DISKRESI Versus KOLUSI JABATAN

LEGAL OPINION
Question: Sebenarnya bagaimana cara membedakan antara diskresi dengan kolusi? jangan-jangan nanti seorang pejabat menggunakan diskresinya lalu dikatakan kolusi. Apa hukum telah merinci parameternya?
Brief Answer: Yang disebut dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good corporate governance) ialah ketika suatu pejabat menjalankan jabatannya disertai dengan diskresi yang ‘terukur’.
Sementara yang disebut dengan ‘terukur’ artinya ialah bertanggung jawab, dimana setiap tindakan, keputusan, atau sikap diam seorang pejabat, dilandasi sebuah keberadaan adanya sikap batin penuh pertimbangan secara logis manusia dewasa yang sehat mentalnya dan dan tidak diwarnai aksi spekulatif yang ekstrem, telah mengambil langkah yang cukup untuk mengawasi dampak/akibat dari kebijakan agar dapat dimitigasi ketika terjadi kerugian negara yang tidak dikehendaki, atau setidaknya diminimalisir resiko kerugian yang dapat terjadi.
PEMBAHASAN:
Untuk memberi gambaran konkret, SHIETRA & PARTNERS akan merujuk pada ilustrasi putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung perkara tindak pidana korupsi (Tipikor) register Nomor 82/Pid.Sus-TPK/2014/PN.Bdg. tanggal 5 Januari 2015, dimana terhadap tuntutan Jaksa Penuntut, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, ... Adapun dakwaan Subsidair Penuntut Umum adalah Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
5. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu;
“Menimbang, bahwa atas unsur-unsur tersebut Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut :
Ad. 2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
“Menimbang, bahwa unsur ini bersifat alternatif, yaitu apabila salah satu terpenuhi maka unsur yang lain tidak perlu dibuktikan;
“Menimbang, bahwa dengan tujuan selalu terkandung suatu motif yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, berupa usaha untuk mencapai suatu tujuan akhir, yaitu mencapai suatu “eindoel” yaitu untuk memenuhi apa yang dikehendaki oleh orang tersebut, dalam hal ini untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Dengan demikian maka dengan pengertian yang terbatas, dengan tujuan dapat diartikan kesengajaan atau niat;
“Menimbang, bahwa oleh karena itu “dengan tujuan” adalah merupakan kesengajaan (opzet) sebagai maksud atau tujuan akhir (opzet als oogmerk) yang dikendaki atau diinginkan terjadi (output;
Ad. 3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
“Menimbang, bahwa unsur ini juga mengandung sifat alternatif, yaitu apabila salah satu terpenuhi maka unsur yang lain tidak perlu dibuktikan;
“Menimbang, bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “salah” berarti tidak benar, tidak betul, keliru, menyimpang dari yang seharusnya. “Guna” berarti faedah, manfaat, fungsi. “Kewenangan” adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. “Kesempatan” berarti keleluasaan, peluang untuk. “Sarana” berarti alat, media, segala sesuatu yang dapat dipakai dalam mencapai maksud atau tujuan. “Jabatan” berarti fungsi, pekerjaan (tugas) dalam organisasi atau pemerintahan. “Kedudukan” berarti tingkatan, martabat, status dalam melakukan pekerjaan;
“Menimbang, bahwa dengan demikian menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, mengandung pengertian : melakukan perbuatan secara keliru atau secara tidak benar atau menyimpang dari yang seharusnya. Dalam menjalankan fungsi, hak dan kekuasaan. Dengan adanya keleluasaan atau peluang. Dengan menggunakan alat, media, atau segala sesuatu yang dapat dipakai dalam mencapai maksud atau tujuan untuk melakukan sesuatu, yang dipunyai karena fungsi pekerjaan (tugas) dalam organisasi atau pemerintahan, sesuai tingkatan, martabat, status dalam melakukan pekerjaan tersebut;
“Menimbang, bahwa bentuk menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah :
 a. dengan sengaja salah di dalam menafsirkan struktur dan sistem hukum tentang tata kelola, tata usaha, tata laksana, tata kerja, cara kerja atau alat kerja yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dan menggunakan kesalahan tersebut untuk melaksanakan pekerjaan;
