Business Judgment Rule Direksi Korporasi Persero

LEGAL OPINION
Question: Apa ada bedanya antara tanggung jawab kepengurusan direksi suatu perusahaan perseroan biasa dengan persero?
Brief Answer: Tanggung jawab Direksi suatu badan hukum komersil sama saja, yakni tunduk pada prinsip-prinsip itikad baik sebagaimana tunduk pada undang-undang tentang Perseroan Terbatas. Konsep Business Judgement Rule saling berkelindan terhadap konstruksi hukum fiduciay duty—keduanya tidak dapat dilepaskan satu sama lain, baik secara perdata maupun pidana.
Pada dasarnya suatu jabatan atau kewenangan memiliki suatu discretional power, yang mana kekuasaan diskresi tersebut digunakan untuk menjalankan Perseroan dan untuk / demi kepentingan Perseroan. Hanya saja, terdapat beberapa unsur teristimewa bagi Direksi suatu Persero baik Badan Usaha Milik Negara maupun Milik Daerah, sebagaimana terurai pada ilustrasi kasus sebagaimana dibahas dibawah ini.
PEMBAHASAN:
Wikipedia memaknai Business Judgment Rule sebagai: (https://en.wikipedia.org/wiki/Business_judgment_rule)
“The business judgment rule is a case law-derived doctrine in corporations law that courts defer to the business judgment of corporate executives. It is rooted in the principle that the ‘directors of a corporation... are clothed with [the] presumption, which the law accords to them, of being [motivated] in their conduct by a bona fide regard for the interests of the corporation whose affairs the stockholders have committed to their charge’ (Gimbel v. Signal Cos., 316 A.2d 599, 608 (Del. Ch. 1974).
“To challenge the actions of a corporation's board of directors, a plaintiff assumes "the burden of providing evidence that directors, in reaching their challenged decision, breached any one of the triads of their fiduciary duty—good faith, loyalty, or due care [Cede & Co. v. Technicolor, Inc., 634 A.2d 345, 361 (Del. 1993)].
“Failing to do so, a plaintiff ‘is not entitled to any remedy unless the transaction constitutes waste... [that is,] the exchange was so one-sided that no business person of ordinary, sound judgment could conclude that the corporation has received adequate consideration’ (The Walt Disney Co. Derivative Litigation, 906 A.2d 27 (Del. June 8, 2006).”
Senada dengan itu, secara lebih sederhana merumuskan parameter, Cornell University Law School memberi pemaknaan konsep Business Judgment Rule sebagai: (https://www.law.cornell.edu/wex/business_judgment_rule)
“In suits alleging a corporation's director violated his duty of care to the company, courts will evaluate the case based on the business judgment rule. Under this standard, a court will not second guess the decisions of a director as long as they are made (1) in good faith, (2) with the care that a reasonably prudent person would use, and (3) with the reasonable belief that they are acting in the best interests of the corporation.”
Untuk memudahkan pemahaman fiduciary duty seorang Direktur suatu Persero, SHIETRA & PARTNERS merujuk pada putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana dalam tingkat kasasi register Nomor 2740 K/Pid/2006 tanggal 06 Januari 2007 yang diputus oleh Hakim Agung Iskandar Kamil, S.H., Prof. Rehngena Purba, S.H.,M.S dan Artidjo Alkostar, S.H.,LLM, dimana baik Terpidana maupun Jaksa mengajukan upaya hukum kasasi atas kasus Tindak Pidana Korupsi, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
Terhadap Pemohon Kasasi I / Terdakwa :
“Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti/Pengadilan Negeri tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut :
1). PT. Jamsostek adalah satu badan usaha milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam usaha jaminan perlindungan tenaga kerja, berupa jaminan kematian, kesehatan dan hari tua (satu usaha kemanusiaan);
2). Terdakwa adalah pengambil keputusan paling tinggi sebagai Direktur Utama PT. Jamsostek, yang secara hukum harus tunduk pada Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas jo. Undang-Undang tentang BUMN serta RKAP perusahaan, dimana didalam undang-undang tersebut ditegaskan adanya prinsip/asas :
- asas kehati-hatian;
- asas itikad baik;
- asas jangan mengejar keuntungan/hasil yang lebih tinggi tetapi resiko besar yang mempunyai dampak pada kerugian pemegang saham, dalam paham a quo pemegang saham adalah negara dan tenaga kerja Indonesia;
3). Berdasarkan fakta di persidangan :
