KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Dilematika Ancaman Sanksi Pidana Minimum

LEGAL OPINION
Question: Di undang-undang (terkait) pidana kan, ada dicantum sanksi penjara minimum. Jikalau perbuatan yang rasanya tak begitu substansial kesalahannya, lantas dijatuhi hukuman, meski ancaman minimum dalam undang-undang itu, rasanya kok tidak adil gitu. Karena ancaman sanksi paling dikit di undang-undang itu ialah hitungan tahun, apa artinya perbuatan salah sekecil apapun, lantas akan dipenjara tahunan? Ngak salah ini hukum punya negara?
Brief Answer: Keadilan dalam sistem keluarga hukum Civil Law seperti sistem hukum peraturan perundang-undangan yang dianut oleh Negara Indonesia, adalah keadilan berdasarkan persepsi / ’kacamata’ undang-undang, sehingga sebagai konsekuensinya terkesan sebagai keadilan yang dipaksakan—padahal undang-undang tidak mengenal konteks kejadian unik suatu perkara yang membuat suatu perkara akan memiliki karakter yang bisa jadi berbeda dengan perkara lain.
Berbeda konteks dengan sistem keluarga hukum Common Law, dimana case law menjadi patokan dan parameter keadilan, sehingga karakteristik unik suatu kasus / perkara menjadi penentu berat atau ringannya hukuman. Keadilan dalam negara-negara hukum berdasarkan sistem preseden ini, menjadilan logika rasio decidendi sebagai patokan dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang dihadapkan kepada hakim.
Perhatikan contoh dilematika cacatnya sistem hukum peraturan perundang-undangan ketika mencoba merumuskan suatu ancaman sanksi pidana:
- Besaran sanksi bukan terletak pada karakter derajat pelanggaran / kesalahan pidana yang dilakukan oleh pelaku, namun diberikan sepenuhnya menjadi kewenangan prerogatif Majelis Hakim—bagai memberi blangko ‘cek’ kosong yang rawan disalahgunakan;
- Pencantuman ancaman sanksi minimum yang sangat rendah, membuka potensi penyalahgunaan dengan hanya menghukum pidana berdasar sanksi minimum tersebut, meski derajat kesalahannya ialah sangat besar semisal dilakukan oleh seorang pengusaha yang menghancurkan lingkungan hidup namun hanya diberi sanksi kurungan minimum beberapa bulan—tidak setimpal dengan kerusakan dan jatuhnya korban yang telah ditimbulkan oleh pelaku;
- Pencantuman ancaman sanksi minimum yang terlampau besar, semisal ancaman sanksi pidana minimum paling sedikit hitungan tahun, akan mengakibatkan kesalahan kecil yang sebenarnya mampu ditolerir akan menghadapi kenyataan pahit karena ‘mau tidak mau’ jaksa dan hakim harus menjatuhkan vonis penjara minimum hitungan tahun.
- Begitupula pencantuman ancaman sanksi pidana maksimum, meski kerusakan demikian masif dan destruktif, maka pelaku tidak dapat dihukum melebihi margin ancaman sanksi yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan demikian. Menjadi mengherankan serta meragukan motif dari pembentuk undang-undang untuk merumuskan pasal pemidanaan ancaman sanksi maksimum ini. SHIETRA & PARTNERS menilai bahwa ancaman sanksi maksimum tidak perlu diberlakukan, namun cukup menjadikan case law berdasarkan preseden/yurisprudensi sebagai patokan yang mengikat sehingga dapat menghindari penyalahgunaan wewenang pihak berkuasa.
Sistem keadilan dalam logika peraturan perundang-undangan memang memiliki dilematika klasik yang tidak kunjung usai, melahirkan berbagai ketidakadilan dan ketidakpastian—bahkan ketika seorang hakim memiliki itikad mulia untuk mewujudkan penerapan hukum yang progresif, justru menjadi kontraproduktif karena kian membuat bias sistem hukum ini serta menghilangkan pegangan kepastian hukumnya, mengingat hanya supremasi the binding force of precedent dalam sistem hukum Common Law yang memiliki daya prediktabilitas serta konsistensi putusan sebagai panglima kepastian hukum yang menjadi penopang logika keadilannya.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi yang ‘ironis’ berikut secara tepat dapat mewakili dilematika sistem pemidanaan Indonesia, sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung perkara pidana kehutanan register Nomor 2329 K/Pid.Sus/2014 tanggal 24 Februari 2015, dimana Terdakwa dihadapkan ke persidangan dengan dakwaan tunggal, yakni melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memilki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf b jo. Pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Pada tahun 2014, Terdakwa berangkat dari rumahnya dengan membawa gergaji besi dengan maksud akan menebang 1 (satu) batang kayu jati yang berada dalam kawasan Hutan Negara dan setelah sampai di kawasan hutan tersebut kemudian Terdakwa dengan mempergunakan gergaji yang dibawanya menebang 1 (satu) batang kayu jati hingga roboh ke tanah kemudian Terdakwa memotong pohon kayu jati tersebut menjadi dua bagian dengan ukuran yang sama yakni masing-masing dengan ukuran panjang 250 Cm dan diameter 10 Cm.