b. dengan sengaja melaksanakan pekerjaan dengan memanfaatkan adanya kekosongan atau kelemahan struktur dan sistem hukum tentang tata kelola, tata usaha, tata laksana, tata kerja, cara kerja atau alat kerja yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
“Menimbang, bahwa sesuai Putusan Mahkamah Agung Nomor : 572 K/Pid/2003, tanggal 12 Februari 2004 halaman 570 dan 572 : Mahkamah Agung berpendapat : Bahwa dari segi doktrin hukum administrasi negara, kewenangan pengambilan kebijaksanaan oleh pejabat atau diskresioner bukanlah bersifat sebebas-bebasnya tanpa batas, sebab Hakim masih dapat melakukan penilaian terbatas (marginale toetsing), terhadap penilaian pelaksanaan diskresioner tersebut, yaitu penilaian apakah ada penyalahgunaan wewenang (abuse of power) atau kesewenang-wenangan (willekeuir) pada diri pejabat yang bersangkutan, pada waktu melaksanakan kewenangan diskresioner tersebut.
“Justru dalam pemeriksaan perkara inilah akan dibuktikan apakah ada sifat penyalahgunaan wewenang atau kesewenang-wenangan diskresionernya, sehingga kalau memang ada maka perbuatannya menjadi tidak legal dan karenanya bersifat melawan hukum. Perbuatan “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”, merupakan salah satu bentuk atau wujud dari perbuatan melawan hukum baik formil maupun materil, maka dengan tidak terbuktinya unsur “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”, hal tersebut berarti bahwa unsur melawan hukum tidak terbukti, demikian sebaliknya;
“Menimbang, bahwa Terdakwa I dan II dalam menjalankan fungsinya sebagai penyedia barang/jasa telah dengan sengaja melaksanakan pekerjaan dengan memanfaatkan adanya kekosongan atau kelemahan struktur dan sistem hukum tentang tata kelola, tata usaha, tata laksana, tata kerja, cara kerja atau alat kerja di RSUD Kabupaten Karawang.
“Hal ini terjadi karena tidak terlaksananya pengadaan genset pada tahun 2011 sementara genset beserta instalasinya sangat dibutuhkan untuk kelancaran tata kerja, tata laksana dan cara kerja RSUD Kabupaten Karawang. Perbuatan tersebut dilakukan oleh Terdakwa I dan II dengan pemberian kuasa dari Terdakwa I kepada Terdakwa II sementara CV. Candrabaga Lestari selaku pemenang lelang tidak mempunyai pengalaman dalam pengadaan genset. Sehingga tidak mempunyai kemampuan teknis dan keuangan dalam melakukan pengadaan genset. Hal ini mempersulit CV. Candrabaga Lestari dalam melakukan mobilisasi dan demobilisasi (pengerahan dan penarikan) tenaga kerja dan peralatan. Hal tersebut terbukti dengan dialihkannya seluruh pekerjaan dari CV. Candrabaga Lestari kepada PT. Central Diesel;
“Menimbang, bahwa dengan demikian, sesuai ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP, unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dalam pasal ini, telah terpenuhi;
Ad. 4. Unsur “Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”;
“Menimbang, bahwa dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan “keuangan negara” adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun juga, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
a) berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara baik di tingkat pusat maupun di daerah;
b) berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat/lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
“Menimbang, bahwa Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 Undang-undang Nomor : 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan ‘keuangan negara’ adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut meliputi :
a. hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban Negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. penerimaan Negara;
d. pengeluaran Negara;
e. penerimaan daerah;
f. pengeluaran daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah;
“Menimbang, bahwa dalam pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, ditentukan bahwa kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai;
“Menimbang, bahwa kerugian keuangan negara dapat terjadi karena :
1. pengeluaran kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang seharusnya tidak dikeluarkan.
