Salah Kaprah Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

LEGAL OPINION
Question: Apakah kuasa untuk membebani hak tanggungan (SKMHT) dengan kuasa untuk parate eksekusi, sebenarnya adalah berbeda ataukah sama? Apakah hak bagi kreditor untuk mengajukan parate eksekusi merupakan kuasa mutlak?
Brief Answer: Beda. Keduanya adalah dua produk hukum yang berlainan, karena pemegang kuasa parate eksekusi dapat dilakukan berdasarkan APHT, bukan berdasarkan SKMHT, dimana APHT dapat dibentuk tanpa didahului oleh SKMHT.
Solusi lainnya ialah tidak melalui mekanisme SKMHT dalam pembebanan hak tanggungan, namun langsung membentuk APHT sebagai dasar pembebanan hak tanggungan. APHT yang terbit dari SKMHT, memang terbatas materi substansinya. Agar lebih bebas mengatur isi APHT, caranya ialah para pihak langsung menghadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk membentuk APHT.
Lagipula SKMHT semata berfungsi sebagai surat kuasa untuk membuat APHT, bukan kuasa untuk parate eksekusi, disamping fakta yuridis bahwa parate eksekusi dilangsungkan oleh kreditor pemegang hak tanggungan bukan didasarkan pada kuasa mutlak demikian, namun berdasarkan perikatan jenis perjanjian bersyarat tangguh—dalam arti debitor dapat sewaktu-waktu mengamputasi hak kreditor untuk mengajukan eksekusi atas agunan bila debitor melunasi piutang sang kreditor.
Buktinya, berbagai kalangan kreditor pemegang hak tanggungan sudah lazim ditemukan menggunakan jasa penyedia jasa balai lelang dalam mengajukan permohonan ‘pra-parate eksekusi ke hadapan kantor lelang negara.
PEMBAHASAN:
Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, register Nomor 70/PUU-VIII/2010 tanggal 21 Desember 2011, dimana Pemohon Uji Materiil mengajukan Permohonan Uji Materiil muatan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 yang berbunyi:
Pasal 6:
“Apabila Debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan (preferen) pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui Pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebuf.”—[Note SHIETRA & PARTNERS: frasa ‘preferen’ merupakan tambahan dari penulis.]
Pasal 15 ayat (1) huruf b:
“Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan Akta Notaris atau Akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
b. tidak memuat kuasa substitusi;
c. mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.”
Adapun yang menjadi alasan-alasan Pemohon mengajukan permohonan ini adalah sebagai berikut. Pada tahun 2008, Pemohon yang berprofesi sebagai advokat mendapatkan kuasa dari PT. Bank UOB Buana untuk mengajukan permohonan parate executie hak tanggungan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 20 ayat (1) UU 4/1996 di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandar Lampung (KPKNL).
Pasal 20 ayat (1) UU HT:
“Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. hak pemegang Hak Tanggungan (preferen) pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. title eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur Iainnya.”
Note SHIETRA & PARTNERS: frasa ‘preferen’ pada Pasal 20 Butir (a) UU HT diatas merupakan tambahan dari penulis, karena terdapat pemegang hak tanggungan preferen peringkat kedua, dst. Dengan suratnya tertanggal 30 Desember 2008, kantor lelang negara menolak permohonan Pemohon dengan alasan bahwa permohonan demikian hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak tanggungan itu sendiri dan tidak dapat dikuasakan kepada siapapun juga termasuk akan tetapi tidak terbatas oleh seorang Advokat pun dengan menunjuk pada kata “kekuasaan sendiri” yang tercantum dalam Pasal 6 UU 4/1996.
Note SHIETRA & PARTNERS: dimana makna ‘kekuasaan sendiri’ diartikan sebagai tidak lagi perlu izin dari debitor untuk mengeksekusi agunan bila debitor ingkar janji/wanprestasi, bukan dimaknai pemohon lelang eksekusi tidak dapat dikuasakan. Hal ini dinyatakan secara tersurat dalam UU HT.
