Pidana Kekerasan Fisik secara Pengeroyokan

LEGAL OPINION
Question: Apa aturan hukumnya bagi pelaku pengeroyokan menyakiti orang lain? Bagaimana juga cara membedakan antara pembelaan diri dengan penganiayaan?
Brief Answer: Pasal 170 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memiliki unsur utama: dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang—dengan ancaman sanksi pidana penjara. Pembelaan diri adalah suatu alasan pemaaf yang menjadi fungsi penghapus kesalahan dalam pemidanaan, dimana untuk lebih jelasnya dapat disimak pada contoh kasus dibawah ini.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi berikut cukup menarik untuk disimak, sebagai cerminan dapat merujuk pada putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo perkara pidana register Nomor 485/Pid.B/2014/PN.Sda tanggal 18 September 2014, dimana jaksa Penuntut mendakwa Terdakwa karena telah melakukan tindak pidana “dengan terang-terangan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang” sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP.
Kejadian bermula di Toko JJ Corner milik Dewi Rosiana (istri Terdakwa) telah terjadi pemukulan oleh Terdakwa dengan dibantu oleh kawan-kawannya terhadap korban. Antara toko JJ Corner dengan rumah saksi Dewi Rosiana dan terdakwa merupakan satu kesatuan yang dipisahkan dengan pintu-pintu.
Awalnya pada sekitar pukul 13.00 WIB, korban datang ke rumah / toko JJ Corner kepunyaan istri Terdakwa. Keberadaan korban di toko tersebut sampai dengan jam 20.00 WIB. Pada saat korban masih berada di toko kepunyaan Istri Terdakwa, datanglah Terdakwa dengan teman-temannya.
Pada saat Terdakwa dan teman-temannya datang, korban bersembunyi di salah satu ruangan di dalam toko. Kemudian Terdakwa menggedor pintu ruko sambil berteriak menyuruh korban untuk keluar.
Karena tidak dibukakan pintunya, dan korban tetap tidak mau keluar, pintu toko dibuka paksa oleh Terdakwa dan mendapati korban berada di dalam toko. Setelah pintu terbuka, Terdakwa bersama dengan teman-temannya masuk ke dalam ruko, lalu Terdakwa memukuli korban dengan menggunakan tangan kosong dan menendangi korban sementara sang korban tidak melakukan perlawanan.
Selanjutnya teman-teman Terdakwa menyeret dan membawa korban keluar dari dalam ruko mengakibatkan korban dalam keadaan luka memar/bengkak pada wajahnya. Sesampainya di luar, korban kembali dipukul dan ditendang oleh teman-teman Terdakwa.
Akibat kejadian tersebut, korban mengalami luka sebagaimana Visum et Repertum dengan hasil, Pemeriksaan luar : luka memar pada kedua mata kanan dan kiri, perdarahan telinga kiri. Kesimpulan : luka tumpul.
Sebelum terjadinya pemukulan, korban pergi berdua dengan Dewi Rosiana (istri Terdakwa) masuk berdua ke dalam salah satu kamar Hotel. Pada saat berdua didalam kamar Hotel, digerebeg dan tertangkap tangan oleh Terdakwa, dan keluarganya kemudian dibawa ke Polsek setempat.
Karena tidak ada titik temu selanjutnya dibawa ke Polres Mojokerto, dan sang korban membuat Surat Pernyataan, yang isinya menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengulangi lagi perbuatan membawa istri Terdakwa, tidak akan berhubungan dengan Dewi Rosiana, dan tidak akan melakukan komunikasi dalam bentuk apapun misalnya SMS, berkirim pesan singkat, telepon, dsb.