2. pengeluaran kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang lebih besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku.
3. Hilangnya kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang seharusnya diterima termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu atau barang fiktif.
4. penerimaan kekayaan negara dapat berupa uang atau barang, yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima, termasuk diantaranya penerimaan barang rusak atau kualitas tidak sesuai dengan spesifikasi/kriteria.
5. Timbulnya kewajiban negara yang seharusnya tidak ada.
6. timbulnya kewajiban yang lebih besar dari yang seharusnya.
7. hilangnya suatu hak negara yang seharusnya dimiliki.
8. hak negara lebih kecil dari yang seharusnya diterima.
“Menimbang, bahwa dalam penjelasan pasal 2 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tersebut dinyatakan bahwa dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat berupa kerugian keuangan negara.
“Keberadaan kata ”dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya ketidakpastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana; [Note SHIETRA & PARTNERS: Kerap dijumpai, putusan hakim Pengadilan Negeri lebih komprehensif ketimbang putusan Hakim Konstitusi RI.]
“Menimbang, bahwa hubungan kata “dapat” dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam dua hubungan yang ekstrim : (1) nyata-nyata merugikan negara (actual loss) atau (2) kemungkinan dapat menimbulkan kerugian (potential loss). Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil.
“Di antara dua hubungan tersebut sebenarnya masih ada hubungan yang ”belum nyata terjadi”, tetapi dengan mempertimbangkan keadaan khusus dan konkret di sekitar peristiwa yang terjadi, secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu kerugian negara akan terjadi; [Note SHIETRA & PARTNERS: Kerugian negara sebagai konsekuensi logisnya bila suatu aksi permulaan Tipikor dibiarkan terjadi tanpa penindakan hukum.]
“Menimbang, bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi. Faktor kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata ”dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum; [Note SHIETRA & PARTNERS: Ketika frasa ‘dapat’ dalam UU Tipikor dihapus, sebagaimana telah diputuskan demikian oleh MK RI, maka pelaku Tipikor yang mengembalikan kerugian negara tidak dapat lagi ditindak, seburuk apapun perbuatan sang pelaku Tipikor, sehingga menjadi kontraproduktif terhadap semangat pemberantasan korupsi.]
“Menimbang, bahwa perhitungan kerugian keuangan negara dapat dilakukan oleh BPK RI, berdasarkan Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Perbendaharaan Negara juncto Pasal 62 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004, yang berwenang menghitung terjadinya kerugian keuangan negara dan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
“Menimbang, bahwa selain itu berdasarkan Pasal 49 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mengatur : BPKP berperan menjadi pengawas internal terhadap keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan mempunyai tugas pokok :
a. Mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pembangunan;
b. menyelenggarakan pengawasan umum atas penguasaan dan pengurusan keuangan; dan
c. menyelenggarakan pengawasan pembangunan juncto Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1983.