Terhadap penolakan tersebut Pemohon Uji Materiil, menyurati Direktur Lelang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang merupakan instansi kepala dari Kantor Lelang Negara, untuk menjelaskan kedudukan Pemohon selaku Advokat dan pemegang kuasa dalam mengajukan permohonan parate executie hak tanggungan, namun didapati realita, dalam surat jawabannya Direktur Lelang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Pelayanan Kekayaan Negara Direktorat Lelang pada awal tahun 2009 telah menafsirkan bahwa segala perbuatan eksekusi hak tanggungan harus dilakukan oleh pemegang hak tanggungan itu sendiri dan tidak dapat dikuasakan kepada orang lain, penafsiran mana didasarkan pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996. Dilain pihak didapat pula kenyatan:
- bahwa setelah kejadian tersebut, ternyata permohonan parate executie tersebut dapat diterima oleh KPKNL, yang permohonannya ditandatangani oleh Pemimpin Cabang Bank setempat bahkan oleh staf karyawan, padahal orang-orang tersebut melakukan tindakan pengajuan permohonan parate executie a quo didasarkan pada surat kuasa dari Direksi tersebut;
- bahwa sejumlah Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) tidak pernah melakukan penolakan terhadap advokat atau kuasa hukum dari Pemegang Hak Tanggungan dalam rangka parate executie tersebut.
Dengan adanya surat tersebut yang telah ditafsirkan sepanjang pengajuan parate executie oleh Direktur Lelang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang merupakan instansi vertikal dari bawahannya Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang Bandar Lampung, dinilai telah merugikan Pemohon selaku seorang advokat yang menjadi kuasa PT Bank UOB Buana khususnya dan kedudukan para advokat pada umumnya yang menjadi kuasa suatu bank dalam melakukan pekerjaannya mewakili bank, dan pada akhirnya menghilangkan kesempatan untuk memperoleh penghasilan dari jasa advokat.
Dengan didapatnya kenyataan bahwa pengajuan parate executie dapat dilakukan oleh Kepala Cabang yang mana tetap pula berdasarkan surat kuasa direksi yang tidak bedanya dengan mengkuasakan kepada seorang advokat, telah menimbulkan tidak adanya kepastian hukum (nietrechtzekerheids) maupun proses hukum yang adil (due process of law) maupun persamaan hak di muka hukum (equality before the law), sehingga sangat sulit bagi Pemohon selaku advokat dalam menjalankan pekerjaannya sebagai kuasa bank (client) ataupun pencari keadilan Iainnya.
Pemohon yang berprofesi sebagai pengacara ini telah secara tepat mempostulasikan, kontekstual Pasal 15 ayat (1) huruf b bukan mengatur tentang eksekusi hak tanggungan, akan tetapi mengatur tentang kuasa pembebanan hak tanggungan oleh seorang Debitor kepada krediturnya dimana kekuasaan tersebut tidak dapat disubstitusikan kepada pihak lainnya.
Apabila kita simak dengan teliti ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan dalam penjelasan Undang-Undang tersebut atas pasal itu jelas-jelas bahwa ketentuan Pasal 15 UU HT adalah mengatur tentang pemasangan hak tanggungan terhadap suatu objek tanah—bukan mengatur tentang tata cara eksekusi hak tanggungan, oleh karena itu maka ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b yang telah ditafsirkan oleh Termohon sedemikian rupa dan tidak ada relevansinya dengan suatu pengajuan parate executie hak tanggungan.