Setelah kayu jati dipotong oleh Terdakwa menjadi 2 bagian dan dikarenakan Terdakwa tidak bisa membawa kedua batang kayu jati tersebut secara sekaligus, Terdakwa mengangkat salah batang kayu jati, tetapi ketika Terdakwa baru berjalan kaki dengan mengangkat salah satu batang kayu jati dimana penebangan kayu jati dilakukan olehnya tanpa dilengkapi Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), datang beberapa petugas Perhutani KPH Mantingan yang sedang patroli sehingga Terdakwa langsung ditangkap kemudian Terdakwa dan barang bukti dibawa ke KPH Mantingan selanjutnya diserahkan ke Polres Rembang guna pengusutan lebih lanjut.
Perbuatan Terdakwa dinilai mengakibatkan KPH Mantingan menderita kerugian sekitar Rp656.800,00. Adapun yang menjadi tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum (dengan sadistiknya) ialah sebagai berikut :
1. Menyatakan bahwa Terdakwa ... secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf (b) jo Pasal 82 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dalam surat dakwaan;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Sukin bin Subari berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan
3. Membebani Terdakwa Sukin bin Subari membayar denda sebesar Rp500.000.000,00.
Terhadap tuntutan Jaksa, yang menjadi putusan Pengadilan Negeri Rembang Nomor 39/Pid.Sus/2014/PN.Rbg, tanggal 7 Oktober 2014 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa ... tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Tanpa Hak Menebang Pohon Di Dalam Hutan;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa SUKIN bin SUBARI oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan, dan membayar denda sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dengan ketentuan denda tidak dibayar Terdakwa diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
3. Menetapkan lamanya penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa berada dalam tahanan Rutan di Rembang.”
Selanjutnya dalam tingkat banding, putusan Pengadilan Negeri dikoreksi oleh putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 292/PID.SUS/ 2014/PT.SMG, tanggal 26 November 2014 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
- Menerima permohonan banding dari Jaksa Penuntut Umum;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Rembang tanggal 07 Oktober 2014 Nomor 39/Pid.Sus/2014/PN.Rbg, yang dimintakan banding, dan
MENGADILI SENDIRI :
- Menyatakan Terdakwa ... terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan penebangan pohon di dalam hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan dari pejabat yang berwenang”;
- Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa SUKIN bin SUBARI selama 5 bulan, dan denda Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan apabila terpidana tidak dapat membayar denda tersebut maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
- Menetapkan lamanya penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
- Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.”
Terhadap putusan judex factie diatas, Jaksa Penuntut mengajukan upaya hukum kasasi, dengan dalil bahwa Hakim telah salah dalam menerapkan hukuman kepada Terdakwa, sehingga penjatuhan hukuman selama 5 (lima) bulan dan denda sebesar Rp500.000,00 atau pidana kurungan selama 1 (satu) bulan sebagai penggantinya, dirasa tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat sehingga dengan hukuman yang ringan tersebut tidak menimbulkan efek jera kepada pelaku tindak pidana yang dalam ini terhadap diri Terdakwa.
Jaksa mendalilkan pula, hukuman yang dijatuhkan kepada diri Terdakwa tersebut juga berdampak kepada pelaku tindak pidana kehutanan yang lain yang tempat tinggalnya tidak jauh dari hutan dan bisa dijadikan tolok ukur kalau perbuatan menebang kayu di dalam hutan tanpa seizin dari pejabat yang berwenang akan mendapatkan hukuman yang ringan. Perbuatan Terdakwa dalam menebang kayu sangat berdampak terhadap kerusakan hutan dan bahkan akan berdampak rusaknya lingkungan serta akan menimbulkan bencana alam berupa banjir.