“Kewenangan BPKP juga diatur dalam Pasal 6 huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002 jo. Nota Kesepahaman antara Jaksa Agung RI, Kapolri dan BPKP Nomor : Kep-109/A/JA/09/2007, Nopol : B/2718/IX/2007 dan Nomor : Kep-1093/K/D6/2007 tanggal 28 September 2007 tentang Kerjasama dalam Penanganan Kasus Penyimpangan Pengelolaan Keuangan Negara yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi termasuk Dana Non Budgeter;
“Menimbang, bahwa perhitungan kerugian keuangan negara oleh Ahli Bambang Supriadi, Ak, yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini, tentunya tetap berpedoman pada pasal 179 dan 184 KUHAP, yang mengatur setiap orang yang dimintai pendapatnya wajib memberikan keterangan ahli yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya, demi keadilan, karena keterangan ahli adalah termasuk alat bukti yang sah;
“Menimbang, bahwa sesuai bukti surat, keterangan Saksi-saksi dan keterangan Ahli Bambang Supriadi, Ak serta keterangan Terdakwa I dan II telah terdapat kerugian keuangan Negara sejumlah Rp.234.373.375,-
“Menimbang, bahwa kerugian negara tersebut diatas berupa :
1. Pengeluaran keuangan negara yang lebih besar daripada yang seharusnya, karena tidak mengacu pada harga yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal genset;
2. pengeluaran keuangan negara, yang seharusnya tidak dikeluarkan karena terjadi penghitungan ganda (double counting);
3. penerimaan kekayaan negara berupa Genset Single (1) Bearing, yang lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima yaitu Genset Double (2) Bearing, adalah merupakan kerugian negara yang nyata (actual loss);
“Menimbang, bahwa oleh karena itu maka unsur “yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara” dalam pasal ini serta sesuai ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP, telah terpenuhi;
Ad. 5. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu;
“Menimbang, bahwa di dalam suatu tindak pidana yang mengandung “pengambilan bagian” atau “penyertaan” khususnya kaitannya dalam perkara ini adalah penerapan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang telah terumus secara jelas dan tegas tentang “kualitas keikutsertaan Terdakwa I dan II” atau “kualifikasi bentuk penyertaan” yang disesuaikan dengan perbuatan atau peranan Terdakwa I dan II di dalam mewujudkan suatu tindak pidana;
“Menimbang, bahwa penyertaan (deelneming aan strafbare feiten) berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana. Dalam tindak pidana korupsi yang pada umumnya dilakukan secara sistematis, terstruktur dan meluas, peran seseorang atau lebih saling kait mengkait;
“Menimbang, bahwa mereka yang turut serta melakukan adalah mereka yang bersama-sama dengan sengaja melakukan tindak pidana. Dalam pelaksanaan tindak pidana itu yang paling utama adalah adanya kerja sama yang erat di antara mereka itu, sehingga tiap-tiap peserta tidak harus melakukan perbuatan-perbuatan pelaksanaan;
“Menimbang, bahwa kerja sama dilakukan secara sadar dengan mengetahui (weten) tindakannya mempunyai sifat dilarang oleh hukum, akan tetapi Terdakwa I dan II tetap menghendaki (willens) tindakannya diwujudkan. Kesengajaan (opzet) dapat dinilai karena Terdakwa I dan II memang menghendaki dan mengetahui (met willens en wetens), perbuatan itu dilarang tetapi tetap dilakukannya (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 572 K/Pid/2003 pada hari Kamis tanggal 12 Februari 2004 halaman 571). Tindakan yang diwujudkan tersebut harus berkaitan bagian per bagian, jika kerja sama bagian per bagian itu tidak ada maka tindak pidana tidak dapat diwujudkan;
“Menimbang, bahwa tiap orang yang dikualifikasikan sebagai turut serta melakukan tindak pidana, tidak harus memenuhi seluruh unsur rumusan tindak pidana. Ada semacam pembagian kerja dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada kelompok secara bersama-sama. Seorang yang turut serta tidak diisyaratkan untuk secara tuntas memenuhi semua unsur rumusan tindak pidana, terlebih lagi sifat delik dalam pasal ini adalah delik formil, dengan demikian pertanggungjawaban pidananya sama dengan orang yang melakukan.