a. Dalam RKAP, yang dibuat setiap tahun, Direksi dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman pada RKAP, dimana dalam RKAP yang dibuat termasuk investasi dalam Tahun bersangkutan, apabila kegiatan dilaksanakan tidak direncanakan dalam RKAP, hal tersebut bisa diajukan ke pemegang saham melalui RUPS. Dalam RKAP 2004 tidak ada perencanaan dan penganggaran investasi jenis MTN dimana RKAP harus dipedomani (keterangan saksi):
- Terdakwa sebagai Dirut dalam kasus MTN (perkara a quo) tidak meminta/mengajukan rencana pembelian MTN kepada pemegang saham (RUPS). Alasan memori kasasi dari Terdakwa yang dalilnya tidak ada larangan secara tegas dalam RKAP tidak dapat dibenarkan;
- Terdakwa tidak pernah meminta persetujuan komisaris;
- Terdakwa melanggar hukum dalam proses penandatanganan MOU yaitu RKAP, dan Undang-Undang PT. BUMN dan Anggaran Dasar;
b. Dalam pembelian MTN tidak dilakukan :
- Penelitian / penilaian atas kebonafitasan kondisi sehat atau tidak sehat perusahaan serta siapa saja pengelola MTN tersebut, tidak ada pra pengkajian oleh tim oprasial yang akan menilai perusahaan dan jaminan yang akan diserahkan yang merupakan suatu kewajiban;
- Tidak ada dilakukan jaminan atas MTN tersebut yang jumlahnya sangat besar, yaitu lebih dari Rp. 311.085.802.959,- apakah fiducia atau hak tanggungan pada waktu terjadi MOU, adanya jaminan setelah MOU ditandatangani dan bermasalah;
c. Dalam dana PT. Jamsostek yang digunakan untuk pembelian 4 MTN sebesar Rp. 311.085.802.959,- yang dibuat dengan MOU oleh Terdakwa kepada 4 MTN, sangat sederhana tanpa ada kewajiban/beban dari 4 MTN tersebut untuk menyerahkan jaminan dan atau penilaian kebonafitasan/sehat tidak sehatnya perusahaan tersebut, sehingga akibat perbuatan Terdakwa, ke 4 MTN memperoleh kemudahan keuntungan yang merugikan Negara. Kesalahan Terdakwa secara hukum perdata, dan pidana yaitu memberi keuntungan pada keempat perusahaan yaitu PT. Dahana, PT. Sapta Prima Jaya, PT. Surya Indo Pradana dan PT. Volgren yang bertentangan dengan RKAP dan menimbulkan kerugian keuangan PT. Jamsostek, karena macetnya pengembalian modal yang telah dikeluarkan oleh PT. Jamsostek, sehingga secara yuridis merupakan tindakan melawan hukum yang jelas melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Terdakwa tersebut harus ditolak;
Terhadap Pemohon Kasasi II / Jaksa / Penuntut Umum :
“Bahwa Bahwa terlepas dari alasan-alasan kasasi tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum karena terdapat hal-hal yang memberatkan yang belum dipertimbangkan.
“Bahwa Terdakwa sebagai Direktur PT. Jamsostek yang harus mengamankan dana yang ada diperusahaannya telah bertindak tidak memegang amanat tersebut, sehingga menimbulkan dampak negatip terhadap jaminan social yang menjadi hak para Pekerja. Oleh karena itu walaupun dipersidangan tidak didapat bukti Terdakwa memperkaya diri sendiri, akan tetapi terhadap Terdakwa patut dijatuhkan denda yang lebih tinggi dari putusan Pengadilan Tinggi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan di atas Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 121/PID/2006/PT.DKI, tanggal 31 Agustus 2006 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2435/Pid./2005/PN.Jak.Sel, tanggal 27 April 2006 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung dengan memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi akan mengadili sendiri perkara tersebut, seperti tertera di bawah ini;
“Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa ditolak dan Pemohon Kasasi I/Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan dan Terdakwa tetap dipidana, maka Terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
M E N G A D I L I
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa : Drs. AHMAD DJUNAIDI Ak alias Drs. DJUNAIDI Ak tersebut;
“Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon kasasi I : JAKSA / PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN tersebut;
“Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 121/PID/2006/PT.DKI, tanggal 31 Agustus 2006 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2435/Pid./2005/PN.Jak.Sel, tanggal 27 April 2006;
MENGADILI SENDIRI :
1. Menyatakan Terdakwa Drs. Ahmad Djunaidi Ak alias Drs. Djunaidi, Ak telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi secara bersama-sama;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun;
3. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, akan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan;
4. Menghukum Terdakwa dengan hukuman denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan kurungan selama 1 (satu) tahun.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.