Selama beberapa tahun terakhir berpraktik sebagai seorang konsultan hukum, penulis menemukan keganjilan fenomena / anomali sosial yang terjadi secara masif, namun sukar untuk dijelaskan. Artikel sederhana ini mungkin dapat memberi gambaran sosiologi alam berpikir masyarakat Indonesia (meski tidak bermaksud untuk meng-generalisir).
Terdapat klien, yang meminta jasa konsultasi penulis, dimana sang klien merasa tidak terima karena ratusan juta rupiah yang diinvestasikannya, tidak dikembalikan oleh sebuah lembaga investasi di Jakarta. Ia hendak menggugat bahkan mempidanakan sang debitor yang cidera janji.
Meski telah diberikan layanan konsultasi yang tidak sedikit, memberi gambaran setiap potensi dan kemungkinan yang dapat terjadi atas setiap langkah alternatif yang dapat ditempuh olehnya secara hukum, memberikan gambaran hak dan kewajiban serta posisi hukumnya, bahkan hingga memberi prediksi atas setiap langkah kasus hukum yang akan ditempuhnya dalam berbagai skenario, baik secara perdata maupun pidana, sang klien merasa puas dan terus-menerus meminta konsultasi tanpa terbesit rasa malu.
Tiba saat fee semestinya jatuh tempo, namun tidak kunjung direalisasi, penulis menagih fee konsultasi yang menjadi hak penulis, meski nominalnya sangat amat murah untuk ukuran jasa konsultan hukum, sang klien berlagak pikun, merasa tidak bersalah, bahkan merasa tidak ada yang salah.
Apa yang kemudian terjadi? Seribu satu alasan dan sikap yang hanya menampilkan itikad buruk ditampilkan. Membingungkan, dan tidak pernah dapat penulis pahami, bila seseorang tidak terima tertipu karena uangnya raib oleh perbuatan cidera janji orang lain, bahkan ingin menggugat, mempailitkan, hingga hendak mempidana penjara debitornya, mengapa justru dirinya sendiri menjadi pelaku penipuan dan pelaku ingkar janji terhadap orang lainnya lagi?
Apakah seorang penipu berhak menggugat penipu lainnya? Apakah seseorang yang gemar ingkar janji memiliki hak secara moril untuk menggugat dan mempidana pelaku ingkar janji lainnya?
Hendaknya kita bercermin sebelum menuntut orang lain. Hanya orang yang bermoral dan bersikap lurus dan bersih yang berhak menggugat dan mempidana orang lain. Ya sudahlah, terserah mau penuhi janji atau ingkar janji. Bagi penulis uang yang dikumpulkan secara ‘kotor’ selalu bersifat ‘panas’ dan takkan dapat hidup tenang ataupun damai memakan nasi untuk mengisi perutnya sendiri yang sejatinya merupakan hak orang lain. Seseorang yang tidak dapat menghormati hak dan kewajiban orang lain, sejatinya merendahkan harkat dan martabat dirinya sendiri.
Faktanya, fenomena demikian bukan satu atau dua kali terjadi. Rata-rata klien dengan masalah hukum memiliki karakter demikian yang sangat amat serupa. Klien yang bermasalah hukum rata-rata memiliki perangai moral yang memang rusak dan bermasalah dari akar mentalnya. Selama mentalnya tidak diperbaiki, selama apapun dirinya akan terlibat dan terbelit masalah hukum. Hanya dirinya sendiri yang mampu menolong dan memperbaiki cacat mental dirinya tersebut, bukan seorang konsultan hukum.
Mencuri hak orang lain, namun komplain dan menjerit ketika haknya sendiri dicuri. Menuntut kewajiban orang lain sementara kewajiban dirinya  sendiri terhadap orang lainnya tidak juga ditunaikan. Inilah karakter unik rata-rata masyarakat atau karakter bangsa Indonesia—inilah akar penyebab Indonesia belum layak disebut sebagai bangsa beradab.
Seorang pencuri tak berhak, baik secara hukum maupun secara moril, untuk menuntut perlindungan hukum terlebih menggugat pihak lain ketika dirinya kecurian. Seorang pencuri tidak berhak menuntut agar diperlakukan secara hormat dan patut. Seorang pencuri sejatinya menistakan dirinya sendiri. Seorang pencuri hanya berhak untuk menggugat dirinya sendiri.
Dalam ranah sosiologi hukum, fenomena demikian tidak terpecahkan dan tidak akan dapat dipahami sejauh apapun kita membedah anomali masyarakat tersebut. Namun dalam teks ilmu psikologi maupun derivatifnya seperti psikologi hukum, fenomena demikian dapat disandingkan dengan fenomena yang sebetulnya sudah diamati sejak jauh sebelum abad ke dua puluh, yakni apa yang dikenal dengan istilah “hostage syndrome” atau yang kita kenal juga dengan terminologi “Sindrom Stockholm”.