Ternyata sang korban masih juga berkomunikasi dengan istri Terdakwa dan bahkan mendatanginya di Toko pada tanggal kejadian tersebut diatas, pada saat Terdakwa sedang tidak berada di tempat. Terhadap tuntutan Jaksa serta pembelaan diri Terdakwa, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, karenanya Majelis akan mempertimbangkan terlebih dahulu dakwaan Kesatu Penuntut Umum, yaitu pasal 170 ayat (1) KUHP yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :
1. Barangsiapa;
2. Terang-terangan;
3. Dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang.
“Menimbang, bahwa “Openlijk” dalam naskah asli pasal 170 WVS lebih tepat diterjemahkan “secara terang-terangan” didalam pasal 170 KUHP, istilah mana mempunyai arti yang berlainan dengan openbaar atau “dimuka umum”;
“Secara terang-terangan” berarti tidak secara bersembunyi, jadi tidak perlu dimuka umum, cukup apa ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya;
“Dengan demikian, bahwa yang dimaksudkan dengan unsur “terang-terangan” adalah suatu tempat yang terbuka atau suatu tempat yang dapat dilalui oleh sembarang orang;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur secara terang-terangan ini menurut Yurisprudensi tetap No. 10 K/Kr/1975 tanggal 17-03-1976 adalah berarti tidak secara bersembunyi, namun tidak harus dilakukan di muka umum, cukup apabila pebuatan itu dilakukan di suatu tempat yang dapat dilihat oleh orang lain, maka unsur “openlijk” atau “secara terang-terangan” telah dinyatakan terbukti;
“Menimbang, menurut Prof. Simons : penggunaan kekerasan adalah dengan terang-terangan apabila dilakukan di hadapan publik. Adalah tidak cukup jika hal itu dilakukan di tempat umum. Sebab meskipun di tempat umum, tapi kalau tidak ada publik yang melihatnya, disitu tidak dapat dikatakan terang-terangan. Meskipun dilakukan dalam rumah tapi kalau dilihat oleh publik, itu sudah cukup. (vide Pof. Moeljatno, SH, Kejahatan-Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (Open bare orde), Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 129);
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan, terdakwa dengan dibantu teman-temannya telah memukul dan menendang saksi Yongki Wiryawan berkali-kali didalam rumah atau toko JJ Corner di Jalan ... , pada saat pemukulan dan menendang a quo dapat dilihat oleh saksi Sulastri dan lainnya, dan toko merupakan salah satu ruang publik atau publik dapat melihatnya atau suatu tempat yang dapat dilihat oleh orang lain, maka berdasarkan fakta ini unsur “terang-terangan” telah terbukti menurut hukum;
“Menimbang, bahwa unsur “tenaga bersama” artinya pelakunya terdiri dari dua orang atau lebih, dimana diantara pelaku / peserta mempunyai kesadaran bahwa mereka bekerja-sama (kerjasama secara psikis), dan para pelaku / peserta melakukan kekerasannya itu secara bersama-sama (kerjasama secara fisik);
Tetapi dalam pasal 170 ayat (1) KUHP tidak mensyaratkan bahwa semua pelaku / peserta harus semuanya melakukan kekerasan, tetapi cukup satu orang saja yang melakukan kekerasan, asalkan kawan pesertanya mempunyai kesadaran bahwa mereka bekerja sama, bagaimanapun ringan peranannya, diklasifikasikan juga sebagai tenaga bersama;
“Menimbang, bahwa putusan Mahkamah Agung RI No. 916.K/Pid/1989 tanggal 17 Juni 1989 memuat kaedah hukum sebagai berikut :
“ Bahwa untuk pasal 170 KUHP peranan masing-masing peserta tidaklah relevan, sudah cukup keikutsertaannya dengan melakukan sesuatu kekerasan, bagaimanapun ringannya; peranan itu baru berarti bagi pelaku yang dibuktikan bahwa adalah khusus perbuatan kekerasannya yang mengakibatkan luka (ayat 2 ke 1), luka berat (ayat 2 ke 2), mati (ayat 2 ke 3)”
“Menimbang, bahwa yang dimaksudkan dengan unsur “kekerasan” adalah menggunakan tenaga yang tidak ringan sifatnya;