Terhadap permohonan Pemohon, Mahkamah Konstitusi RI secara memprihatinkan, membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, ... Dalam hal ini khusus diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mengajukan permintaan agar Kantor Lelang melakukan penjualan objek Hak Tanggungan milik debitor melalui pelelangan umum. Secara a contrario parate executie yang dilakukan oleh seorang kuasa (termasuk advokat) bertentangan dengan Pasal 6 UU 4/1996;
“Kuasa yang diterima seseorang (advokat) adalah perjanjian yang didasarkan pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Pasal tersebut menyatakan adanya empat unsur yang harus dipenuhi dalam perjanjian, yaitu syarat subjektif berupa kata sepakat dan cakap membuat suatu perjanjian, dan syarat objektif berupa sesuatu hal tertentu dan suatu sebab yang tidak dilarang. Parate executie, karena merupakan hak relatif yang hanya dapat diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama, jika diberikan dengan surat kuasa kepada seseorang lain yang tidak berhak melaksanakan parate executie, akan menjadikan batal sifat perjanjian kuasa tersebut karena tidak memenuhi syarat keempat dari perjanjian, yaitu suatu sebab yang tidak dilarang;
“[3.15] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 mengandung hak relatif, jadi bersifat khusus (lex specialis), sedangkan Pasal 1 angka 2 UU 18/2003 bersifat umum (lex generalis). Oleh sebab itu, sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generali, maka Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 (lex specialis) mengesampingkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 18/2003 yang bersifat umum (legi generali);
“[3.16] Menimbang bahwa Penjelasan Pasal 15 ayat (1) b UU 4/1996 menyatakan, ”Yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut Undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain”. Dengan demikian yang dilarang ialah jika pemegang hak tanggungan pertama memberi kuasa kepada pihak lain dengan pengalihan hak untuk mengganti posisinya menjual objek hak tanggungan dengan kekuasaan sendiri (parate executie) jika debitor ingkar janji;
“[3.17] Menimbang bahwa menurut Pemohon dalam praktiknya pasal-pasal UU 4/1996 a quo diterapkan berbeda satu dengan yang lain. Ada yang membolehkan advokat sebagai kuasa melaksanakan parate executie dan ada pula yang tidak membolehkan advokat sebagai kuasa parate executie, sehingga menimbulkan diskriminasi, ketidakpastian hukum, serta ketidakadilan. Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan persoalan implementasi dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas dari pasal-pasal yang dimohonkan pengujian;
“[3.18] Menimbang bahwa sesungguhnya masih terdapat peluang Pemohon untuk menjadi kuasa hukum para pihak berkaitan dengan implementasi UU 4/1996, misalnya melakukan tugas mengurus administrasi dan pekerjaan lain sebagai petugas dari kreditor pemegang hak tanggungan pertama. Keberadaan Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 yang mengandung hak relatif (relatief recht) berlaku bagi siapa saja (tidak bersifat diskriminatif), karenanya tidak merugikan Pemohon dan tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
“[3.19] Menimbang bahwa dari keseluruhan uraian tersebut di atas, dalam hubungannya satu dengan yang lain, menurut Mahkamah, dalil-dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b UU 4/1996 tidak beralasan menurut hukum;
“KONKLUSI
“Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan tidak beralasan hukum.
AMAR PUTUSAN
Mengadili,
“Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.”
Mahkamah Konstitusi memang patut menyatakan permohonan judicial review tidak dapat diterima, karena untuk sikap “keras kepala” kantor lelang negara yang seenaknya membuat penafsiran sendiri secara sewenang-wenang, dapat diajukan gugatan ke PTUN, dimana PTUN nantinya dapat meluruskan persepsi menyimpang pejabat negara dan melahirkan sumber formil hukum, yakni yurisprudensi itu sendiri.
Hanya saja, kualitas dari pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI diatas, SHIETRA & PARTNERS nilai sangat memprihatinkan, karena salah kaprah persepsi para Hakim Konstitusi yang mencampuradukkan antara SKMHT dengan kuasa bagi kreditor untuk mengajukan parate eksekusi.
Bila debitor dengan itikad buruk menyalahgunakan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, dipastikan para Balai Lelang yang kerap menjadi penyelenggara jasa pra-lelang eksekusi dipastikan akan dinyatakan batal demi hukum—karena meski sifatnya ialah ‘pra-lelang eksekusi’, namun bagaimana pun balai lelang menerima surat kuasa sehubungan dengan berkas permohonan dan hal-hal terkait parate eksekusi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.