ARTIKEL HUKUM
Beberapa kalangan menyebutkan, menjadi seorang hakim adalah perkara sukar. Bahwa tidak semua orang mampu menjadi seorang hakim di pengadilan. Namun, benarkah demikian?
Dalam ilmu neurosains sebagaimana telah dibuktikan dalam beberapa jurnal internasional, otak kiri manusia memiliki suatu keterampilan agak ‘nakal’ dan agak kurang sehat, yang bernama ‘daya rasionalisasi’ dan ‘pembenaran diri’. Perbuatan yang salah seperti apapun dan buruk sekalipun, tetap dapat ditemukan justifikasinya. Itulah perilaku paling mendasar dari manusia yang amat kreatif mencari pembenaran diri dan justifikasi atas setiap perilakunya.
Self-justification merupakan self-defence mechanism yang halnya saja salah dimaknai dan kerap disalahgunakan oleh manusia. Bahkan, manusia ‘kecan-duan’ terhadap mekanisme pembenaran diri ini—suatu penyakit warisan peradaban manusia yang tampaknya sukar diperbaiki.
Sama halnya ketika seorang hakim dihadapkan suatu permasalahan hukum. Baik Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung, memiliki dua versi putusan, yakni yurisprudensi yang menyatakan kaedah normatif “A”, namun disaat bersamaan terdapat pula yurisprudensi yang menyatakan kaedah normatif “B” yang berkebalikan dari yurisprudensi normatif “A”.
Alhasil, seorang hakim bagai ‘bermain’ puzzle dengan memiliki potongan-potongan puzzle sesuai selera dirinya sendiri dalam menyusun putusan. Alhasil pula, bahkan untuk ukuran seorang konsultan hukum profesional sekalipun menjadi kehilangan daya cengkeram atas keterampilan prediktabilitas suatu permasalahan hukum.
Ambil contoh putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) yang menguji materiil undang-undang perihal importasi hewan ternak, dalam putusan sebelumnya Mahkamah menyatakan bahwa Indonesia menganut rezim maximum security—artinya zero tolerance bagi hewan yang berpotensi sebagai pembawa penyakit bila diimpor dari negara-negara yang belum bebas dari wabah penyakit menular.
Namun parlemen bersama pemerintah kemudian merevisi undang-undang tersebut, dengan menerbitkan undang-undang revisi yang melakukan aksi akrobatik dengan menyatakan bahwa mereka tidak mengatur norma yang sama yang telah diputus MK RI, namun menambahkan norma perihal importasi bibit ternak untuk dibesarkan di Indonesia.
Apa yang kemudian dikatakan oleh MK RI lewat putusannya terhadap uji materiil yang kembali diajukan oleh pemohon uji materiil sebelumnya atas undang-undang yang sama ini—yang juga telah menyeret skandal importir sapi asal India yang membuat Patrialis Akbar selaku Hakim Konstitusi menyatakan telah “lalai” hingga ‘berbuat memberikan apa yang semestinya tidak diberikan’? (Note tambahan: Sejak kapan pula, “lalai” bergeser dari ‘tidak memberikan’ menjadi ‘memberikan sesuatu’?)
MK RI kemudian membuat pertimbangan hukum dalam putusan selanjutnya, bahwa maximum security telah dialihkan menjadi relative security, dalam arti bila terdapat keadaan kahar, maka negara dapat mengimpor bibitan ternak demikian, dari negara manapun sekalipun dari negara yang belum bebas dari wabah penyakit hewan dan ternak. MK RI justru memberikan ‘kartu truf’ kepada pemerintah untuk menentukan keadaan kahar sesuai ‘selera’ pemerintah yang menjadikan alasan harga daging sapi yang tinggi di Indonesia sebagai ‘keadaan kahar’ (force majeur) yang memberi hak bagi pemerintah untuk mengimpor daging sapi dari negara terjangkit antrax, sekalipun berbagai korban penduduk Indonesia mulai berjatuhan akibat antrax—membuka simbiosis mutualisme antara importir nakal dengan pihak pejabat Dinas Pertanian dan Peternakan korup, mengingat tren masyarakat Indonesia yang selalu lebih memilih harga daging sapi segar berharga mahal ketimbang daging sapi bekuan yang lebih terjangkau.
Penulis sendiri memiliki pengalaman serupa, dimana dengan sewenang-wenang dan sesuka hati MK RI menyatakan uji materiil yang diajukan penulis dinyatakan “tidak dapat diterima” karena penulis adalah seorang konsultan hukum, bukan seorang pekerja sehingga tidak berhak mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. Faktanya, terdapat belasan yurisprudensi putusan MK RI yang mengabulkan uji materiil yang diajukan kalangan dosen dan pengacara atas nama pribadi. Standar ganda ini diterapkan MK RI secara sewenang-wenang.
Ketika Akil Mochtar menjabat sebagai Ketua MK RI dan belum tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, tiada profesor hukum ataupun akademisi hukum yang menyoroti ataupun mengkritisi berbagai putusan Akil Mochtar. Artinya, sekalipun seorang hakim berlaku korup, dirinya akan mampu dengan mudahnya mencari dasar pembenar sebagai justifikasi untuk menerbitkan suatu putusan.
