Hak Korban Tindak Pidana atas Restitusi, Pemulihan Kerugian

LEGAL OPINION
Question: Pak Hery (dari SHIETRA & PARTNERS) mengatakan bahwa korban penipuan hendaknya memikirkan masak-masak sebelum mem-pidana-kan penipunya, karena bila pelaku dikenai pidana sanksi denda, maka uang denda oleh terpidana bisa digunakan dari uang yang bersumber dari uang hasil penipuan itu sendiri. Apa artinya korban penipuan hanya dapat pasrah mendapati uangnya raib dimakan orang?
Brief Answer: Sebenarnya masih dimungkinkan untuk memohon restitusi kepada pemerintah, meski harus menempuh proses yang berliku, panjang, dan meletihkan kembali bagi korban pelaku tindak pidana penipuan, penggelapan, atau sejenisnya—itupun tanpa kepastian apapun dana Anda akan kembali ke tangan Anda meski telah diajukan permohonan restitusi.
PEMBAHASAN:
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2016
TENTANG
TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI
Pasal 20
Kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi dapat dimintakan ganti rugi melalui mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata.
Pasal 32
(1) Korporasi yang dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti, ganti rugi dan restitusi, tata cara pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal pidana tambahan berupa uang pengganti, ganti rugi dan restitusi dijatuhkan kepada Korporasi, Korporasi diberikan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.
(3) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (2) dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Jika terpidana Korporasi tidak membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.
Terdapat sebuah pertanyaan, bagaimana bila pengadilan tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa restitusi saat vonis dijatuhkan? Apakah demi hukum sanksi denda yang dijatuhkan pada terpidana otomatis menjadi dana yang dialokasikan bagi program restitusi oleh pemerintah? Hingga saat ini, praktis konsepsi perihal restitusi masih simpang-siur. Hingga saat ini yang menjadi rujukan paling mendasar perihal restitusi, sebagaimana disebutkan pula oleh PERMA diatas, yang menjadi acuan ialah:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
2. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
4. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
5. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.
6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
8. Hari adalah hari kerja.
Pasal 2
(1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh Kompensasi.
(2) Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus.
(3) Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.
Note SHIETRA & PARTNERS: Dari ketentuan tersebut, Kompensasi hanya dimungkinkan untuk dimohonkan oleh korban pelanggaran HAM berat.
Pasal 14
(1) Pengadilan hak asasi manusia memeriksa dan memutus permohonan Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi.
Note SHIETRA & PARTNERS: Kaidah ini tidak hanya membatasi pada korban tindak pidana penipuan ataupun korporasi. Namun berlaku terhadap setiap korban tindak pidana yang mengalami kerugian.
(2) Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus.
(3) Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.
Pasal 21
Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 22
(1) Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas pemohon;
b. uraian tentang tindak pidana;
c. identitas pelaku tindak pidana;
d. uraian kerugian yang nyata-nyata diderita; dan
e. bentuk Restitusi yang diminta.
(2) Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri:
a. fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang;
b. bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau Keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang;
Penjelasan Resmi: Yang dimaksud dengan “bukti”, antara lain surat keterangan kepolisian dalam hal rumah dibakar dan (atau) surat keterangan dokter selama dalam perawatan dalam hal Korban menderita, baik fisik maupun psikis. Dalam hal tindak pidana telah diputus oleh pengadilan, putusan pengadilan dilampirkan dalam permohonan.
c. bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan;
d. fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia;
e. surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menunjukkan pemohon sebagai korban tindak pidana;
f. surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan diajukan oleh Keluarga; dan
g. surat kuasa khusus, apabila permohonan Restitusi diajukan oleh kuasa Korban atau kuasa Keluarga.
(3) Apabila permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perkaranya telah diputus pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, permohonan Restitusi harus dilampiri kutipan putusan pengadilan tersebut.
Pasal 23
(1) LPSK memeriksa kelengkapan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Dalam hal terdapat kekuranglengkapan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPSK memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi permohonan.
(3) Pemohon dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pemohon menerima pemberitahuan dari LPSK, wajib melengkapi berkas permohonan.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilengkapi oleh pemohon, maka pemohon dianggap mencabut permohonannya.
Pasal 24
Dalam hal berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dinyatakan lengkap, LPSK segera melakukan pemeriksaan substantif.
Pasal 25
(1) Untuk keperluan pemeriksaan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, LPSK dapat memanggil Korban, Keluarga, atau kuasanya, dan pelaku tindak pidana untuk memberi keterangan.
(2) Dalam hal pembayaran Restitusi dilakukan oleh pihak ketiga, pelaku tindak pidana dalam memberikan keterangan kepada LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghadirkan pihak ketiga tersebut.
Pasal 26
(1) Dalam hal Korban, Keluarga, atau kuasanya tidak hadir untuk memberikan keterangan 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, permohonan yang diajukan dianggap ditarik kembali.
(2) LPSK memberitahukan penarikan kembali permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemohon.
Pasal 27
(1) Hasil pemeriksaan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 ditetapkan dengan keputusan LPSK, disertai dengan pertimbangannya.
(2) Dalam pertimbangan LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan Restitusi.
Pasal 28
(1) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 kepada pengadilan yang berwenang.
Penjelasan Resmi: Yang dimaksud dengan “pengadilan yang berwenang” adalah pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana yang bersangkutan.
(2) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum.
Inilah yang paling ideal untuk ditempuh memulihkan kerugian yang diderita korban, agar restitusi disesuaikan dengan kerugian faktual yang dialami korban.
(3) Penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Restitusi beserta Keputusan LPSK dan pertimbangannya.