Ketentuan Pasal 12 huruf b jo. Pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 sudah sangat jelas dan tegas terhadap pelaku penebangan hutan akan mendapatkan sanksi hukuman yang berat, dimana dalam ketentuan pasal tersebut sudah mengatur ketentuan hukuman paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Terhadap kasasi yang diajukan Jaksa, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
- Alasan kasasi Jaksa / Penuntut Umum pada pokoknya sependapat dengan Judex Facti yang menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 12 huruf b Jo. Pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2013, namun Jaksa / Penuntut Umum tidak sependapat dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) yang dijatuhkan Judex Facti. Keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan;
- Ketentuan pidana Pasal 81 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 menentukan bahwa pelanggaran terhadap pasal tersebut diancam pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah);
- Apabila ketentuan tersebut dihubungkan dengan amar putusan Judex Facti maka nampak dengan jelas bahwa Judex Facti menjatuhkan pemidanaan terhadap Terdakwa melanggar batas minimum pemidanaan baik ancaman pidana penjara maupun pidana denda;
- Apakah terdapat alasan pertimbangan yang dapat digunakan untuk menjatuhkan pidana penjara dibawah standar minimum pemidanaan;
- Sesuai dengan fakta persidangan terdapat alasan yang dapat digunakan untuk menjatuhkan pidana penjara dibawah standar minimum yaitu berkaitan dengan nilai kerugian Negara yang tergolong kecil;
- Nilai kerugian Negara yang diakibatkan atas perbuatan Terdakwa yang menebang pohon jati di kawasan hutan petak 11 C2 RPH Mantingan BKPH kebon KPH Kebonharjo turut tanah Desa Jukung Kabupaten Rembang sebanyak 1 (satu) pohon, setelah dipotong menjadi 2 (dua) batang kayu bentuk gelondongan dengan panjang 250 (dua ratus lima puluh) cm dengan diameter 10 (sepuluh) cm. Total kerugian keuangan Negara sebesar Rp656.800,00 (enam ratus lima puluh enam ribu delapan ratus rupiah);
- Terdakwa melakukan perbuatan a quo bukan pekerjaan sebagai profesi untuk dijual atau diperdagangkan guna mencari keuntungan, Terdakwa melakukan untuk kepentingan atau keperluan pembuatan usuk rumah Terdakwa. Hal ini bersesuaian dengan keadaan Terdakwa baru pertama kali menebang pohon tanpa hak atau izin dari pihak yang berwenang;
- Selain hal tersebut, perbuatan Terdakwa yang menebang satu pohon dari segi dampak lingkungan tidak mengakibatkan atau berpotensi merusak lingkungan secara serius;
- Berdasarkan alasan pertimbangan tersebut, Judex Facti sudah tepat menerapkan hukum dan keadilan dalam menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa;
“Menimbang, bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim Agung pada tanggal 24 Februari 2015, terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari anggota Majelis yang memeriksa dan memutus perkara ini, yaitu Hakim Pembaca I / Dr. H. Suhadi, S.H., M.H. berpendapat bahwa :
- Alasan kasasi Jaksa/ Penuntut Umum dapat dibenarkan karena Judex Facti salah dalam menerapkan hukum, terutama ketentuan Hukum Formal/ Acara Pidana telah menjatuhkan putusan dalam perkara a quo menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus yang diatur dalam ketentuan Pasal 81 ayat (1) huruf b jo. Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 yang ancaman pidananya paling singkat 1 (satu) tahun;
- Bahwa Terdakwa didakwakan dengan dakwaan Tunggal melanggar Pasal 12 huruf b Jo. Pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 dengan kualifikasi “Penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang” sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan Terdakwa telah melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan berupa kayu jati tanpa izin dari yang berwenang;
- Berdasarkan pertimbangan di atas, Hakim Pembaca I / Dr. H. Suhadi, S.H., M.H. mengusulkan mengabulkan kasasi Jaksa/ Penuntut Umum, membatalkan putusan Judex Facti, mengadili sendiri, terbukti Pasal 12 huruf b Jo. Pasal 82 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013, menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar Terdakwa, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan, selebihnya conform tuntutan Jaksa/ Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) diantara para anggota majelis dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak tercapai permufakatan, maka sesuai Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, setelah majelis bermusyawarah dan diambil keputusan suara terbanyak, yaitu menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tersebut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi JAKSA PENUNTUT UMUM pada KEJAKSAAN NEGERI REMBANG tersebut.”
Baik Hakim Agung yang dengan ‘sadis’ (legalis) hendak menghukum Terdakwa selama tahunan, maupun Hakim Agung yang berpendirian cukup arif dengan menyatakan agar Terdakwa cukup dihukum selama hitungan bulan, adalah sama ‘tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan’. Sistem hukum Eropa Kontinental yang berbasis teks peraturan perundang-undangan memiliki kelemahan laten yang tidak dapat diluruskan lewat ‘tambal-sulam’.
Dengan kata lain, baik Terdakwa, Jaksa, Hakim, dan masyarakat umum selaku pengemban hukum, menjadi korban dari sistem hukum ‘keadilan peraturan perundang-undangan’. Kecuali, Indonesia berani bergeser dari sistem keluarga hukum Civil Law menuju Common Law based legal system—keberanian mana membutuhkan perombakan besar selama setidaknya satu generasi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.