Tindak Pidana Korporasi sebagai Pengalihan Isu

ARTIKEL HUKUM
Dalam konsepsi hukum tindak pidana penyertaan, dikenal setidaknya konsep hukum mengenai “aktor/otak intelektual”, pelaku turut serta, pembantu, penganjur, ataupun penyuruh. Kita perlu waspada atas terminologi yang cenderung menyesatkan mengenai “tindak pidana korporasi”—sebuah istilah yang tidak lain rawan untuk menjadi ajang “pengalihan isu”. Korporasi sejatinya hanyalah sebuah “pakaian luar” belaka, yang mana dibaliknya selalu berdiri seorang “otak intelektual”.
Perlu SHIETRA & PARTNERS garis-bawahi, dalam konsep kejahatan dalam pemidanaan, pelaku “aktor/otak intelektual” selalu dan hanyalah melekat pada subjek hukum manusia (natuurlijk persoon) sebagai pelaku. Konsep mengenai badan hukum (rechts persoon) merupakan konsep abstrak yang tidak mampu berpikir secara mandiri tanpa adanya “otak intelektual” sebagai roda penggeraknya.
Konsepsi “tindak pidana korporasi” rawan disalahgunakan, sebab memberi ruang untuk pengalihan isu. Betapa tidak, seorang pelaku kejahatan yang membungkus dirinya dengan selubung badan hukum, semisal menggunakan nama sebuah perseroan terbatas dalam melakukan aksi kriminil, maka tuntutan pidana akan mengarah pada badan hukum perseroan terbatas tersebut, bukan kepada sang “aktor intelektual”. Terjadilah kemudian apa yang disebut pengalihan isu dan tanggung jawab.
Hal ini akan diperkeruh oleh penjahat kerah putih (yang juga selalu adalah subjek hukum manusia) dimana sebuah korporasi asing mendirikan korporasi boneka di Indonesia untuk melakukan kejahatan tindak pidana transfer pricing, maka seolah pejahatnya dibaliknya ialah sang korporat asing. Pandangan tersebut keliru, karena pada hakekatnya “aktor/otak intelektual” selalu berupa manusia (natuurlijk persoon). Terdapat seorang manusia yang telah menyalahgunakan lembaga badan hukum berupa korporasi asing untuk menjadi tameng dan pengalih isu tanggung jawab.
Dalam “tindak pidana korporasi”, yang sebetulnya terjadi ialah “tindak pidana simbiosis”—Artinya, pada satu sisi terdapat “aktor intelektual” sebagai otaknya, sementara badan hukum korporasi hanya dijadikan sebagai wadah perbantuan/penyertaan semata, selubung atau kemasan. Yang berpikir dan menggerakkan, selalu ada adalah manusia, bukan emblem badan hukum korporasi. Inilah prinsip paling mendasar dalam konsep tindak pidana yang rasional dan yang paling logis.
Bisa jadi, sang “otak intelektual” ialah sang pemegang saham (dimana direksi hanyalah boneka semata yang ditaruh oleh pemilik modal guna mengaburkan rekam jejak transfer pricing atau pengaburan fakta perihal monopoli usaha dalam satu grub usaha), atau bahkan manajer atau karyawan korporasi telah menyalahgunakan nama korporasi untuk melakukan suatu tindak pidana. Kemungkinan ketiga ialah perbuatan direksi korporasi yang memang menyalahgunakan wewenangnya secara ultra vires sehingga menyeret serta entitas korporasi dalam tindak pidana.
Berangkat dari paradigma berpikir demikian, maka kita menjadi memahami, bahwa pola pikir bahwasannya badan hukum tidak mungkin dipenjara badan, adalah pernyataan yang salah kaprah dan salah tempat. Sebelum kita membahas apa yang dimaksud dengan “tindak pidana korporasi”, konsepsi mengenai tindak pidana penyertaan serta mengenai “aktor/otak intelektual” sebagaimana penulis terangkan diatas, perlu terlebih dahulu dipahami secara seutuhnya.
Dalam “tindak pidana korporasi”, wajib diterapkan / diberlakukan teori mengenai apa yang dikenal dalam terminologi hukum sebagai “piercing the corporate veil”, yakni tersingkapnya tabir suatu korporat, memperlihatkan apa yang ada dibalik suatu aksi korporasi: yang tidak lain tidak bukan ialah sang “otak intelektual” itu sendiri.
Berbagai regulasi seperti undang-undang mengenai lalu lintas, undang-undang lingkungan hidup, dan berbagai undang-undang progresif lainnya yang dibentuk parlemen bersama pemerintah, telah melakukan rasionalisasi terhadap konsepsi “tindak pidana korporasi”, sehingga baik subjek hukum korporasi (badan hukum) maupun pengurusnya (subjek hukum manusia), keduanya dapat dijatuhi hukuman pidana.
Kedua subjek hukum pelaku tersebut menjadi satu paket kesatuan yang tak dapat dipisahkan ketika dijatuhi vonis pidana: korporasi dipidana denda bahkan pencabutan izin dan eksekusi harta kekayaan, dan disaat bersamaan pengurus/”aktor intelektual”-nya dipidana denda sekaligus pidana penjara badan.