Alkisah, sebuah keluarga di Kota Stockholm, didatangi perampok yang membunuh keluarga yang dirampoknya, lalu memerkosa dan menculik seorang gadis dari keluarga tersebut. Beberapa tahun berlalu, dan polisi berhasil menangkap kawanan perampok yang tengah kembali beraksi di sebuah daerah.
Dalam interogasinya, betapa terkejutnya polisi menemukan bahwa salah satu anggota penyamun itu tidak lain ialah seorang gadis yang dahulu menjadi korban pemerkosaan dan penculikan dari kawanan perampok tersebut. Kini, sang korban menjelma salah satu anggota dari kawanan gerombolan perampok yang telah membunuh dan merampok keluarga sang gadis.
Kejadian demikian sukar dipahami, sejauh apapun kita renungkan hanya membuat kita merasa sedih dan putus asa, namun realitanya dapat kita jumpai secara masif dalam praktik hidup kita di keseharian. Dimana pun itu, baik di sekolah, organisasi, kantor, bahkan di lingkungan domisili kita. Perilaku korup, tidak tahu malu, mau menang sendiri, pembenaran diri, justifikasi diri, kebiasaan menipu, tendensi mencuri, bahkan menyakiti dan merenggut apa yang menjadi hak dari orang lain.
Sungguh, fenomena demikian bukan baru satu atau dua kali terjadi, namun terjadi secara masif. Dua keburukan terbesar dari tabiat kaum penipu demikian: bukan hanya gemar menipu dan mencuri apa yang menjadi hak orang lain, namun selalu komplain ketika dirinya sendiri dicuri dan ditipu. Keburukan kedua itulah yang tidak dapat ditolerir.
Mengapa dirinya merasa berhak untuk komplain dan tidak terima ketika tertipu dan kecurian, padahal dirinya sendiri adalah seorang penipu dan pencuri? Tetap saja, fenomena ini tidak mampu dijawab sekalipun dari perspektif ilmu psikologi ataupun psikoanalisis alam bawah sadar yang ditelurkan oleh Sigmund Freud.
Terkadang, musuh terbesar seorang konsultan hukum bukanlah lawan dari klien sang konsultan. Namun adalah sang klien itu sendiri yang paling harus diwaspadai. Suatu kondisi yang tidak ideal, namun demikianlah adanya, dari sejak dahulu kala, kini, maupun dimasa yang akan datang.
Ada juga fenomena yang sebaliknya. Orang yang tertipu namun bersikap “legowo” dan mudah merelakan sang penipu, justru rata-rata adalah manusia dengan tipikal karakter yang jujur dan hidup secara lurus dalam keseharian hidupnya. Cobalah Anda amati kawan-kawan didekat kita atau yang ada di sekitar kita, bila ia memiliki tabiat respon berupa ungkapan: “Ya sudahlah, biar ia makan itu, kita relakan sajalah.”—inilah tipikal karakter manusia yang kerap hidup secara lurus dan jujur.
 Meski dirinya tidak pernah menipu terlebih mencuri hak orang lain, tapi dirinya mampu bersikap penuh lapang dada ketika dirinya tertipu dan kecurian. Fenomena unik kedua inipun sukar dijelaskan dalam kacamata disiplin ilmu sosiologi maupun psikologi.
Yang jelas, kita perlu introspeksi diri ketika kita merasa memiliki hak, maka kita perlu menyadari bahwa manusia lain pun memiliki hak yang sama. Karena manusia lain memiliki hak yang sama terhadap diri kita, maka kita memiliki kewajiban terhadap orang tersebut sebagaimana kita mengharap agar orang lain pun memenuhi kewajibannya terhadap diri kita.
Sebelum kita mencari dan menuntut keadilan, terlebih dahulu kita perlu hidup dengan penuh bersikap adil terhadap orang lain. Mengharap dihormati dan dihargai, terlebih dahulu kita perlu menghormati dan menghargai orang lain. Selama kita tidak memahami prinsip paling mendasar dalam hidup ini, selamanya orang tersebut akan menipu dan tertipu sebagai bagian dari lingkaran karma yang tidak akan berkesudahan.
Ketika sang penipu yang gemar menggugat dan mengkomplain wanprestasinya orang lain ini jatuh ke alam neraka, kepada siapakah ia nantinya akan mengumpat dan mengkomplain? Jangan-jangan ia pun akan hendak menggugat Raja Neraka karena memasukkan dirinya ke neraka. Yang jelas, seorang penipu selalu patut untuk tertipu.
Tidak ada orang yang benar-benar mampu mencurangi hidup, terlebih mencurangi hak-hak orang lain dan mencurangi kewajiban dirinya sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.