Hal ini terjadi karena sistem pertanggungjawaban dalam hukum pidana menganut paham setiap orang yang terlibat bersama-sama ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian melakukan tindak pidana, tanpa dibeda-bedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap batinnya;
“Menimbang, bahwa dengan demikian terjadinya perbuatan Terdakwa I dan II dalam perkara ini tidak dapat dilakukan oleh Terdakwa I atau II sendiri secara terpisah. Melainkan ada peranan berbagai pihak, karena terdapat kerjasama yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya dengan niat dan tujuan yang sama yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah Rp. 234.373.375,- (dua ratus tiga puluh empat juta tiga ratus tujuh puluh tiga ribu tiga ratus tujuh puluh lima rupiah), berdasarkan hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP Perwakilan Jawa Barat Nomor : SR-1057/PW10/5/2013 tanggal 11 Desember 2013, walaupun beda dalam peran, sehingga tindak pidana telah selesai dilakukan;
“Menimbang, bahwa sesuai Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 7 Maret 2012 Nomor 2547 K/PID.SUS/2011 halaman 234-236, dinyatakan : dalam perbuatan yang dilakukan dalam kelompok secara bersama-sama dengan telah terjadinya penyerahan sejumlah uang sebagai pembayaran tahap pertama oleh salah seorang dari bagian dari kelompok tersebut, dan dari pihak penerima telah ada salah seorang dari bagian kelompok tersebut yang menerima, maka perbuatan tersebut telah selesai dilakukan. Selain itu dari perbuatan pelaku sebelum menerima sejumlah uang telah terjadi permufakatan jahat yang terjadi apabila ada dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan. Pada halaman 233 : Dalam penyertaan perbuatan tersebut haruslah dipandang sebagai perbuatan dalam kelompok secara bersama-sama, yang memperlihatkan kerjasama yang erat. Tanpa peran terdakwa tidak akan mungkin dapat ditentukan berapa jumlah uang yang harus dibayarkan dan yang akan diberikan kepada anggota kelompok. Tanpa perlu terdakwa menggerakan anggota kelompok yang lain karena telah terjadi kerjasama yang erat yang cukup diketahui oleh masing-masing anggota kelompok termasuk terdakwa, berupa kesepakatan diam-diam yang saling mengetahui bahwa mereka bekerjasama. Tidak perlu kesepakatan itu diperjanjikan terlebih dahulu baik secara lisan ataupun tertulis, karena kejahatan tidak akan diperjanjian secara lisan maupun tertulis;
“Menimbang, bahwa sesuai fakta tersebut diatas perbuatan kerjasama tersebut telah terjadi secara sistematis dan terstruktur, dimana peran dari Terdakwa I dan II selaku Penyedia Barang/Jasa Pemerintah dan Saksi dr. Hj. Ida Lisnurida, MARS selaku KPA , Saksi Drs. H. Hasan Permana, B.Sc selaku PPK dan Saksi Faridah Siahaan selaku PPTK dalam kegiatan ini. Merupakan mata rantai perbuatan yang mempunyai hubungan sebab akibat (causalitas) atau berkaitan, dimana tanpa peran serta Terdakwa I dan II perbuatan tersebut tidak akan pernah selesai dilakukan;
“Menimbang, bahwa sesuai ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 15 :
‘Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.’ [Note SHIETRA & PARTNERS: Frasa ‘percobaan’ berarti tidak pidana tidak selesai bukan karena kesadaran pribadi pelaku, sehingga kerugian negara yang belum terjadipun senyatanya merupakan Tipikor—sehingga menjadi mengherankan ketika Mahkamah Konstitusi RI kemudian membatalkan frasa ‘dapat’ dalam UU Tipikor.]
“Menimbang, bahwa dengan demikian unsur “mereka melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu”, dalam pasal ini serta sesuai ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP, telah terpenuhi;
“Menimbang, bahwa dipidananya seseorang sesuai ketentuan pasal 197 (1) h KUHAP jo. pasal 6 (2) UU No.48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidaklah cukup perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan. Untuk mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggungjawab secara pidana haruslah terdapat penyataan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya, sesuai azas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld);
“Menimbang, bahwa “kesalahan” dalam tindak pidana (mens rea) diatur dalam ketentuan dalam pasal 197 ayat (1) huruf h KUHAP juncto pasal 6 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009, dan juga dianut dalam ketentuan pasal 191 ayat (1) KUHAP jo. pasal 193 ayat (1) KUHAP;