(4) Salinan surat pengantar penyampaian berkas permohonan dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disampaikan kepada Korban, Keluarga atau kuasanya, dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga.
Pasal 29
(1) Dalam hal LPSK mengajukan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), pengadilan memeriksa dan menetapkan permohonan Restitusi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima.
(2) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penetapan.
(3) LPSK menyampaikan salinan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Korban, Keluarga, atau kuasanya dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima penetapan.
Pasal 30
(1) Dalam hal LPSK mengajukan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), putusan pengadilan disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan.
(2) LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Korban, Keluarga, atau kuasanya dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima putusan.
Pasal 31
(1) Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan penetapan pengadilan diterima.
(2) Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan Restitusi kepada pengadilan dan LPSK.
(3) LPSK membuat berita acara pelaksanaan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pengadilan mengumumkan pelaksanaan Restitusi pada papan pengumuman pengadilan.
Pasal 32
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian Restitusi kepada Korban melampaui jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Korban, Keluarga, atau kuasanya melaporkan hal tersebut kepada Pengadilan yang menetapkan permohonan Restitusi dan LPSK.
Note SHIETRA & PARTNERS: Tetap saja, restitusi mengandalkan itikad baik terpidana. Artinya, tanpa itikad baik untuk memulihkan hak korban, maka adalah suatu ironi baru. Tidak pula terdapat pengaturan, apakah sanksi pidana denda yang telah dibayar terpidana masuk dalam anggaran bagi korban pemohon restitusi ataukah restitusi sama sekali hanya dapat dibayar dari dana terpidana diluar sanksi pidana denda?
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera memerintahkan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian Restitusi, dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal perintah diterima.
Pasal 33
Dalam hal pemberian Restitusi dilakukan secara bertahap, setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan harus dilaporkan Korban, Keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang menetapkan atau memutuskan permohonan Restitusi.
Dalam bagian Penjelasan Umumnya, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban tersebut diatas menerangkan:
“Pengaturan mengenai pemberian Restitusi dilakukan dengan mengajukan permohonan oleh Korban, Keluarga atau kuasanya kepada pengadilan melalui LPSK. Yang dimaksud dengan pengadilan tersebut adalah pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana yang bersangkutan.
“Dalam hal permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada pengadilan negeri untuk mendapatkan penetapan.
Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum. Kemudian penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Restitusi beserta keputusan dan pertimbangannya untuk mendapatkan putusan pengadilan.”
Dari kaidah normatif diatas, kita dapat melihat bahwa idealnya korespondensi antara korban penipuan/penggelapan terhadap LPSK dilakukan secara aktif sebelum terdakwa dibawa ke hadapan meja hijau, agar jaksa dapat merumuskan perihal restitusi dalam tuntutannya.
Kendala paling utama dari ketentuan perihal restitusi, ialah perihal korban yang tidak diketahui secara pasti jumlahnya (kuantitasnya). Bila jumlah korban dipastikan hanya satu orang, hal ini tentu akan mudah untuk menerapkan kebijakan restitusi bagi sang korban. Namun seringkali korban bermunculan sendiri satu demi satu dibelakang hari.
Namun pernahkah terpikirkan oleh kita, terhadap korban penipuan berkedok investasi, yang bisa jadi jatuh korban berjumlah massal dan masif. Apakah mungkin, yang menjadi pertanyaan besar kita bersama, bila seorang terdakwa dipidana selama 10 tahun atas tindak pidana penipuan, lalu muncul seribu pelapor baru atas kasus dan pelaku yang sama, apakah artinya sang terpidana dihukum sebesar 10 tahun x 1.000 ?
Tentu tidak demikian adanya. Baik satu saksi korban muncul di persidangan, atau dihadirkan seribu saksi korban sekaligus pada satu waktu pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut, tetap saja stelsel pemidanaan lebih berorientasi pada perbuatan yang dilarang, bukan berapa jumlah korbannya—yang hanya menjadi faktor pemberat tindak pidana. Toh, hukum pidana Indonesia belum mengadopsi stelsel penjatuhan hukuman kumulatif seperti di Amerika Serikat.
Sama halnya bila sanksi pidana berupa denda, bila kemudian denda tersebut dibayar oleh terpidana, lantas muncul seorang pemohon restitusi, dan negara membayarnya, tak lama kemudian muncul satu per satu pihak yang mengaku sebagai korban yang sama. Bisa jadi denda yang dibayar terpidana tidak lagi mencukupi untuk mengabulkan permohonan restitusi korban yang mem-bludak—itupun bila negara memandang sanksi pidana denda yang telah dibayarkan oleh terpidana adalah hak korban pemohon restitusi.
Stelsel pemidanaan kita belum memiliki konsepsi “satu korban satu denda” bagi terpidana—yang masih dianut ialah “satu denda bagi satu pelanggaran atas pasal yang mengatur perbuatan tindak pidana”. Sehingga belum memungkinkan bagi korban lain muncul dikemudian hari untuk mem-pidana ulang sang pelaku agar dijatuhi sanksi pidana denda untuk kesekian kalinya.
Untuk kasus penipuan atau penggelapan antar satu orang terhadap satu orang korban, masih lebih memungkinkan menerapkan kebijakan restitusi oleh negara. Sementara bila menyangkut skema modus “investasi bodong” yang melibatkan masyarakat luas sebagai korbannya, bisa jadi sanksi pidana denda yang dibayar terpidana tidak akan mencukupi untuk mengabulkan seluruh permohonan restitusi yang diajukan korban. Apakah negara, yang harus “merogoh kocek” sendiri untuk memberi restitusi bagi para korban? Suatu hal yang rasanya, mustahil.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.