Ingat, “tindak pidana korporasi” adalah satu kesatuan paket antara kejahatan pelaku perorangan (subjek hukum manusia “aktor intelektual”) yang bersimbiosis atau menyalahgunakan kemasan / wadah badan hukum korporasi yang merupakan “pelaku” penyertaan—keduanya tak dapat dipisahkan.
Badan hukum korporasi adalah personifikasi dari pengurusnya—ia tidak pernah dan tidak akan pernah dapat berdiri sendiri, bahkan dalam Undang-Undang Kepailitan pihak direksi dan komisaris dari perseroan terbatas yang pailit dapat bertanggung jawab secara tanggung renteng. Menjatuhkan vonis pidana pada suatu korporasi, artinya (wajib) menyeret-sertakan pengurus / aktor yang menjadi “otak intelektualnya”.
Kembali pada postulat paling pertama dari subjek korporasi: sebuah badan hukum adalah konsepsi benda mati yang tak memiliki intensi pribadi. Ia adalah sarana atau alat belaka bagi pelaku “otak” penggeraknya, yang bisa berwujud direksi pengurus secara de facto atau bisa juga direksi boneka secara de jure sekaligus melibatkan serta sang “aktor intelektual”.
Korporasi karena hakekatnya merupakan sebuah personifikasi belaka, memiliki mens rea atau sikap batin dan motif niat yang tidak lain ialah cerminan dari sikap batin sang “aktor / otak intelektual”. Sikap lahiriah (actus reus) dari suatu korporasi selalu hanya merupakan aksi dari sang “aktor / otak intelektual”. Dalam sudut pandang ini, bisa jadi korporasi hanyalah korban/tumbal/kambing hitam dari pelaku sebenarnya: sang “aktor / otak intelektual” itu sendiri.
Sang “aktor intelektual” selalu merupakan pelaku utama penggerak, sementara wadah badan hukum korporasi hanyalah pelaku penyerta/turut serta dalam suatu tindak pidana. Konstruksi ini tak dapat dibalik menjadi sebaliknya. Dan, tiada akan dapat dibenarkan secara falsafah, korporasi yang melakukan tindak pidana secara berdiri sendiri, seakan tiada “aktor intelektual” yang bermain di latar belakang sebagai otak pengarah orientasi manuver suatu korporasi.
Pertanyaan berikutnya ialah, apakah dapat dibenarkan secara falsafah pemidanaan, bahwa rumusan vonis dalam “tindak pidana korporasi” dijatuhkan kepada korporasi dan/atau sang pengurusnya?
Jawab penulis: Karena sifatnya yang “satu paket”, antara sang “aktor intelektual” bersama dengan “korporasi selaku legal entity”, maka bila pengadilan menyatakan dakwaan jaksa atas tuduhan telah terjadi “tindak pidana korporasi” dengan menjatuhkan vonis denda, maka baik korporasi maupun sang “aktor intelektual”, keduanya wajib dijatuhi denda secara tanggung renteng. Adalah sebuah salah kaprah bila hakim dapat memilih untuk memvonis sang korporasi “atau” sang pengurusnya.
Sebaliknya juga, bila vonis dijatuhkan atas “tindak pidana korporasi” berupa pidana penjara badan, maka terhadap sang “otak intelektual” dijatuhi pidana badan, sementara korporasi yang mewadahinya perlu secara bersamaan dirumuskan serta oleh hakim yang memutus suatu vonis konversi (pidana pengganti) dari pidana badan menjadi pidana denda, pencabutan izin, dan/atau perampasan dan eksekusi atas aset korporasi.
Keduanya harus dijatuhi vonis secara satu paket dan bersamaan, tidak boleh secara terpisah—agar tidak terjadi pengalihan isu oleh sang “aktor intelektual”, mengingat pembentukan korporasi amat mudah di Indonesia, sehingga rawan disalahgunakan sebagai tameng untuk melarikan diri dengan menghapus jejak keberadaan sang “aktor intelektual” guna menghindari tanggung jawab pidana.
Artikel singkat ini penulis angkat sebagai bentuk keprihatinan atas terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, yang penulis nilai telah disusun dan dirumuskan secara amat dangkal dan lemahnya penguasaan konsep paling mendasar dalam falsafah hukum pidana. PERMA tersebut bukanlah sebentuk kontribusi kemajuan, namun kemunduran dalam praktik stelsel pemidanaan di Indonesia.
Seorang penjahat kerah putih (white collar crime) yang bersimbiosis dengan sarjana hukum cerdas namun bermoral rendah, menjadi paduan sempurna untuk berkelit dari ancaman pidana penjara, dengan cukup bermodalkan akta pendirian sebuah badan hukum korporasi. Dan inilah tren pemidanaan dimasa mendatang berdasarkan prediksi SHIETRA & PARTNERS. Semoga prediksi ini keliru adanya. Semoga.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.