“Menimbang, bahwa kesalahan dalam suatu tindak pidana adalah merupakan perhubungan keadaan jiwa atau niat Terdakwa I dan II dengan terwujudnya unsur-unsur tindak pidana karena perbuatannya. Adanya hubungan batin antara Terdakwa I dan II dengan perbuatannya;
“Menimbang, bahwa kesalahan dapat dinilai dari “kesengajaan” (opzet) yaitu : ‘menghendaki dan mengetahui’ (wilens en wetens). Sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu salah atau melawan hukum, karena dilarang untuk dilakukan oleh hukum;
“Menimbang, bahwa dengan demikian kesalahan adalah unsur subyektif yang melekat pada bathin Terdakwa I dan II, yang menentukan arah dari perbuatan Terdakwa I dan II. Unsur batin tersebut berupa pengetahuan Terdakwa I dan II tentang perbuatannya dilarang oleh hukum. Akan tetapi walaupun keadaan jiwa Terdakwa I dan II mengetahui perbuatannya dilarang oleh hukum, tapi Terdakwa I dan II tetap menghendaki dalam alam pikiran atau alam batin Terdakwa I dan II untuk mewujudkan perbuatannya, sehingga Terdakwa I dan II dapat dihukum karena perbuatan tadi;
“Menimbang, bahwa kesalahan mengandung pengertian yang menunjukan tindak pidana ini harus dilakukan dengan kesengajaan (dolus). Yaitu Terdakwa I dan II sengaja dengan sadar (niat) bermaksud atau bertujuan (opzet als oogmerk) untuk melakukan tindakan sehingga menciptakan keadaan yang terlarang oleh hukum atau melawan hukum, atau sengaja dengan sadar (niat) melakukan tindakan dengan kepastian menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum atau melawan hukum, atau sengaja dengan sadar (niat) melakukan tindakan dengan kemungkinan menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum atau melawan hukum. Kesalahan tersebut haruslah dinilai oleh orang lain bukan oleh Terdakwa I dan II itu sendiri;
“Menimbang, bahwa walaupun merupakan unsur subyektif (bathin), kesalahan dapat dinilai secara obyektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang terjadi yang menyertai perbuatan Terdakwa I dan II, serta dihubungkan dengan perilaku Terdakwa I dan II. Sebab pada dasarnya hukum tidak menghiraukan apa yang ada dalam pikiran seseorang, tetapi hukum mengatur perilaku atau perbuatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Rangkaian perbuatan itu dapat menunjukan keadaan sikap bathin Terdakwa I dan II yang menunjukan Terdakwa I dan II mengetahui dan menghendaki (wetten en willen) perbuatannya yang diwujudkan, dilaksanakan oleh diri sendiri dan atau orang lain, mempunyai sifat melawan hukum. Sehingga dari perbuatan-perbuatannya yang nampak salah karena dilarang oleh hukum tersebut itulah, kemudian disimpulkan oleh Hakim tentang adanya niat jahat untuk melakukan tindak pidana dalam batin Terdakwa I dan II sesuai Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 813 K/Pid/1987 tanggal 29 Juni 1989;
“Menimbang, bahwa siapa yang menyebabkan timbulnya keadaan terlarang, dia wajib mengakhiri keadaan terlarang itu, jika tidak ada tindakan mengakhiri keadaan terlarang itu, maka dialah yang harus bertanggungjawab dan dipidana atas penciptaan keadaan terlarang itu; [Note SHIETRA & PARTNERS: Sebagai cerminan itikad baik penanggulangan pidana.]
“Menimbang, bahwa oleh karena itu, perbuatan Terdakwa I dan II telah memenuhi unsur-unsur pasal tersebut diatas, serta terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana korupsi tersebut tidak terlepas dari peran serta dari Terdakwa I dan II, maka dalam perbuatan Terdakwa I dan II tersebut terdapat kesalahan Terdakwa I dan II, yang kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana;
“Menimbang, bahwa mengenai uang pengganti, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut :
1. Sesuai pasal 17 UU No : 31/1999 jo UU No : 20/2001, maka selain dijatuhi pidana (pokok) dalam pasal 2, Terdakwa juga dapat dijatuhi pidana tambahan, sebagaimana pasal 18 UU No : 31/1999 jo. UU No : 20/2001 berupa : perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud, barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitupun harga dari barang yang menggantikan barang tersebut serta pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; [Note SHIETRA & PARTNERS: Dipidananya pengurus korporasi, maka korporasi itu sendiri secara sendirinya turut tanggung renteng terhadap vonis yang dijatuhkan.]