“Menimbang, bahwa dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah seperti memukul, baik dengan tangan atau dengan alat / senjata apapun, menendang, ataupun mendorong. Dan secara bersama–sama dimaksudkan bahwa perbuatan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih, dan pada diri tiap pelaku ada kehendak atau kesadaran bersama untuk melakukan kekerasan terhadap orang atau barang tersebut. Namun demikian tidaklah disyaratkan bahwa masing-masing pelaku harus mempunyai peran yang sama besarnya;
“Menimbang, dalam persidangan terungkap fakta bahwa terdakwa dengan dibantu teman-temannya telah memukul dan menendang saksi Yongki Wiryawan berkali-kali didalam rumah atau toko JJ Corner;
“Dimana Saksi Yongky Wiryawan menerangkan bahwa yang memukul saksi bergerombolan saksi tidak tahu, akan tetapi waktu diluar toko berlima ada yang nendang, memukul wajah; Lebih lanjut menerangkan bahwa saksi tidak tahu yang memukul satu persatu karena mereka bergerombol; Terdakwa ikut memukul; Waktu kejadian diluar toko ada 5 (lima) orang;
“Kemudian saksi Dewi Rosiana menerangkan bahwa saksi Yongky Wiryawan dipukul oleh Terdakwa dan teman-temannya, Lebih lanjut menerangkan bahwa kemudian saksi melihat Yongky dipegangi oleh seseorang bertubuh besar dan Terdakwa memukul Yongky; Terdakwa memukul Yongky sebanyak 10 kali dan sambil nendang kakinya;
“Dihubugkan juga dengan saksi Sulastri yang menerangkan bahwa saksi melihat seorang teman terdakwa Rony memegang krah baju saksi Yongky, sedangkan teman yang satunya memukul saksi Yongky sebanyak 2 kali dan menendang kaki saksi Yongky sebanyak 1 kali;
“Serta Terdakwa pun mengakui bahwa Terdakwa dan teman-temannya telah memukul dan menendang saksi Yongky Wiryawan berkali-kali; Maka berdasarkan fakta ini unsur “Dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang” telah terbukti menurut hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas; Maka Majelis Hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dalam dakwaan Kesatu Penuntut Umum telah terbukti menurut hukum;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim perlu mempertimbangkan pendapat Penasehat Hukum terdakwa dalam nota pembelaannya, yang dalam nota pembelaannya yang pada pokonya berpendapat dalam kasus ini dengan berpijak pada ketentuan Pasal 49 Ayat (1) KUHP, Terdakwa tidak dapat di pidana: Karena saksi Yongki Wiryawan telah melecehkan harkat, martabat, kehormata, dan harga diri Terdakwa sebagai suami sah saksi Dewi Rosiana dengan cara melakukan perzinahan dengan saksi Dewi Rosiana, dan oleh karena Terdakwa sebagai suami yang sah, maka sudah sewajarnya apabila Terdakwa mempertahankan keutuhan rumah tangganya dari orang lain; Perbuatan Terdakwa semata-mata ingin membela kehormatan keluarganya dari gangguan orang lain;
“Penasehat hukum Terdakwa lebih lanjut mengemukakan bahwa ... apa yang telah dilakukan Terdakwa kepada saksi Yongki Wiryawan adalah hanya untuk memberi peringatan kepada saksi Yongki Wiryawan agar jangan berlaku sewenang-wenang terhadap kehidupan keluarga Terdakwa;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim tidak sependapat dengan Penasehat Hukum Terdakwa mengenai penerapan Pasal 49 ayat (1) KUHP dalam perkara ini, dengan alasan-alasan hukum sebagai beriut:
“Pasal 49 ayat (1) KUHP merumuskan sebagai berikut :
‘Tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang dapat dibenarkan oleh suatu pembelaan yang perlu dilakukan bagi tubuh, kehormatan atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain terhadap serangan yang bersifat seketika atau yang bersifat mengancam secara langsung dan yang bersifat melawan hukum’;
“Memorie Van Toelichting (MVT) mengenai pembentukan Pasal 49 ayat (1) KUHP menyatakan antara lain : ‘Tidaklah terdapat suatu noodweer tanpa adanya suatu :
1. Serangan yang bersifat melawan hukum;
2. Bahaya yang bersifat langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda milik sendiri atau milik orang lain;
3. Keperluan untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan untuk meniadakan bahaya yang nyata yang telah ditimbulkan oleh serangan tersebut, yang telah tidak dapat ditiadakan dengan cara yang lain;