Seorang hakim mampu memilih, untuk membesar-besarkan titik noda pada gugatan, atau justru berfokus pada gambaran besar (the big picture) dari gugatan yang dihadapkan kepadanya. Bila ‘pesan sponsor’ menghendaki agar gugatan ditolak, maka sang hakim hanya cukup untuk berfokus pada noda ‘setitik’ tersebut, membesar-besarkannya, dan sama sekali tidak menghiraukan berbagai fakta kebenaran lainnya yang nyata dan konkret—dan putusan dengan kejadian skenario semacam ini telah banyak sekali penulis jumpai dalam praktik. Suatu fakta realita yang sangat mengerikan.
Contoh, seorang penggugat memiliki lima buah dalil yang disusun dalam gugatannya. Lantas, sang hakim akan me-review kelima dalil tersebut, dan meski keempat dalil adalah beralasan demi hukum untuk dikabulkan, namun sang hakim kemudian hanya menyoroti dan mengomentari satu dalil yang kurang cukup kuat dalam putusannya. Sehingga dalil yang kurang cukup kuat tersebut menjadi kontradiktif bagi kepentingan penggugat, bahkan menjadi boomerang. Konstruksi skenario jenis ini kerap penulis jumpai pada berbagai putusan Mahkamah Agung yang seketika menyatakan permohonan kasasi ditolak dengan hanya mengutip satu atau dua dalil yang kurang relevan dari belasan dalil yang disajikan pemohon kasasi.
Karena seorang hakim pada dasarnya mampu membuat dua versi putusan yang saling bertolak belakang satu sama lain—inipun merupakan fakta yang tidak lagi dapat kita pungkiri—maka hukum yang ideal sebagaimana dinyatakan Austin dan Kelsen menjadi kian jauh dari harapan. John Austin dan Hans Kelsen menyebutkan, hingga dalam derajat tertentu, hukum dalam realita harus memiliki daya prediktabilitas.
Mungkin inilah kelemahan utama sistem keluarga hukum Eropa Kontinental yang mendasarkan diri pada textual based on law yang tidak sempurna—sebagaimana kerap penulis utarakan, bahwa bahasa adalah tidak sempurna, terlebih bahasa hukum, selalu terbuka ruang multi tafsir. Sementara posisi/kedudukan hukum yurisprudensi lewat asas preseden menjadi terasingkan bahkan terpinggirkan dalam konteks putusan MK RI yang kerap dilanggar sendiri oleh MK RI sehingga terhitung telah terdapat berbagai putusan MK RI saling tumpang tindih dengan putusan-putusan MK RI sebelumnya yang telah berkekuatan hukum tetap. Bahkan putusan yang telah dinyatakan “ditolak” tetap diadili kembali untuk “dikabulkan”.
Itulah sebabnya, amat logis bila sampai terjadi, pihak yang menjadi korban, atau bahkan telah dirugikan secara nyata dan konkret, dibela oleh sarjana hukum yang jenius sekalipun, akan keluar sebagai pihak yang kalah di pengadilan, di Mahkamah Agung, di Mahkamah Konstitusi, di instansi pemerintahan yang telah lalai atau sebaliknya sewenang-wenang terhadap warga negara, dan dimana pun di hadapan pemegang kekuasaan pemutus.
Menjadi korban atau menjadi seorang sarjana hukum cerdas, tidak menjamin akan keluar sebagai pemenang, terlebih mengharap ganti rugi. Pelaku kejahatan dapat dibebaskan, yang tidak bersalah dikriminalisasi, dan yang pintar hukum justru menjadi pesakitan dan keluar sebagai pecundang dari ruang peradilan sembari ‘mengelus dada’.
Setelah bertahun-tahun mengamati kelebihan dan kekurangan sistem keluarga hukum Eropa Kontinental dibanding dengan kelebihan dan kekurangan sistem keluarga hukum Anglo Saxon yang mengedepankan preseden, penulis sampai pada satu kesimpulan: urgensi perombakan besar sistem keluarga hukum Indonesia dari semua menganut normative text approach menjadi precedent approach.
The binding force of precedent lebih menawarkan kepastian hukum serta tingkat prediktabilitas yang sangat diidam-idamkan kalangan sarjana hukum sebagai suatu idealisme yang tidak memiliki wadahnya dalam konteks praktik hukum di Indonesia. Tiada lagi terbuka peluang untuk permainan hakim-hakim nakal, setidaknya ruang untuk ‘bermain’ menjadi lebih terbatas.
Itulah juga sebabnya negara-negara yang mengatur sistem preseden yang ketat, memiliki para sarjana hukum dengan kebanggaan, disegani, serta tampil dengan aktualisasi diri yang tinggi, oleh sebab hukum milik mereka memiliki suatu derajat prediktabilitas yang dapat diandalkan dan pasti.
Tulisan ini adalah sebentuk harapan besar penulis akan hukum modern Republik Indonesia. Mungkin dibutuhkan putaran satu generasi penuh untuk merombak sistem hukum di republik ini. Bila bukan kita yang memulai, maka generasi penerus hanya akan mendapat warisan sistem hukum yang penuh infeksi dan penyakit. Penulis tampaknya menjadi satu-satunya sarjana hukum di Indonesia yang merasakan kemendesakan ini.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.