2. Sesuai Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2017 K/Pid/2005 : kewajiban untuk membayar uang pengganti harus ditanggung oleh setiap orang, sesuai dengan posisi peran dan porsi kerugian keuangan negara sesuai tanggungjawabnya. Karena keuntungan atau kekayaan yang diperoleh didapat dengan cara melawan hukum maka nilai tersebut tidak sah dan bukan hak terdakwa melainkan merupakan kerugian yang dialami oleh negara. Karena itu jumlah tersebut harus dibebankan kepada terdakwa secara proporsional;
3. Sesuai fakta-fakta hukum tersebut diatas, Terdakwa I selaku pemilik dan Direktur CV. Candrabaga Lestari dan Terdakwa II selaku Penerima Kuasa Direktur CV. Candrabaga Lestari, bertindak untuk dan atas nama CV. Candrabaga Lestari sebagai pemenang lelang. Melalui CV. Candrabaga Lestari telah memperoleh harta benda berupa uang sejumlah Rp. 234.373.375,- yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tersebut. Dimana pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi bersifat formil dan materiil. Oleh karena itu kepada CV. Candrabaga Lestari yang dalam hal ini secara formil dan secara nyata diwakili oleh Terdakwa I PASKAH SIMATUPANG dan Terdakwa II HENGKY TETRA SIHOTANG dikenakan pidana tambahan sebagaimana pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 31/1999, berupa uang pengganti sejumlah Rp. 234.373.375,-;
“Menimbang, bahwa dalam hal penjatuhan pidana, Majelis Hakim perlu memperhatikan ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf f Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan maupun yang meringankan sebagai berikut:
“Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa I dan II bertentangan dengan program pemerintah dalam upaya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di segala bidang, serta merusak sendi-sendi pemerintahan yang baik dan bersih;
- Perbuatan Terdakwa I dan II dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada RSUD Kabupaten Karawang;
- Perbuatan Terdakwa I dan II menjadi contoh yang buruk bagi masyarakat dan keluarga para terdakwa;
“Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa I dan II belum pernah dihukum, sopan, mengakui dan menyesali segala perbuatan yang dilakukannya;
- Terdakwa I telah mengembalikan kerugian keuangan negara sejumlah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), Terdakwa II telah mengembalikan kerugian keuangan negara sejumlah Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), dan beritikad baik untuk mengembalikan seluruh sisa kerugian negara;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa I PASKAH SIMATUPANG dan Terdakwa II HENGKY TETRA SIHOTANG, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama, sebagaimana dakwaan primer;
2. Membebaskan Para Terdakwa dari dakwaam primer tersebut;
3. Menyatakan Terdakwa I PASKAH SIMATUPANG dan Terdakwa II HENGKY TETRA SIHOTANG tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsider;
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa I PASKAH SIMATUPANG oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
5. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa II HENGKY TETRA SIHOTANG, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
6. Menghukum Terdakwa I PASKAH SIMATUPANG untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp. 117.186.688.- (seratus tujuh belas juta seratus delapan puluh enam ribu enam ratus delapan puluh delapan rupiah), paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan ini berkekuatan hukum tetap, jika tidak membayar maka harta bendanya disita dan dilelang oleh Jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut dengan ketentuan apabila Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi maka dipidana dengan pidana penjara masing-masing selama 2 (dua) bulan;
7. Menghukum Terdakwa II HENGKY TETRA SIHOTANG untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp. 117.186.688.- (seratus tujuh belas juta seratus delapan puluh enam ribu enam ratus delapan puluh delapan rupiah), paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan ini berkekuatan hukum tetap, jika tidak membayar maka harta bendanya disita dan dilelang oleh Jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut dengan ketentuan apabila Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi maka dipidana dengan pidana penjara masing-masing selama 3 (tiga) bulan;
8. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Para Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
9. Menetapkan Para Terdakwa tetap ditahan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.