“Menimbang, bahwa Prof. POMPE berpendapat, “dalam keadaan normal untuk meniadakan serangan itu orang harus meminta bantuan dari penguasa, akan tetapi dalam keadaan darurat seperti yang dimaksud dalam pasal Pasal 49 ayat (1) KUHP, ia tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat demikian, dan oleh karena itulah maka ia dapat dibenarkan untuk meniadakan sendiri serangan tersebut tanpa bantuan dari alat-alat negara (Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti,Bandung, 1997, hal. 465-466);
“Menimbang, bahwa untuk dapat diterapkannya pasal 49 ayat (1) KUHP atau Noodweer, haruslah dipenuhinya syarat-syarat hingga seseorang yang melakukan suatu noodweer itu menjadi dibatasi, baik mengenai cara melakukan pembelaan maupun mengenai alat yang boleh dipergunakan untuk melakukan pembelaan tersebut;
“Prof. van HAMEL, mengemukakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh serangan dan pembelaan :
- syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh serangan :
1. serangan itu harus bersifat melanggar hukum atau wederrechtelijk;
2. serangan itu harus mendatangkan suatu bahaya yang mengancam secara langsung;
3. serangan itu harus bersifat berbahaya bagi tubuh, kehormatan atau benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain;
- syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pembelaan itu harus :
1. bersifat perlu atau bersifat noodzakelijk, dan
2. perbuatan yang dilakukan untuk melakuan pembelaan itu haruslah dapat dibenarkan; (Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 466);
“Menimbang, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh serangan sebagai syarat kedua tersebut diatas, yaitu “serangan itu haruslah bersifat seketika”, yang menurut van Hamel “haruslah bersifat mendatangkan suatu bahaya yang mengancam secara langsung”;
“Van HAMEL dan SIMONS lebih lanjut mengemukakan antara lain : “Apabila suatu serangan itu telah dimulai dan selama serangan tersebut masih berlangsung, maka orang dapat dibenarkan untuk melakukan suatu noodweer. Akan tetapi noodweer itu tidak boleh lagi dilakukan yaitu segera setelah serangan tersebut berakhir”;
“Menimbang, bahwa syarat ketiga dari noodweer dalam pasal 49 ayat (1) KUHP, menurut van HAMEL bahwa serangan itu harus ditujukan kepada atau sifat berbahaya yang mengancam secara langsung bagi tubuh, kehormatan atau benda kepunyaan diri sendiri atau kepunyaan orang lain. Termasuk ke dalam pengertian dari tubuh itu adalah juga integritas atau badan seutuhnya, berikut kebebasan bergerak dari badan;
“Bahwa Kehormatan yang dapat dibela terhadap serangan yang bersifat melawan hukum menurut pasal 49 ayat (1) KUHP, bukanlah kehormatan dalam arti nama baik, melainkan dalam arti seksual. Misalnya kehormatan seorang wanita yang hendak diperkosa oleh seorang laki-laki. Terhadap usaha laki-laki untuk memperkosa kehormatan seorang wanita semacam itu, kita dapat melakukan suatu noodweer. (Lamintang, hal. 489);
“Menimbang, bahwa kemudian yang menjadi Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pembelaan itu harus :
- Syarat pertama : yang harus dipenuhi dari suatu pembelaan adalah pembelaan itu haruslah bersifat perlu (noodzakelijk);
Menurut POMPE, suatu pembelaan itu dapat dipandang sebagai bersifat perlu (noodzakelijk) yaitu apabila sesuatu serangan itu tidak dapat dihindarkan dengan cara-cara yang lain. Barangsiapa mampu untuk menghindarkan diri dari suatu serangan dengan cara melarikan diri, maka ia tidak berhak untuk melakukan suatu pembelaan. Pembelaan itu dianggap sebagai tidak perlu lagi dilakukan, apabila orang dapat menyelamatkan dirinya misalnya dengan cara melarikan diri;
- Syarat kedua, perbuatan yang dilakukan untuk melakuan pembelaan itu haruslah dapat dibenarkan;
NOYON-LANGEMIJER sependapat dengan arrest Hoge Raad tanggal 14 Maret 1904 W. 8048, yang mengatakan antara lain : “Apabila terhadap suatu serangan yang melawan hukum yang terjadi seketika itu, masih tersedia lain-lain upaya pembelaan yang dapat dibenarkan, maka perbuatan yang telah diakukan itu bukanlah merupakan suatu upaya pembelaan yang diperlukan”;
“Menimbang, bahwa bahwa dalam perkara ini, menurut Majelis Hakim tidak memenuhi syarat-syarat dalam pasal 49 KUHP tersebut sebagaimana telah Majelis uraikan diatas; Kehormatan keluarga yang dibela oleh terdakwa sebagaimana pendapat Penasehat Hukum tersebut diatas, bukanlah kehormatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP; Kehormatan dalam pasal 49 ayat (1) KUHP haruslah ada serangan secara langsung terhadap kehormatan terdakwa dalam arti sek*sualitas diri terdakwa, sebagaimana telah Majelis Hakim pertimbangkan tersebut diatas;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim juga tidak sependapat dengan Penasehat Hukum terdakwa, yang dalam nota pembelaannya berpendapat, bahwa ‘kepentingan umum tidak terganggu dengan memukul saksi Yongky Wiryawan. Karena yang dilindungi oleh pasal 170 KUHP adalah ketertiban umum’;
“Bahwa benar pasal 170 KUHP dibawah titel “ketertiban umum”, dan Terdakwa dengan dibantu teman-temannya memukuli dan menendangi saksi Yongky Wiryawan berkali-kali pada suatu ruang yang dapat dilihat oleh orang lain; Sebelum dilakukan pemukulan terdakwa Roni Djaliha menggedor pintu ruko sambil berteriak menyuruh saksi Yongki Wiryawan untuk keluar, karena tidak dibukakan pintunya, lalu dengan cara paksa terdakwa mendorong pintu garasi, setelah pintu terbuka terdakwa berteriak “Yongky saya hitung sampai 3 kali kalau kamu laki-laki pasti kamu keluar selanjutnya terdakwa menghitung 1, 2, 3 namun saksi Yongky tetap tidak mau keluar; kemudian pintu toko dibuka paksa oleh terdakwa dan mendapati saksi Yongky berada didalam toko; Maka berdasarkan uraian fakta ini sudah cukup jelas, bahwa perbuatan Terdakwa mengganggu ketertiban umum; (bandingkan : Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 916.K/Pid/1989 tanggal 17 Juni 1989);—[Note SHIETRA & PARTNERS: Menjadi agak membingungkan ketika konstruksi hukum antara “pelaku” dan “korban” menjadi terbolak-balik akibat sistem pembuktian hukum pidana yang demikian tinggi teknikalisasinya. Pelaku yang merasa ‘kalap’, justru oleh hakim dipostulasikan sebagai pelaku pengganggu ketertiban umum. Beruntung, Majelis Hakim membuat pertimbangan hukum tambahan dalam kesimpulannya dibawah ini.]
“Menimbang, bahwa dalam persidangan tidak terungkap fakta adanya alasan-alasan yang dapat menghapuskan kesalahan pada diri terdakwa, baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar; Serta ternyata pula terdakwa mampu bertanggung jawab menurut hukum, maka atas perbuatannya itu terhadap terdakwa haruslah dipidana;
“Menimbang, bahwa sebelum Majelis menjatuhkan pidana terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pada diri Terdakwa ;
- Hal-hal yang memberatkan :
- Nihil;
- Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, yaitu anak yang masih kecil, yang masih memerlukan kehadiran dan kasih sayang dari terdakwa sebagai bapak kandungnya;
- Terdakwa dengan korban sudah saling memaafkan;
- Terdakwa melakukan pemukulan kepada saksi korban, karena saksi korban telah “menggangu” dan sebelumnya membawa istri terdakwa ke kamar hotel di Pacet, saksi korban sudah membuat surat pernyataan untuk tidak mendekati istri terdakwa, tetapi saksi korban tidak memperdulikannya dengan tetap mendatangi rumah/toko istri terdakwa disaat terdakwa sebagai suaminya sedang tidak berada di rumah, karenanya faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tindak pidana (faktor kriminogen) antara lain ada pada pihak saksi korban;
M E N G A D I L I
- Menyatakan Terdakwa RONI DJALIHA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: Secara terang-terangan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang;
- Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan;
- Memerintahkan bahwa hukuman itu tidak akan dijalankan, kecuali kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim oleh karena terdakwa melakukan tindak pidana sebelum lewat waktu 6 (enam) bulan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.